Tentang Marxisme

D.N. Aidit (Februari 1962)


Sumber: Tentang Marxisme. Cetakan Kedua. Djakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1963. Scan PDF Booklet "Tentang Marxisme "


ISI

Sepatah Kata Penerbit

Pengantar untuk Cetakan II

PENGANTAR

BAB I. FILSAFAT

BAB II. EKONOMI POLITIK

BAB III. SOSIALISME ILMU

 

-------------------------------------------------------------------

 

SEPATAH KATA PENERBIT

Buku ini semulanya adalah rangkaian ceramah Tentang Marxisme yang diberikan oleh Kawan D. N. Aidit, Ketua CC PKI di hadapan para peserta Pelatihan Kemiliteran Pegawai Sipil (LKPS) Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dalam bulan Februari 1962. Dalam ceramah-ceramah itu naskah rangkaian ceramah ini sebagian dibacakan dan sebagian lagi diuraikan pokok-pokoknya.

Dengan seizin pengarangnya, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham memutuskan untuk membukukan naskah rangkaian ceramah itu selengkapnya setelah diadakan penyempurnaan oleh pengarang, baik mengenai redaksinya maupun mengenai penguraian beberapa masalah. Tulisan Kawan D. N. Aidit – Ketua Dewan Kurator dan Dosen Luarbiasa Akademi Aliarcham – merupakan bahan pelajaran penting bagi para mahasiswa Akademi Aliarcham, terutama karena karya-karya klasik tentang Marxisme-Leninisme kebanyakan masih terdapat dalam bahasa asing dan jumlah peredarannya di negeri kita pun sangat terbatas.

Pembukuan rangkaian ceramah ini akan sangat membantu pula untuk menyebarkan pengertian yang tepat tentang Marxisme-Leninisme di kalangan masyarakat yang luas di Indonesia, pengertian bahwa ML adalah ilmu masyarakat yang telah berakar dan tumbuh di bumi kita sendiri. Semakin luas dan semakin tepat ML dipahami, maka semakin lancarlah usaha untuk “meng-Indonesiakan” ML. Ini akan mendorong lebih maju perkembangan ilmu sosial yang progresif di negeri kita dan memperbesar pengabdiannya kepada penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sepenuhnya, kepada pelaksanaan Manipol dengan konsekuen.

 

Akademi Ilmu Sosial Aliarcham

Jakarta, Mei 1962.

 

----------------------------------------------------------

 

PENGANTAR UNTUK CETAKAN II

Berhubung dengan banyaknya permintaan akan buku Tentang Marxisme, maka Akademi Ilmu Sosial Aliarcham telah memutuskan untuk menerbitkan Cetakan II dari buku tersebut.

Pada pokoknya dalam Cetakan II ini tidak diadakan perubahan-perubahan, kecuali beberapa perubahan redaksional yang dilakukan oleh penulisnya.

 

AISA

Jakarta, November 1962

 

-------------------------------------------------------------------------------------

 

PENGANTAR

 

Para Saudara yang terhormat,

Mengadakan ceramah di hadapan petugas-petugas Departemen Luar Negeri bagi saya ini bukanlah yang pertama kalinya. Pada tanggal 8 April 1961, atas permintaan Sdr. Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio saya telah memberikan ceramah di hadapan Konferensi Kepala-Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Asia Pasifik dan Afrika Timur Tengah. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesempatan-kesempatan ini, dan saya mempunyai keyakinan bahwa dengan bekerja sama demikian ini, kita akan dapat lebih banyak menyumbangkan segala yang baik kepada urusan bangsa dan Rakyat kita.

Saya diminta oleh Dr. Subandrio untuk menguraikan di hadapan Saudara-Saudara TM. Satu tema yang sangat luas. Apa yang dapat saya lakukan untuk memenuhi permintaan yang memang pada tempatnya ini dalam keadaan singkatnya waktu untuk mempersiapkan diktat dan terbatasnya jam ceramah? Dalam waktu beberapa hari ini saya telah mengumpulkan kembali catatan-catatan yang lama maupun yang baru tentang studi mengenai ML, menyusunnya secara sistematis agar dapat menghidangkannya kepada Saudara-Saudara yang perlu-perlu saja, tetapi menyeluruh, dalam beberapa kali ceramah.

Saya menyetujui pendirian Dr. Subandrio bahwa petugas-petugas Departemen yang dipimpinnya harus mempelajari Marxisme, terlepas dari apakah mereka menyetujui atau tidak menyetujui Marxisme. Saya kira, kita semua sependapat, bahwa untuk menyetujui atau tidak menyetujui sesuatu, orang harus mengetahui apa yang disetujui atau tidak disetujuinya itu, dan itu hanya bisa dengan mempelajarinya sungguh-sungguh. Sekarang memang kita sering menghadapi yang aneh-aneh. Ada orang yang setuju kepada Marxisme, tetapi tidak mengetahui apa Marxisme itu sebenarnya, sehingga ada kalanya terjadi, bahwa yang mereka kira Marxisme itu justru adalah lawan daripada Marxisme. Dan banyak orang yang menentang mati-matian Marxisme, tetapi tidak mengetahui dan malahan samasekali tidak pernah mempelajari Marxisme, atau jika mempelajarinya tidak dari buku-buku Marxisme tapi dari buku-buku musuh Marxisme atau renegad-renegad Marxism. Sering terjadi, bahwa musuh-musuh Marxisme menyerang apa yang dikiranya Marxisme, tetapi sebenarnya mereka telah menyerang apa yang juga diserang oleh kaum Marxis. Misalnya, jika mereka menyerang materialisme, biasanya yang mereka serang ialah materialisme Feuerbach atau materialisme vulgar, tetapi mereka mengira bahwa yang diserangnya adalah materialisme Marx. Sungguh sangat memalukan, bahwa masih ada saja orang-orang yang suka berbicara panjang lebar dan menulis buku-buku tebal tentang sesuatu yang tidak diketahuinya.

Tetapi persetujuan saja tidak terbatas di situ. Saya menyetujui pendirian Dr. Subandrio agar pejabat-pejabat negara yang bertanggungjawab mempelajari Marxisme, dengan alasan bahwa Marxisme tidak hanya bukan barang selundupan di Indonesia, tetapi sesuatu yang sah, karena konsepsi Nasakom adalah pengakuan hak hidup bagi Marxisme di negeri kita, sebagaimana juga halnya dengan hak hidup bagi Nasionalisme dan agama. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, soal mempelajari Marxisme di negeri kita, di samping sangat perlu untuk menambah pengetahuan guna memahami berbagai gejala internasional, menghadapi kenyataan adanya negara-negara sosiali atau gerakan kelas buruh sedunia, adalah sangat perlu pula untuk memahami gejala-gejala nasional, untuk merealisasi aspirasi-aspirasi nasional kita, untuk merealisasi gagasan Nasakom, Gotong Royong dan Sosialisme Indonesia.

Seperti sudah saya katakan dalam ceramah saya tanggal 8 April tahun yang lalu, Marxisme di Indonesia sudah menjadi kenyataan sejarah, kenyataan sosiologis, kenyataan politis. Marxisme tumbuh sudah lama di negeri kita, yaitu sejak tahun 1914 dengan berdirinya Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia (PSDH, Indische Sociaal Democratische Vereniging – ISDV) yang dalam bulan Mei tahun 1920 menjadi PKI. Dalam tahun 1926 – 1927 Partai Marxis yang masih sangat muda ini telah memimpin satu pemberontakan Rakyat anti-kolonialisme yang gagal, kemudian hampir duapuluh tahun dipaksa hidup di bawah tanah oleh kaum kolonialis Belanda dan Fasis Jepang, tetapi sejak Revolusi Agustus 1945 ia muncul kembali ke permukaan bumi, ambil bagian aktif dalam revolusi itu, dan sekarang telah merupakan satu aliran dan kekuatan yang penting dalam kehidupan politik Rakyat Indonesia. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, Marxisme telah mendapat tempatnya sendiri di dalam kehidupan politik dan sosial negeri kita, di dalam hati bagian tertentu yang tidak kecil dari Rakyat Indonesia.

Dalam ceramah saya tanggal 8 April tahun yang lalu tersebut di dalam telah saya singgung serba singkat bahwa Marxisme terdiri dari tiga sumber dan tiga bagian, yaitu Filsafat, Ekonomi Politik dan Sosialisme.

Filsafat Marx bersumber pada filsafat klasik Jerman. Filsafat Marxisme adalah materialisme. Hasil yang paling penting dari Marx di bidang filsafat ialah dialektika, yaitu ajaran tentang perkembangan dalam bentuknya yang paling sempurna, paling dalam, bebas dari sifat berat sebelah, ajaran tentang kerelatifan pengetahuan manusia yang memberikan pencerminan kepada kita tentang materi yang berkembang abadi. Marx tidak berhenti pada memperdalam dan mengembangkan materialisme filsafat, tapi ia melengkapinya, ia meluaskan pengertian materialisme filsafat tentang alam kepengertian tentang masyarakat manusia. Penerapan (penggunaan, pelaksanaan) azas-azas pokok materialisme dialektik di lapangan gejala sosial, gejala kemasyarakatan, itulah yang dinamakan materialisme histori. Materialisme filsafat Marx telah menunjukkan kepada Rakyat pekerja jalan keluar dari perbudakan jiwa.

Saya bermaksud untuk menguraikan materialisme dialektik dan histori secara agak mendalam dalam Bab I dari rangkaian ceramah-ceramah saya. Materialisme dialektik dan histori tidak hanya merupakan salah satu bagian, tetapi juga dasar daripada Marxisme.

Ekonomi Politik Marx bersumber pada ekonomi klasik Inggris. Marx melanjutkan pekerjaan Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) yang berkat penyelidikannya di lapangan sistem ekonomi telah meletakkan dasar-dasar untuk teori nilai kerja. Marx telah menyingkapkan hubungan antara manusia dalam penukaran antara barangdagangan yang satu dengan barangdagangan yang lain. Dalam hal ini ahli-ahli ekonomi borjuis hanya melihat hubungan antara barang-barang tidak menyingkapkan hubungan antara manusia. Marx membuktikan bahwa dalam sistem kapitalis tenaga kerja manusia pun menjadi barang perdagangan. Dan dari sinilah Marx menjelaskan bagaimana kaum buruh menghasilkan nilai-lebih yang menjadi sumber kekayaan seluruh kelas kapitalis. Ajaran tentang nilai-lebih adalah batu-alas teori ekonomi Marx. Ekonomi politik Marx menerangkan kedudukan kelas buruh yang sesungguhnya dalam sistem umum kapitalisme.

Saya bermaksud untuk menguraikan secara agak mendalam tentang Ekonomi Politik Marx dalam Bab II dari rangkaian ceramah-ceramah saya.

Sosialisme Marx bersumber pada ajaran Sosialisme klasik Prancis. Berbeda dengan ajaran-ajaran sosialisme utopia Prancis, Sosialisme Marx adalah ilmiah, tidak berdasarkan semata-mata pada “kemauan baik” dan “akal” subjektif, tetapi berdasarkan hukum objektif perkembangan masyarakat manusia. Marx telah menarik kesimpulan dari sejarah dunia, bahwa perjuangan kelas adalah lokomotif daripada kemajuan masyarakat, bahwa untuk menciptakan masyarakat sosialis, masyarakat dimana tidak ada penghisapan atas manusia oleh manusia, masyarakat tak berkelas, tidaklah mungkin dengan jalan mengharapkan belas kasihan kaum kapitalis atau usaha orang-orang yang baik budi saja, tetapi harus dengan jalan mengadakan perjuangan kelas terhadap kaum kapitalis. Perjuangan kelas untuk menghapuskan kelas!

Saya bermaksud untuk menguraikan secara agak mendalam tentang Sosialisme Ilmu dalam Bab III dari rangkaian ceramah-ceramah ini.

 

--------------------------------------------------------------

 

BAB I. FILSAFAT

Sebagaimana telah saya kemukakan dalam pengantar ceramah ini, materialisme dialektik dan histori (MDH) bukan hanya salah satu bagian, tetapi merupakan dasar daripada ajaran Marxisme keseluruhannya. Maka, untuk dapat mengenal dan memahami, apalagi menguasai Marxisme, pertama-tama dan terutama kita harus mengenal dan memahami filsafat materialisme dialektik dan histori.

Dalam tulisannya Tiga Sumber dan Tiga Bagian Marxisme Lenin antara lain mengatakan: “Filsafat Marx adalah materialisme filsafat yang sudah disempurnakan, yang telah mempersenjatai umat manusia, terutama kelas buruh, dengan alat-alat pengetahuan yang perkasa.”[1] Filsafat Marx adalah perkasa, ia bukan hanya merupakan senjata untuk mengenal, tetapi juga untuk mengubah keadaan alam, masyarakat maupun pikiran manusia sendiri.

Mengapa MDH itu perkasa?

“Ajaran Marx adalah perkasa, karena ia benar-benar kata Lenin, “Ia komplit dan harmonis, ia memberi kepada manusia suatu pandangan dunia yang lengkap yang tak dapat didamaikan dengan takhayul apapun, dengan reaksi apapun, atau dengan pembelaan atas penindasan borjuis apapun. Ia adalah pewaris yang sah dari pada apa yang paling baik yang sudah diciptakan oleh umat manusia dalam abad kesembilanbelas”.[2[ Dengan perkataan lain, MDH yang diciptakan oleh guru-guru besar kelas proletar, K. Marx (1818 – 1883) dan F. Engels (1980 – 1895) dalam abad ke-19 itu adalah berdasarkan pengalaman praktek sosial seluruh umat manusia di masa lampau (lebih dari 2000 tahun) serta hasil-hasilnya yang terbaik dan termaju di bidang filsafat maupun di bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Ia merupakan suatu produk daripada proses perkembangan sejarah pada tingkatan tertentu – yaitu kapitalisme, dimana proses perjuangan antara pikiran-pikiran yang ilmiah dengan yang takhayul, antara filsafat materialisme dengan filsafat idealisme telah mencapai tingkat yang tertinggi. Proses perjuangan ini merupakan pencerminan (refleksi) proses perjuangan kelas yang telah sampai pada tingkat terakhir di sepanjang sejarah masyarakat berkelas. Oleh karena itu, maka untuk dapat mengenal dan memahami MDH secara tepat, perlu kita terlebih dahulu mendapat gambaran, walaupun secara singkat dan garis besar, tentang sejarah perkembangan filsafat.

1. Dua Kubu Dalam Dunia Filsafat

Sejarah perkembangan pikiran filsafat adalah suatu bagian dan juga suatu pencerminan (refleksi) daripada proses sejarah perkembangan masyarakat manusia. Filsafat sebagai suatu bentuk khusus kesadaran sosial mulai timbul dalam sejarah dunia pada jaman peralihan dari masyarakat komune-primitif ke masyarakat pemilikan budak, dimana masyarakat mulai terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan kepentingannya, mulai terjadi pemisahan antara kerja badan dengan kerja otak, dimana mulai terjadi hubungan penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia. Sejak itu, sebagaimana dikatakan oleh Marx, sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, maka sebagai pencerminannya sejarah filsafat adalah sejarah perjuangan antara dua kubu besar: materialisme dan idealisme.

Sebelum kita meninjau keadaan dua kubu besar filsafat tersebut serta proses perkembangannya perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian mengenai materialisme dan idealisme dalam filsafat.

Sebagai kita ketahui, filsafat adalah pandangan dunia, adalah pandangan manusia yang paling umum mengenai dunia keseluruhannya, mengenai gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran atau pengetahuan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, masalah pokok di dalam filsafat adalah masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, antara dunia-subjektif dengan dunia-objektif.

Dalam karyanya Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Engels menerangkan: “Masalah terpokok dari seluruh filsafat, ialah masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam................ antara mana yang primer, jiwa atau alam............... Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para filsuf terhadap masalah ini membagi mereka dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada lebih dahulu daripada alam, dan oleh karenanya, dalam instansi terakhir, menganggap adanya penciptaan dunia dengan satu atau lain bentuk.......... merupakan kubu idealisme. Lain-lainnya yang menganggap alam adalah yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme”.[3] Jelasnya, pandangan dunia materialisme bertolak dari kenyataan objektif, sedang pandangan dunia idealisme berpangkal pada pikiran atau ide. Demikianlah arti sebenarnya daripada istilah-istilah materialisme dan idealisme di dalam filsafat.

Alangkah salah dan kacaunya kalau ada sementara orang mengatakan, misalnya, bahwa orang yang berfilsafat materialisme itu hanya mengutamakan atau mengejar kenikmatan kehidupan materiil saja, dan tidak mementingkan kehidupan spiritual ataupun moral, sebaliknya orang yang berfilsafat idealisme itu adalah orang yang bercita-cita luhur dan bermoral tinggi, dan tidak lahap pada kenikmatan kehidupan materiil, tidak mata duitan; bahwa orang itu adalah materialis karena ia tidak beragama, dsb. dsb. Padahal, kenyataan banyak menunjukkan bahwa mereka yang berfilsafat materialisme itu justru adalah orang-orang yang jauh daripada lahap kepada kenikmatan kehidupan materiil, yang “rame ing gawe”, tapi “Sepi ing pamrih”, dan yang paling berani mengorbankan kepentingan dirinya, bahkan jiwa raganya sendiri untuk mewujudkan cita-cita umat manusia yang paling luhur, yaitu masyarakat sosialis dan Komunis yang bebas dari segala macam bentuk penindasan dan penghisapan oleh manusia atas manusia. Pendeknya, bukti sangat banyak bahwa mereka yang materialis dalam filsafat mempunyai ideal atau cita-cita itu. Sebaliknya, sangat banyak pula bukti bahwa mereka yang idealis dalam filsafat dan yang mengaku dirinya idealis justru adalah orang-orang yang paling mementingkan dirinya sendiri, yang paling rusak akhlaknya. Kata Engels: “Perkataan materialisme oleh si-filistin diartikan kerakusan, kemabukan, mata keranjang, nafsu birahi, kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba dan penipuan bursa – pendeknya, segala keburukan kotor yang ia sendiri melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Perkataan idealisme ia artikan kepercayaan akan kebajikan, filantorpi universal dan secara umum suatu ‘dunia yang lebih baik’, yang dia sendiri sombongkan di muka orang lain tetapi yang dia sendiri hanya percaya selama ia berada dalam kesusahan atau sedang mengalami kebangkrutan sebagai akibat dari ekses-ekses ‘materialis’nya yang biasa. Waktu itulah ia menjanjikan lagu kesayangannya, Apa manusia itu? – setengah binatang, setengah malaikat.”[4] Juga kenyataan-kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang tak beragam tidaklah otomatis materialis dalam filsafat, dan orang yang idealis filsafatnya tidak mesti beragama, sungguhpun setiap agama itu dasar filsafatnya adalah idealis. Sarjana-sarjana dalam ilmu alam juga tidak otomatis berfilsafat materialis. Justru oleh karena itu, maka Engels memperingatkan: “Betapalah kacaunya jika kepada dua istilah itu ditambahkan sesuatu pengertian yang lain”, maksudnya yang lain daripada pengertian filsafat. Dan ia mengecam dengan kerasnya orang-orang yang menyalahgunakan dua istilah tersebut sebagai orang-orang yang sudah kacau balau pikirannya.

Jadi, dalam membicarakan materialisme dan idealisme kita harus berpegang pada pengertian seperti yang sudah diterangkan di dalam, kita harus berpegang pada pengertian filsafat dan bukan pengertian moral.

(A) IDEALISME

Filsafat idealisme yang pada dasarnya berpendapat bahwa ide atau jiwa ada lebih dahulu, sedang alam atau kenyataan objektif diciptakan atau diwujudkan oleh ide itu bersumber pada dua hal: 1) Kepicikan pengetahuan atau takhayul dan 2) Watak kelasnya.

“Sejak jaman purbakala”, tulis Engels, “ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang ujud-ujud impian mulai percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukan aktivitas-aktivitas tubuh mereka, tetapi suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami tubuhnya dan meninggalkannya waktu mereka mati – sejak itu manusia didorong untuk berpikir tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu tubuhnya mati nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada kesempatan untuk mendapatkan suatu kematian lain yang jelas baginya”. [5] Dengan demikian timbul ide tentang kekekalan, timbul kebingungan karena ketidaktahuan. Dari sinilah kemudian timbul dan berkembang berbagai macam bentuk-bentuk kepercayaan, ketakhayulan dan filsafat idealisme.

Akan tetapi, ketidaktahuan atau kepicikan pengetahuan manusia, yang disebabkan karena pembatasan syarat-syarat sejarah yang ada padanya, atau oleh keterbatasan pengalaman praktek sosialnya, bukanlah akar yang kuat bagi pertumbuhan filsafat idealisme. Sebab, seiring dengan perkembangan masyarakat, dengan kemajuan praktek sosial manusia, makin besar pulalah kemampuan manusia untuk mengenal dunia di sekitarnya. Pengetahuan manusia makin luas, dalam dan tepat mengenai keadaan di sekelilingnya maupun mengenai dirinya sendiri, sehingga pandangan idealis yang bersumber pada pengetahuan yang salah itu dengan sendirinya gugur. Tetapi kenyataan sejarah menunjukkan bahwa filsafat idealisme dapat mempertahankan dirinya, bahkan dapat berpengaruh kuat, walaupun di dalam keadaan dimana ilmu atau pengetahuan manusia telah berkembang sangat tinggi seperti sekarang ini. Hal ini bisa terjadi justru karena pandangan idealisme itu dapat memberikan kegunaan kepada kekuatan-kekuatan sosial tertentu, dan karenanya mendapatkan dukungan mereka. Dengan perkataan lain, sebagaimana dikatakan oleh Lenin, filsafat idealisme “dikonsolidasi oleh kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang berkuasa[6] – pemilik budak, kaum feodal atau borjuasi. Di sinilah letak akar kelas dari idealisme.

Di dalam kubu idealisme terdapat berbagai macam aliran dengan bentuk-bentuknya yang bersesuaian dengan keadaan sosial dimana mereka tumbuh dan berlaku. Akan tetapi, pada pokoknya mereka dapat dibagi ke dalam dua macam golongan besar, yaitu: a) idealisme objektif, dan b) idealisme subjektif.

a) Idealisme Objektif

Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, pokok pangkal dari segala macam idealisme adalah sama, yaitu ide. Akan tetapi, ide itu dapat diartikan pikiran manusia, baik sebagai umat manusia keseluruhannya maupun sebagai orang seorang, dan juga dapat diartikan ide yang berada di luar manusia, misalnya, ide dewa-dewa, atau “ide absolut” ciptaan Hegel, dan entah berapa banyak lagi sebutan-sebutan lainnya.

Idealisme objektif adalah pandangan dunia yang berpokok-pangkal pada ide yang berada di luar manusia, yang “objektif”. Pandangan dunia semacam ini pada dasarnya mengakui adanya sesuatu yang bukan-materiil, yang ada secara abadi di luar dunia dan manusia. Sesuatu yang bukan-materiil itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, malah sebagai pencipta dunia alam semesta ini, termasuk manusia dengan segala pikiran dan perasaannya. Semua yang materiil, menurut idealisme objektif, adalah hasil ciptaan atau sebagai perwujudan konkret daripada ide. Dalam bentuknya yang amat primitif, pandangan ini menyatakan dirinya dalam penyembahan kepada pohon, batu, dsb.

Akan tetapi, sebagai suatu sistem filsafat, pandangan dunia ini dalam sejarah dunia kita kenal pertama-tama adalah sistem filsafat Plato (427 – 347 S.M.) atau platoisme. Menurut Plato, dunia luar yang dapat ditanggap oleh panca indera atau cita rasa kita itu bukanlah dunia yang riil, melainkan bayangan daripada dunia “idea” yang abadi dan riil. Oleh karenanya ia selanjutnya berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu adalah penemuan kembali atau pengingatan kembali (anamnesis) pada “idea” itu, dan tujuan dari pengetahuan manusia adalah untuk menemukan kembali seluruh dunia “idea” itu. Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu, yakni kaum bangsawan pemilik-budak, dan ini nampak dengan jelasnya dalam ajarannya tentang “masyarakat ideal” atau sosialisme kaum bangsawan. Tentang ini akan diterangkan di bagian lain yang mengenai sejarah timbulnya cita-cita Sosialisme.

Pada Zaman Tengah (feodal), filsafat idealisme objektif mengambil bentuk yang dikenal dengan sebutan: skolastisisme. Sistem filsafat ini adalah suatu pandangan dunia yang memadukan unsur-unsur idealisme dari filsafat Aristoteles (384 – 322 S.M.) dengan teologi. Pokok pandangan filsafat skolastisisme ini ialah, bahwa dunia kita ini merupakan satu tingkatan hierarki dari seluruh sistem hierarki dunia semesta yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun juga hierarki yang ada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari hierarki dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di atas dunia kita maupun di seluruh alam semesta ini tidak lain adalah pelaksanaan titah Tuhan atau sebagai perwujudan konkret daripada ide Tuhan. Filsafat ini membela kepentingan kaum bangsawan feodal dan kekuasaan gereja yang pada waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini antara lain dapat dikemukakan di sini, misalnya, Johannes Eriugena (833 – 800), Thomas Aquinas (1225 – 1274), Duns Scotus (1270 – 1308), dsb.

Kemudian, dalam Zaman Modern, pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, filsafat idealisme objektif mengambil bentuknya yang terkenal dengan sistem filsafat Hegel (1770 – 1831). Menurut Hegel, hakikat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut dan “objektif” di dalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “ide absolut” ini, dalam proses perkembangannya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat dan gejala pikiran. Dengan demikian, “ide absolut” itu tak lain adalah pencipta segala sesuatu di dunia ini. Filsafat Hegel mewakili kelas borjuis Jerman yang pada ketika itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan kelasnya menghendaki suatu perubahan sosial, menghendaki hapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan jonker. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektiknya yang beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa berkembang dan berubah, tidak ada yang abadi dan mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi, kekuatan dan kedudukannya yang masih serba lemah itu membikin mereka tak berani secara terang-terangan melawan filsafat skolastisisme dan ajaran agama yang berkuasa pada ketika itu, perlawanan mereka terbatas pada usaha menggantikan Tuhan dengan “ide absolut”.

Bentuk filsafat idealisme objektif yang kita kenal pada zaman sekarang, antara lain, adalah neo-Thomisme atau neo-skolastisisme. Neo-Thomisme adalah suatu aliran filsafat yang menghidupkan kembali filsafat skolastisisme di zaman tengah, menghidupkan kembali ajaran-ajaran Thomas Aquinas, dengan menyalahgunakan hasil-hasil ilmu. Dasar pandangannya ialah pengakuan Tuhan sebagai pencipta dan penguasa yang maha kuasa atas dunia. Alam adalah “realisasi ide-ide suci”, dan sejarah adalah “realisasi rencana suci”. Jadi, mereka mengakui adanya dunia objektif yang diciptakan oleh Tuhan, dan manusia dibekali oleh Tuhan untuk mengenal dunia objektif itu atau kebenaran abadi. Tetapi, menurut mereka, pengetahuan yang diberikan oleh ilmu itu tak dapat dipercaya dan hanya terbatas pada kulit badaniah yang menyembunyikan kebenaran abadi, sedang filsafat hanya bisa mencapai atau menyelami sebagian dari kebenaran itu. Jalan kebenaran yang tertinggi terletak hanya lewat “wahyu”, “keyakinan agama”, dan oleh karenanya kesimpulan-kesimpulan umum ilmu dan filsafat harus menyesuaikan diri padanya. Jelaslah bahwa filsafat neo-Thomisme ini merupakan suatu ajaran yang hendak mengabdikan ilmu dan filsafat pada kepentingan kamu kapitalis dengan menggunakan gereja. Aliran filsafat ini di dalam dunia kapitalis mempunyai pengaruh yang agak besar tidak hanya di kalangan rakyat biasa, tetapi juga di kalangan kaum sarjana.

Demikianlah beberapa bentuk dari filsafat idealisme objektif yang dapat kita kenal dalam dunia filsafat.

Pikiran filsafat idealisme objektif itu juga dapat kita jumpai di dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam bentuk. Perwujudannya yang paling umum, antara lain, adalah formalisme dan doktrinisme. Kaum formalis dan doktrineris secara buta tuli mempercayai dalil-dalil atau formula-formula sebagai kekuatan yang maha kuasa. Sebagai obat yang manjur untuk segala macam penyakit, sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan tidak bisa berpikir dan bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat-syarat yang konkret. Mereka, kaum “textbook-thinkers”, yang sering dikecam oleh Presiden Sukarno, juga adalah perwujudan pikiran idealisme objektif dalam praktek. Juga bapakisme atau kultus individu (pemujaan pada seseorang) adalah perwujudan konkret dari idealisme objektif, karena semua itu adalah bentuk-bentuk ketakhayulan.

b) Idealisme Subjektif

Berbeda dengan idealisme objektif, maka idealisme subjektif adalah pandangan dunia yang berpangkal pada ide manusia, baik ide manusia secara keseluruhannya, maupun secara perorangan. Jelasnya, aliran filsafat ini berpendapat bahwa dunia di sekeliling kita ini merupakan kumpulan daripada sensasi-sensasi manusia, dengan perkataan lain, dunia luar yang ada di sekitar kita ini dipandangnya sebagai khayalan belaka, sedang perasaan dan pikiran kita dipandangnya sebagai satu-satunya zat (substansi) yang riil.

Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran idealisme subjektif ini adakah seorang uskup Inggris yang bernama George Berkeley (1648 – 1753). Menurut Berkeley, segala sesuatu yang tertanggap oleh sensasi atau perasaan kita itu bukanlah dunia materiil yang riil dan ada secara objektif, melainkan khayalan daripada ide kita belaka. Sesuatu yang materiil, misalnya, bunga mawar merah, dianggapnya sebagai suatu kumpulan dari berbagai macam perasaan tertentu, yaitu perasaan mengenai warna, bau, bentuk, dsb. ; dan yang dimaksud dengan sensasi atau perasaan itu adalah ide yang telah kita sedari, atau sebagai bentuk eksistensi daripada ide kita. Dengan demikian, Berkeley menyangkal adanya dunia materiil yang objektif, dan hanya mengakui adanya dunia yang riil di dalam sensasi atau ide manusia. Kesimpulan yang logis yang dapat ditarik dari pandangan idealisme subjektif ini adalah akuisme atau solipsisme, suatu pikiran filsafat yang menyatakan bahwa yang ada secara riil di dunia ini hanyalah “aku”, segala sesuatu lainnya, termasuk juga orang tuaku, tidak lain hanya sebagai perwujudan konkret daripada sensasi aku. Untuk “menghindarkan diri dari solipsisme”, maka Berkeley menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi, bahkan sebagai penggerak daripada sensasi kita. Filsafat Berkeley ini adalah filsafat kaum borjuis besar Inggris pada abad ke-18, yang sudah merupakan kekuatan reaksioner, dalam menentang materialisme, sebagai manifestasi kekhawatiran terhadap revolusi, Berkeley sendiri secara terus terang menyatakan bahwa filsafat idealisnya ditujukan untuk menyangkal materialisme dan untuk memperkuat eksistensi Tuhan.

Dalam abad ke-19, idealisme subjektif mengambil bentuknya yang terkenal dengan sebutan: positivisme, yang dikemukakan pertama kalinya oleh filsuf Prancis bernama Auguste Comte (1798 – 1857). Menurut ajarannya, hanya “pengalaman” merupakan kenyataan yang “sesungguhnya”, selain dari pengalaman manusia tidak ada lagi dunia kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman praktis itu. Kaum positivis mengaku dirinya berdiri di dalam materialisme dan idealisme, hendak menyamakan begitu saja ilmu dengan filsafat, tetapi sesungguhnya mereka bersama-sama dengan idealisme menyerang materialisme. Comte membagi sejarah dalam tiga tingkatan: tingkatan teologi, tingkatan metafisik, dan tingkatan empiris. Kapitalisme, menurut Comte, merupakan sistem yang paling rasional sebagai hasil daripada kemenangan pikiran ilmiah pada tingkatan empiris. Dari sini jelaslah bahwa filsafat Comte atau positivisme umumnya adalah pembelaan kepentingan kaum borjuis dan sistem kapitalisme.

Dalam masa peralihan ke abad ke-20, positivisme menyatakan dirinya dalam bentuk Mach-isme (Mach, E, 1838 – 1916) yang juga disebut empirio-kritisisme, yang dikritik habis-habisan oleh Lenin dalam karyanya Materialisme dan Empirio-kritisisme.

Sebagai kelanjutan dari filsafat positivisme pada awal abad ke-20 adalah pragmatisme yang sekarang populer di Amerika Serikat. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain adalah William James (1842 – 1910) dan John Dewey (1859 – 1952). Kaum pragmatis ini walaupun mengakui adanya dunia objektif, tetapi, menurut mereka, dunia objektif tak ada artinya sama sekali kalau tidak dihubungkan dengan pengalaman praktis manusia. Dalam hubungan ini, menurut mereka, benar atau tidaknya pengetahuan atau teori kita tentang sesuatu bukanlah diukur dengan sesuai atau tidaknya dengan kenyataan objektif itu, melainkan diukur dengan ada atau tidaknya “nilai kontan” (cash-value). Dengan demikian, pragmatisme sebenarnya hanya mengakui adanya kebenaran subjektif, tidak mengakui adanya kebenaran objektif. Filsafat ini adalah filsafatnya “big businessmen” atau kaum borjuis besar, mewakili kepentingan kaum imperialis. Sebab, berdasarkan ajaran mereka ini, maka tindakan penindasan dan penghisapan ataupun perang agresi terhadap orang atau bangsa lain, misalnya, pendudukan kaum imperialis Belanda atas wilayah kita Irian Barat, asalkan bisa memberikan keuntungan kepada mereka, adalah suatu kebenaran! Bekas Presiden Eisenhower menggunakan “prinsip” pragmatis terhadap pemakaian senjata-senjata atom. “menurut pendapat saya”, kata Eisenhower, … penggunaan bom-bom atom harus atas dasar ini. Apakah akan menguntungkan saya atau tidak, apabila saya mengadakan suatu peperangan? … Apabila saya berpikir bahwa hasil bersih akan ada di pihak saya, saya akan menggunakannya segera”. [7]

Bentuk lain dari idealisme subjektif yang juga sangat populer di dunia Barat pada masa kini dan selama ini agak banyak dipropagandakan di negeri kita, adalah eksistensialisme. Pemukanya adalah seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger (1889 - …), yang banyak mengambil ajaran-ajarannya Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang mistik Denmark pada awal abad ke-19. Eksistensialis-eksistensialis lainnya yang ternama antara lain Karl Jaspers (1883-…..) dan Jean Paul Sartre (1905-……..).

Pokok pandangan eksistensialisme adalah pengakuan bahwa manusia tak mampu mengenal dunia luar yang serba misterius dan rumit itu, satu-satunya kenyataan yang dikenalnya adalah “aku ada”. Sebagaimana dikemukakan oleh Sartre. Eksistensi itu tidak mengandung akal, kausalitas, keharusan! Oleh karenanya, setiap individu harus bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya. Tetapi kebebasan itu hanya dapat dicapai kalau memisahkan dirinya dari individu-individu lainnya, dari masyarakat, karena dalam masyarakat, dalam hubungan dengan orang-orang lain, akan terampas individualitasnya. Filsafat ini menanamkan rasa takut kepada manusia dengan mengemukakan bahwa eksistensi dunia dan manusia itu mempunyai masa akhirnya. Maka itu carilah kepuasan yang sepuas-puasnya menurut kehendakmu selama kamu masih ada (exist). Demikianlah eksistensialisme mendemonstrasikan kekosongan spiritual dan degradasi moral yang berasal dari individualisme borjuis. Filsafat ini sebagai pencerminan ketakutan borjuasi akan kehancurannya yang tak dapat dielakkan dan sebagai bentuk manifestasinya ada kalanya berwujud tindakan yang kalap. Eksistensialisme, bersama-sama dengan aliran-aliran idealisme subjektif lainnya, merupakan tanah ideologi yang subur bagi pertumbuhan fasisme dan militerisme.

Demikianlah beberapa macam bentuk idealisme subjektif yang dapat kita temukan di dalam dunia filsafat.

Di dalam kehidupan sehari-hari sering juga dapat kita jumpai pikiran-pikiran idealisme subjektif dalam berbagai macam bentuk. Misalnya, tak jarang kita mendengar ucapan-ucapan seperti berikut:

“Baik atau buruknya keadaan masyarakat kita sekarang ini tergantung pada orang yang menerimanya, ia adalah baik bagi mereka yang merasakannya baik, dan ia adalah buruk bagi mereka yang menanggapinya buruk” ; atau “Keadaan masyarakat menjadi demikian buruknya tidak lain karena orang-orang yang berkuasa banyak yang tidak jujur melakukan tugas kewajibannya, jika mereka diganti dengan orang-orang yang jujur, keadaan akan berubah menjadi baik” ; atau “Tanpa aku yang memimpin, segala pekerjaan akan menjadi berantakan”; atau “aku bisa, kau harus bisa juga!”; dsb.

Semuanya itu pada pokoknya mau menyatakan bahwa ide seseorang yang menciptakan atau menentukan keadaan objektif.

(B) MATERIALISME

Berlawanan dengan filsafat idealisme, filsafat materialisme pada umumnya bersandar pada ilmu dan mempunyai watak kelas yang revolusioner. Hal ini akan nampak dengan jelas di dalam proses perkembangan sejarahnya.

a) Materialisme Primitif

Filsafat materialisme dialektik dan histori dilahirkan melalui suatu proses perkembangan sejarah yang lama. Bentuk pertama filsafat materialisme adalah materialisme primitif atau materialisme spontan yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno pada 600 tahun sebelum masehi. Materialisme pada ketika itu adalah sederhana, kesederhanaannya sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat pada zaman itu. Sekalipun demikian, arti sejarahnya serta sumbangannya kepada pikiran manusia pada zaman-zaman selanjutnya, terutama kepada kelahirannya materialisme dialektik adalah besar sekali.

Sebagai wakil-wakil yang tersohor daripada filsuf-filsuf materialisme Yunani antara lain adalah Thales (640 – 546 S.M.), Anaximander (611 – 546 S.M.), Anaximenes, Heraclitus (kira-kira 500 tahun S.M.). Democritus (kira-kira 460 – 360 S.M.), dsb. sekalipun ajaran-ajaran mereka berbeda-beda satu sama lain, di antara mereka ada satu persamaan pendapat: bahwa dunia ini terdiri dari materi: bahwa segala sesuatu di dunia ini pada hakikatnya adalah materi yang senantiasa berubah dan berkembang. Misalnya, Thales mengatakan segala sesuatu itu bersumber pada air, air merupakan unsur pokok dari dunia ini. Anaximenes berpendapat bahwa hakikat dari dunia ini adalah hawa. Heraclitus menganggap dunia ini diciptakan oleh api. Pada antara abad ke-5 dan ke-4 sebelum Masehi, Democritus mengemukakan teori atomnya yang mempunyai nilai ilmu yang sangat besar sekali.

Menurut Democritus, dunia ini terdiri dari atom; atom adalah bagian-bagian terkecil yang tak dapat dipecah lagi dari segala benda. Perbedaan jumlah dan susunan atom membentuk benda-benda yang berlainan. Kecuali atom, Democritus juga berpendapat bahwa masih ada satu hal lagi yang ada di dunia ini, yaitu ruang. Ruang merupakan tempat dimana atom-atom itu bergerak, saling mendorong dan bentrok. Sehingga terjadi berbagai macam gejala dan gerak. Mengenai ide dan pengetahuan, Democritus menerangkannya sebagai pencerminan keadaan luar di dalam hati dengan melalui perasaan, karenanya perasaan dipandangnya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Kemudian, Epicurus (341 – 270 S.M.), sebagai penerus dari Democritus, menerangkan bahwa segala gejala pikiran, perasaan, dsb, termasuk juga roh manusia, semuanya adalah perwujudan dari gerak atom-atom. Dengan demikian, filsafat Epicurus berpendirian materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi.

Selain daripada itu materialisme Yunani kuno juga mengandung pandangan metodologi dialektik. Misalnya, Thales beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa berada dalam keadaan gerak, A bisa berubah menjadi B, B juga bisa berubah menjadi C; demikianlah segala sesuatu itu berubah terus menerus. Anaximander juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu bergerak dan berubah, bahkan ia menerangkan gerak dan perubahan itu adalah suatu proses perjuangan dari dua hal yang berlawanan: panas dan dingin. Akan tetapi, pandangan Heraclitus dalam hal ini lebih maju lagi. Menurut Heraclitus, segala sesuatu itu “mengalir”, “panta nhei”. Heraclitus tidak hanya menerangkan segala sesuatu itu “mengalir”, berkembang, tetapi juga menjelaskan bahwa perkembangan itu sendiri adalah proses perjuangan dari kontradiksi.

Demikianlah beberapa pokok pandangan materialisme primitif. Sudah tentu dalam menerangkan segala sesuatu itu filsuf-filsuf materialis Yunani tidak memberikan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Ini bisa dipahami, mengingat tingkat perkembangan tenaga produktif masyarakat yang masih sangat rendah pada waktu itu. Sungguhpun demikian, filsafat ini pada ketika itu mewakili kepentingan kaum pedagang yang baru saja tumbuh, dan oleh karena itu secara historis progresif. Sebagaimana kita mengetahui, pada waktu itu di Pesisir Tenggara Yunani, ekonomi barangdagangan mulai berkembang dan menggantikan ekonomi alamiah. Kaum pedagang, golongan yang progresif pada waktu itu, berusaha menghapuskan segala perintang perkembangan perdagangan dan mulai menuntut berbagai ilmu praktis yang bersangkutan dengan usahanya, misalnya, astronomi, ilmu ukur, dsb.

b) Materialisme Mekanik

Materialisme primitif Yunani pada abad ke-4 sebelum Masehi sudah mulai menurun pengaruhnya, dan diganti oleh idealisme yang diwakili oleh Plato dan kemudian Aristoteles. Sejak itu dunia filsafat dikuasai oleh idealisme dalam jangka waktu sangat lama sekali, yaitu kira-kira 1700 tahun lamanya. Sepanjang masa itu merupakan zaman gelap bagi materialisme.

Baru pada akhir jaman feodal, yaitu pada akhir abad 17, dimana kaum borjuis sebagai kelas baru yang mewakili cara produksi baru sudah mulai tumbuh dengan kuatnya, materialisme mulai muncul kembali dalam bentuk yang umumnya kita sebut materialisme modern. Materialisme modern ini sudah tentu jauh lebih maju daripada materialisme primitif, sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat ilmu pada waktu itu. Materialisme modern ini lahir sebagai senjata ideologi kelas borjuis dalam perjuangannya melawan kelas feodal yang berkuasa pada ketika itu. Oleh karenanya, materialisme modern ini justru tumbuh dan berkembang luas terutama di negeri-negeri dimana gelombang revolusi borjuis sedang pasang, yaitu di negeri Belanda, Inggris dan Prancis.

Sebagai wakilnya yang tersohor dalam abad ke-17 antara lain adalah seorang ahli pikir Belanda bernama Spinoza (Benedictus, 1632 – 1677). Menurut Spinoza dunia ini terdiri hanya dari satu substansi, kecuali itu tidak ada zat lainnya. Substansi ini olehnya disebut “Tuhan”. Akan tetapi, “Tuhan” yang dimaksudkan itu, menurut penjelasannya, bukanlah Tuhan dalam dunia agama atau Tuhan yang menciptakan dunia dan manusia, melainkan alam dan hukum-hukumnya. Spinoza berbeda dengan Descartes (1596 – 1650). Descartes menganggap yang ada di dunia ini dua unsur: Tuhan dan benda. Sedang Spinoza hanya mengakui satu zat saja: alam. Walaupun ia sudah mengatasi dualismenya Descartes, tetapi ia belum konsekuen meninggalkan pandangannya yang memisahkan dan mempertentangkan dunia materi dengan ide. Menurut pendapatnya, substansi itu mempunyai dua sifat: pikiran dan eksistensi (artinya memiliki ruang); hakikat dari substansi itu dinyatakan sepenuhnya oleh tiap sifat itu. Dua sifat itu merupakan dua segi daripada satu hal yang sama, yaitu alam, mereka masing-masing berdiri sendiri-sendiri, satu sama lain tidak saling bergantungan. Ini menunjukkan masih adanya sisa pengaruhnya dualisme Descartes di dalam alam pikiran Spinoza. Selanjutnya Spinoza juga memandang dunia sebagai suatu mesin, segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu tali. Ia juga menggunakan metode mekaniknya pada etika dan politik. Dalam karya utamanya Ethica Ordine geometrico demonstrata antara lain ia berkata: “Janganlah menangis, janganlah ketawa, tapi pahamilah – inilah justru tugas manusia yang sesungguhnya”. Ia juga mengatakan bahwa individu tak dapat memisahkan dirinya dari masyarakat, kehidupan kemasyarakatan merupakan keharusan; di dalam kehidupan semacam ini, tiap individu harus memadukan antara “mempertahankan dirinya” dengan “mencintai sesamanya”. Mengenai negara, ia berpendapat bahwa negara seharusnya tidak mengekang kepribadian manusia, sebaliknya harus memberikan syarat-syarat untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan materiil dan spiritual manusia.

Dari uraian di dalam, jelaslah kiranya sistem pemikiran Spinoza adalah rasionalisme dan mekanisme, suatu sistem ideologi borjuis pada abad 17 yang menyatakan perlawanannya terhadap hak-hak istimewa kaum feodal serta perlawanan terhadap penindasan atas demokrasi borjuis, sementara itu juga merupakan suatu ajaran atheisme yang menentang teologi dan takhayul. Filsuf-filsuf kenamaan dari materialisme modern yang sezaman dengan Spinoza, antara lain adalah Bacon (Francis. 1561 – 1626), Hobbes (Thomas, 1588 – 1679). Locke (John. 1632 – 1704) di Inggris dan Cassendt (Pierre. 1592 – 1655) di Prancis. Zaman mereka merupakan periode pertama dari pertumbuhan materialisme mekanik. Aliran filsafat ini kemudian mencapai puncak perkembangannya di Prancis pada abad 18 yang umumnya kita sebut materialisme Prancis. Sebagai wakil-wakilnya yang terkemuka antara lain ialah Holbach (Paul d’, 1723 – 1789) dan Lamettrie (Julien Offray de, 1709 – 1751).

Dalam menjawab masalah terpokok dalam filsafat, materialisme Prancis secara tegas menyatakan bahwa materi adalah primer, ide sekunder; ide dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Holbach mengatakan: “Materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu menyentuh pancaindra kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari berbagai macam hal ihwal itu adalah hasil dari berbagai macam impresi atau berbagai macam perubahan yang terjadi di dalam alam pikiran kita terhadap hal ihwal itu”. [8]) Dengan demikian, materialisme Prancis telah menyangkal dan menggulingkan pandangan mistisisme religius, teori tentang Pencipta dunia (demiurge), yang sebelum itu telah lama menguasai alam pikiran manusia. Bahkan secara terang-terangan Holbach menyatakan: “nampaknya agama itu diada-adakan hanya untuk memperbudak Rakyat dan supaya mereka tunduk di bawah kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya di dalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang datang mengancam mereka dengan kemarahan Tuhan, memaksa mereka diam dan mengarahkan pandangannya ke atas langit, dengan demikian membikin mereka tak dapat melihat sebab sesungguhnya daripada kemalangannya itu, juga berpikir menggunakan cara-cara yang diberikan kepadanya oleh dunia alam untuk melakukan perjuangan terhadap bencana-bencana itu.”[9])

Materialisme Prancis adalah materialisme mekanik, yang menerangkan bahwa tiap gejala adalah bagaikan mesin, dikuasai oleh hukum-hukum mekanika. Segala macam gerak dipandangnya hanya sebagai gerak mekanik, yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia serta aktivitasnya disamakan dengan mesin. Ini nampak dengan mencolok sekali dari karya Lamettrie yang berjudul Manusia adalah mesin. Menurut pendapatnya tubuh manusia itu adalah mesin yang paling sempurna; perasaan, pikiran, roh dan sifat-sifat manusia lainnya sama halnya dengan sifat mesin. Tanpa tubuh, tiada perasaan, tiada pikiran. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif daripada pikiran atau ide terhadap materi. Pandangan yang mekanik ini adalah salah satu ciri, malahan ciri kelemahan daripada materialisme Prancis.

Selanjutnya kaum materialisme Prancis abad 18 dalam salah satu epistemologi (teori tentang pengetahuan), secara tegas menentang pandangan idealisme yang menyatakan bahwa sebagian akal manusia didapatnya tidak dari pengalaman sensasionalnya melainkan sudah ada semenjak ia dilahirkan. Kaum materialisme Prancis (juga di Inggris dan Belanda) berpendapat bahwa pengalaman itu adalah satu-satunya sumber pengetahuan, pengalaman ini didapatnya dari hubungan langsung materi objektif dengan panca indera kita. Mereka mengutamakan pengetahuan sensasional, dan mengabaikan peranan pengetahuan rasional. Oleh karenanya materialisme mekanik sekaligus juga sensualisme atau empirisme. Ini juga merupakan kelemahannya.

Akan tetapi kelemahannya yang paling besar ialah pandangan sejarahnya. Karena mengenai gejala masyarakat, mereka berpijak pada idealisme. Menurut pandangan mereka, kekuatan penggerak perkembangan masyarakat adalah pikiran atau ide. Oleh karenanya mereka berpendirian jalan satu-satunya untuk mengubah sistem masyarakat ialah pembangunan mental, pendidikan, pembasmian kebodohan, dsb.

Walaupun materialisme mekanik mengandung banyak kelemahan, tetapi pada ketika itu ia merupakan pandangan dunia yang revolusioner, suatu kemajuan dalam dunia pikiran. Kemajuannya itu ditentukan oleh kemajuan-kemajuan yang terdapat dalam hubungan sosial ekonomi dan ilmu, tetapi syarat-syarat sejarah itu juga menentukan kelemahan-kelemahannya.

c) Lahirnya Materialisme Marxis

Pada masa peralihan dari abad ke-18 ke abad ke-19, di Jerman, dimana kapitalisme berkembang agak terbelakang, ideologi borjuis berwujud dalam bentuk yang umumnya kita sebut filsafat klasik Jerman. Sebagai puncak perkembangan aliran filsafat ini adalah Hegelianisme. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kita membicarakan tentang idealisme objektif, filsafat Hegel adalah idealisme objektif. Pokok-pokok pandangannya mengenai masalah terpokok dalam filsafat telah dikemukakan juga, di sini tak perlu diulang lagi. Yang akan dikemukakan di sini ialah mengenai segi-segi positifnya serta sumbangannya terhadap materialisme Marxis, dan sedikit tentang latar belakang sosialnya.

Sumbangan ajaran Hegel dalam sejarah perkembangan pikiran manusia besar sekali nilainya, bukan pandangan idealismenya, melainkan ajaran dialektikanya, “jiwa” filsafatnya. Hegel sendiripun pernah mengatakan: “ yang penting di dalam filsafat ialah metode, bukan kesimpulan-kesimpulan khusus mengenai ini atau itu”. Hegel telah berhasil mengkristalisasi segala unsur dialektik yang terdapat di dalam sistem pemikiran dari filsuf-filsuf besar yang ada sebelumnya, sehingga tercipta metodologi dialektik yang komplit. Dengan demikian ia telah menggulingkan metafisika, metodologi kuno yang sudah lama menguasai alam pikiran manusia dan ilmu.

Hegel mengemukakan, bahwa kaum materialis Inggris dan Prancis pada abad 17 dan 18, dan juga kaum idealis yang menjadi lawannya, semuanya adalah ahli pikir metafisik. Ia menunjukkan kesalahan-kesalahan atau kelemahan-kelemahan metafisika. Pertama, kaum metafisik memandang segala sesuatu tidak dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi ditinjaunya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri; sedang Hegel memandang dunia sebagai satu badan kesatuan, segala sesuatu di dalamnya terdapat saling hubungan yang organik. Kedua, kaum metafisik melihat sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati, tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat dari perkembangannya, dan perkembangan itu disebabkan adanya kontradiksi intern. Kaum metafisik berpendirian “segala yang bertentangan adalah irrasional”. Mereka tak mengetahui bahwa akal (reason, raison) itu sendiri adalah pertentangan (kontradiksi). Ketiga, sumbangan Hegel yang penting ialah kritiknya mengenai pandangan evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan mengemukakan teorinya tentang “lompatan” (sprong) dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses perkembangannya, tetapi pandangannya tentang perkembangan hanya terbatas pada perubahan-perubahan berangsur-angsur, perubahan evolusioner saja. Sedang Hegel berpendapat, dalam proses perkembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan meruncing, dan pada suatu tingkat tertentu perubahan berangsur-angsur berhenti, terputus, terjadilah “lompatan”. Setelah “lompatan” itu terjadi, maka kualitas sesuatu itu mengalami perubahan.

Dengan tersusunnya dialektika Hegel, maka dalam dunia pikiran manusia terjadi revolusi menghancurkan metodologi metafisik yang berkuasa lebih dari 2000 tahun lamanya. Logika dialektik Hegel telah memberi dorongan yang kuat bagi kemajuan pikiran ilmiah dan meletakkan dasar yang kuat pula bagi materialisme Marxis.

Akan tetapi dialektika Hegel itu diselubungi dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu pandangan idealismenya, sehingga ia memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya. Hukum dialektika, yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku di dunia ini dipandangnya bukan sebagai suatu hal yang objektif, yang primer, melainkan sebagai perwujudan dari “jiwa absolut”, yang sekunder. “Kulit” yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan isinya yang “rasional” diambil serta ditempatkan pada kedudukannya yang benar.

Kontradiksi yang ada di dalam filsafat Hegel ini justru mencerminkan keadaan masyarakat Jerman dalam zaman revolusi borjuis-demokratis. Hegel sendiri juga pernah mengatakan bahwa filsafat itu “adalah pernyataan zaman di dalam pikiran”. Pada ketika itu kapitalisme di Jerman mulai berkembang, tetapi kekuatan borjuis masih lemah, sedang kekuasaan feodal masih kokoh dan kuat. Dialektika Hegel yang revolusioner itu menyatakan tuntutan kelas borjuis, sedang idealismenya yang reaksioner itu di samping sesuai dengan keinginan kelas feodal yang berkuasa, mencerminkan kelemahan dan watak kompromisnya borjuasi Jerman pada ketika itu. Kelemahan dan watak kompromis mereka itu tidak hanya karena ketidakmampuannya melawan feodalisme yang masih kuat itu, tetapi juga karena ketakutannya kepada kelas proletar yang sudah mulai ‘bergelora”.

Pada pertengahan abad 19, kapitalisme di Jerman sudah berkembang dengan pesat, kekuasaan feodal mulai guncang tetapi masih mampu mempertahankan diri dengan gigih dan nekat. Dalam keadaan itu, muncullah materialisme Feuerbach (Ludwig, 1804 – 1872) yang tidak hanya mewakili kepentingan kaum borjuis, tetapi juga borjuis kecil yang sangat menderita pada waktu itu.

Materialisme Feuerbach pertama-tama menentang idealisme Hegel, menyangkal adanya “jiwa absolut”, dan secara tegas menyatakan bahwa hakikat dunia ini adalah alam yang materiil. Ia dengan tajam mengemukakan bahwa segala idealisme tidak berbeda dengan teologi yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan harus diganti dengan filsafat baru. Filsafat baru ini, menurut Feuerbach, harus bertolak dari materi yang benar-benar ada di ruang dan waktu dan dapat dirasakan oleh kita, pendeknya harus materialis dan atheis. Selanjutnya Feuerbach mengkritik filsafat Hegel, dikatakannya bahwa Hegel berdiri di dalam teologi berusaha menegasi teologi. Menurut Feuerbach, kedudukan Tuhan digantinya dengan manusia, keTuhanan diganti dengan kemanusiaan, secara tegas ia mengatakan, manusia itu sendiri adalah Tuhan. Tidak hanya sampai di situ, ia bahkan mengatakan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, sebaliknya “Tuhan adalah bayangan manusia di dalam cermin”. Ia berpendapat, sebagaimana Holbach, bahwa agama itu pada permulaannya adalah untuk memenuhi sesuatu kebutuhan manusia, akan tetapi, setelah ia dilahirkan, pastor dan yang berkuasa (kaum bangsawan dan paderi) menggunakannya untuk memperbudak Rakyat banyak atas nama Tuhan. Demikianlah Ludwig Feuerbach.

Filsafat Feuerbach mengandung beberapa kelemahan yang serius. Pertama, materialisme Feuerbach adalah naturalis. Ia memandang manusia bukan sebagai manusia kemasyarakatan, melainkan sebagai manusia alamiah. Dengan demikian, pengertiannya terhadap manusia adalah makhluk di luar hubungan produksi kemasyarakatan, maka dari itu ia tak dapat melihat peranan yang aktif dari manusia dalam mengubah alam. Kedua, materialismenya juga tak mendalam (intuitif). Dalam mengkritik filsafat Hegel, seluruh ajaran Hegel, termasuk dialektikanya, ia salahkan. Ia tak memahami kebenaran dialektika Hegel yang antara lain juga mengajarkan bahwa di dalam setiap sesuatu itu terdapat segi positifnya dan segi negatifnya, di dalam yang jelek ada yang baik, di dalam yang baik ada yang jelek. Oleh karenanya, materialisme Feuerbach seperti filsafat borjuis lainnya, masih tetap intuitif, metafisik, non-dialektik. Kelemahan-kelemahannya inilah oleh Marx dikupas secara kritis.

Dari uraian tersebut di dalam jelaslah bahwa Marx dan Engels telah merombak dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach secara fundamental dan kritis, sehingga menciptakan materialisme baru, materialisme dialektik dan historis, yang lebih tinggi dan sempurna daripada semua macam materialisme sebelumnya.

Maka adalah keliru, kalau oleh sementara orang materialisme dialektik dan histori dianggap atau diartikan secara mekanis sebagai penggabungan dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach. Marx sendiri berkata: “ Dialektika saya tidak hanya berbeda dengan Hegel secara fundamental, tetapi adalah lawannya yang langsung. Bagi Hegel, proses hidup otak manusia, yaitu proses pemikiran, yang dengan nama ‘idea’, olehnya malahan diubah menjadi subjek yang berdiri sendiri, adalah pencipta (demiurgos) daripada dunia nyata, dan dunia nyata itu hanyalah bentuk luar, bentuk gejala daripada ‘idea’. Sebaliknya, bagi saya, ide tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh otak manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran...... Pandangan dialektika Hegel berdiri di dalam kepalanya. Ia harus dibalikkan kembali pada kedudukannya yang benar. Jika mau menemukan intisarinya yang rasional di dalam kulitnya yang mistik”. [10])

Pendeknya, Marx dan Engels telah merombak dialektika Hegel secara materialis dan merombak materialisme Feuerbach secara dialektik.

2. Pokok-Pokok Pandangan Materialisme Dialektik

(A) DUNIA ADALAH MATERIIL

Sama dengan aliran-aliran materialisme lainnya, materialisme dialektik pertama-tama mengakui bahwa keadaan atau materi adalah primer, sedangkan pikiran atau ide adalah sekunder, adalah yang dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Ini berarti bahwa segala macam gejala yang ada di dunia ini mempunyai satu dasar yang sama, yaitu materi. Dengan perkataan lain, dunia semesta ini pada hakikatnya adalah materiil, dan dunia materiil ini adalah satu-satunya dunia yang nyata (riil).

a) Apakah materi itu?

Akan tetapi, apakah materi itu?

Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus dapat membedakan dua macam pengertian, yaitu pengertian materi dalam filsafat dan pengertian materi dalam ilmu alam.

Menurut filsafat, materi itu adalah segala sesuatu yang ada di luar dan tidak tergantung pada kesadaran manusia, tidak diciptakan dan dikendalikan oleh sesuatu ide apapun, dan dapat menimbulkan sensasi serta melahirkan refleksi di dalam pikiran manusia. Dengan demikian, pengertian materi dalam filsafat adalah berdasarkan pada hubungan antara keadaan dengan pikiran, antara objek dengan subjek.

Sedangkan pengertian materi dalam ilmu alam adalah mengenai susunan (struktur) dan organisasi daripada segala sesuatu yang ada di dunia alam ini. Dengan demikian, pengertian materi dalam ilmu alam itu didasarkan pada tingkat perkembangan pengetahuan manusia terhadap alam.

Jadi, pengertian materi dalam filsafat adalah luas dan bersifat umum, ia tidak terbatas pada benda-benda atau proses-proses alam saja, tetapi melingkupi juga gejala-gejala sosial, sedang pengertian materi dalam ilmu alam hanya khusus mengenai benda-benda alam saja. Selanjutnya, pengertian materi dalam filsafat bersifat mutlak dan abadi, karena bagaimanapun majunya pengetahuan manusia, ini tak akan mengubah kebenaran bahwa materi itu berada secara objektif dan tak tergantung pada kesadaran manusia. Sebaliknya, pengertian materi dalam ilmu alam bersifat relatif dan sementara, karena ia tergantung pada perkembangan pengetahuan manusia. Misalnya, perkembangan teori atom adalah perkembangan pengetahuan manusia tentang materi di dunia alam.

Sudah tentu, di samping ada perbedaannya, dua macam pengertian itu juga mempunyai persamaannya, yaitu: pengertian materi dalam filsafat itu merupakan perluasan atau generalisasi dari pengertian materi dalam ilmu alam. Jelasnya, hubungan antara dua macam pengertian materi itu adalah hubungan antara yang umum dengan yang khusus, antara yang abstrak dengan yang konkret, antara yang absolut dengan yang relatif.

b) Apakah ide itu?

Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, materialisme dialektik berpendapat bahwa ide itu dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Ini mengandung dua pengertian.

Pertama, dipandang dari proses kelahiran ide atau pikiran, maka nyatalah bahwa perasaan (sensasi) dan pikiran itu tidak dilahirkan oleh sembarang materi, melainkan semacam materi tertentu yang kita sebut otak, atau lebih tepatnya, suatu organisme sistem urat syaraf yang telah mencapai tingkat perkembangan yang sangat tinggi. Tanpa otak tak akan ada pikiran atau ide. Otak atau sistem urat syaraf manusia adalah hasil tertinggi dari proses perkembangan alam. Oleh karenanya, ide adalah suatu produk (hasil) dari proses perkembangan alam.

Kedua, dipandang dari isinya, bagaimanapun sesuatu ide adalah pencerminan (refleksi) dari kenyataan objektif. Marx menerangkan bahwa ide itu “tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh otak manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran”[11]) Dan pencerminan itu hanya bisa terjadi dengan adanya kontak langsung antara kesadaran manusia dengan dunia luar, dengan adanya praktek sosial manusia. Oleh karenanya, ide juga merupakan produk dari proses perkembangan praktek sosial manusia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian ide menurut materialisme dialektik tidak hanya berlawanan dengan pandangan idealisme, yang beranggapan bahwa ide itu merupakan sesuatu yang berdiri sendiri tak tergantung pada materi, bahkan sudah ada lebih dahulu daripada materi. Oleh Lenin filsafat idealisme dengan tajamnya dinamakan “filsafat tidak berotak”. Pengertian ide menurut materialisme dialektik juga bertentangan dengan pandangan-pandangan materialisme vulgar dan materialisme metafisik yang menyatakan, misalnya, bahwa segala materi atau benda mempunyai ide, sebagaimana dikemukakan juga oleh Plekhanov bahwa batupun mempunyai ide: atau yang beranggapan bahwa ide atau pikiran itu merupakan suatu zat yang ditimbulkan oleh proses fisiologis seperti halnya berliur, atau sebagaimana sering dikemukakan oleh sementara orang bahwa pikiran itu adalah fosfor. Pandangan-pandangan semacam ini timbul karena menganggap ide itu merupakan sifat (attribute) dari segala macam benda atau sebagai produk dari proses perkembangan alam saja, tetapi tidak melihat bahwa ide itu juga sebagai hasil dari proses perkembangan praktek sosial manusia, sebagai hasil dari proses perkembangan masyarakat.

c) Peranan aktif daripada ide

Materialisme dialektik di satu pihak berpendirian bahwa materi itu ada lebih dahulu, dan ide itu dilahirkan dan ditentukan oleh materi, tetapi di pihak lain juga mengakui adanya peranan aktif daripada ide terhadap materi. Ini mengandung dua pengertian.

Pertama, sebagaimana telah dikemukakan di dalam, ide itu adalah pencerminan daripada kenyataan objektif, tetapi pencerminan ini bukanlah pencerminan yang sederhana dan langsung, sebagaimana halnya kaca cermin, yang hanya bisa mencerminkan gejala luar saja, melainkan pencerminan yang aktif, melalui suatu proses pencerminan yang rumit sehingga dapat mencerminkan kenyataan objektif sebagaimana adanya, baik mengenai bagian luarnya maupun hakikatnya. Justru adanya peranan aktif daripada ide inilah yang memungkinkan manusia menyempurnakan alat-alat atau perkakas-perkakas untuk memperbesar kemampuannya dalam mengenal atau mencerminkan keadaan maupun mengubah keadaan.

Kedua, peranan aktif ide terhadap materi atau keadaan itu berarti bahwa dalam mengenal dan mengubah keadaan itu manusia bertindak secara sadar, dengan motif atau tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan praktek sosialnya, untuk kehidupannya. Ide revolusioner, yaitu ide yang mencerminkan hukum-hukum perkembangan keadaan. Sebaliknya, ide reaksioner, yaitu ide yang berlawanan dengan hukum-hukum perkembangan keadaan objektif, memainkan peranan menghambat kemajuan!

Dengan demikian materialisme dialektik menentang pandangan agnostisisme dari Kant (Immanuel, 1724 – 1804). Menurut Kant, manusia tak akan dapat mengenal atau mencerminkan keadaan objektif sebagaimana adanya. Kemajuan ilmu, misalnya penguasaan dan penggunaan tenaga atom adalah benar, adalah sesuai dengan kenyataan (atom) sebagaimana adanya. Dengan demikian terbuktilah juga ketidakbenarannya pandangan agnostisisme itu, dan memperkuat pandangan materialisme dialektik.

Di samping itu, pandangan materialisme dialektik juga bertentangan dengan pandangan mekanik yang mengabaikan peranan aktif daripada ide terhadap materi.

Dengan dikemukakan keprimerannya materi dan peranan aktif ide terhadap materi, materialisme dialektik mengajarkan kepada kita supaya dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah harus bertolak dari kenyataan yang konkret, harus berdasarkan data-data keadaan secara objektif, jangan sekali-kali bersandar pada dugaan subjektif dan dalil-dalil atau buku-buku yang mati, dan juga harus ditujukan untuk kebutuhan praktek yang konkret. Di pihak lain ia memperingatkan kita betapa pentingnya peranan teori, berhubung dengan adanya peranan aktif daripada ide, untuk mengenal dan mengubah keadaan, sebagaimana dikatakan oleh Lenin: “tanpa teori revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.”[12]

(B) DUNIA MATERIIL ADALAH SATU KESATUAN ORGANIK

Ciri terpenting yang membedakan materialisme filsafat Marx dengan aliran-aliran materialisme lainnya sebelum Marx ialah bahwa caranya (metodenya) mendekati gejala-gejala alam, caranya mempelajari dan memahami gejala-gejala ini adalah dialektik, sedangkan keterangannya (interpretasinya) mengenai gejala-gejala alam, pengertiannya (konsepsinya) mengenai gejala-gejala ini, teorinya, adalah materialis.

Yang dimaksud dengan metode dialektik adalah suatu cara mengenal, mempelajari dan menganalisa segala sesuatu dengan berdasarkan hukum dialektika, yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif di dunia semesta ini.

Oleh karena itu, materialisme dialektik Marx memandang dunia materiil ini bukan sebagai suatu tumpukan gejala-gejala yang terjadi secara kebetulan saja, tiada hubungan tertentu, terpisah satu sama lain dan berdiri sendiri-sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang organik, dimana segala gejala saling hubungan secara organik, saling bergantungan, saling mempengaruhi dan saling menentukan satu sama lain. Misalnya, kehidupan masyarakat manusia tak dapat dipisahkan dari keadaan alam sekitarnya, satu sama lain mempunyai hubungan tertentu, dan saling hubungan antara manusia dengan alam akan mempengaruhi dan menentukan pula saling hubungan manusia yang satu dengan yang lain di dalam masyarakat; dan semuanya itu akan mempengaruhi dan menentukan pula alam pikiran manusia. Dengan demikian, gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran terjalin dalam satu hubungan yang organik.

a) Saling hubungan gejala-gejala adalah objektif

Dalam mengakui dunia materiil ini sebagai suatu kesatuan yang organik, tidak cukup hanya mengakui adanya saling hubungan antara gejala-gejala, tetapi yang penting ialah mengakui bahwa saling hubungan antara gejala-gejala itu adalah suatu hukum yang objektif berlaku di dunia semesta ini, bukan terkaan atau buatan manusia secara subjektif, juga bukan sebagai perwujudan dari kemauan atau keinginan “ide absolut” dsb. hal ini justru merupakan suatu ciri yang membedakan dialektika Marx yang materialis dengan dialektika Hegel yang idealis.

Misalnya, sering kita berjumpa dengan hal sbb.: seorang anak sering menderita sakit atau sakit-sakitan, oleh orang tuanya dianggap karena nama yang diberikan kepadanya tidak cocok, lalu diubah, diberi nama lain. Jadi menganggap nama seseorang mempunyai hubungan tertentu dengan keadaan kesehatannya. Ini adalah pandangan idealis. Karena saling hubungan semacam ini adalah terkaan subjektif, bukan saling hubungan dengan objektif.

Misal yang lain: sementara orang mengakui adanya saling hubungan antara penindasan imperialisme dengan gerakan kemerdekaan nasional. Tetapi saling hubungan ini dianggap sebagai realisasi kehendak “ide absolut” atau takdir. Demikianlah dialektika idealis sebagaimana diajarkan oleh Hegel, yang oleh Marx dan Engels dikatakan dialektika yang berdiri terbalik, yaitu kaki di dalam kepala di bawah. Sesungguhnya di antara penindasan imperialisme dengan perjuangan kemerdekaan nasional bangsa-bangsa tertindas terdapat saling hubungan yang objektif. Bangsa-bangsa itu bangkit berjuang untuk merebut kemerdekaan nasionalnya dari imperialisme yang menjajah negeri-negeri mereka. Perjuangan untuk kemerdekaan nasional itu menumbuhkan rasa patriotisme yang wajar. Pada pihak lain, imperialisme merupakan suatu kekuatan internasional, ia tidak mungkin dikalahkan tanpa suatu front internasional anti-kolonial dan cinta damai yang kuat, yang merupakan “samenbundeling van alle revolutionaire krachten” di bidang internasional, atau persatuan “the new emerging forces”. Oleh sebab itu patriotisme yang sejati harus dipadukan dengan rasa internasionalisme yang sadar, internasionalisme yang bertujuan mencapai kebebasan seluruh umat manusia dari penghisapan dan penindasan, internasionalisme Sosialis. Oleh sebab itu, saling hubungan antara patriotisme dengan internasionalisme pun merupakan saling hubungan yang objektif dan bukan yang diada-adakan secara subjektif.

Oleh karena itu kaum materialis dialektik berpendapat, bahwa saling hubungan antara gejala-gejala itu berlaku secara objektif, tidak tergantung pada kesadaran manusia. Maka itu, untuk mengenal secara tepat saling hubungan itu kita harus meneliti dan mempelajarinya secara ilmiah, sedikitpun tak boleh ditambahkan dengan dugaan-dugaan subjektif. Pahamilah kenyataan itu sebagaimana adanya dan temukanlah interkoneksi (salinghubungan) yang ada padanya.

b) Segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu

Dengan mengakui adanya saling hubungan organik antara gejala-gejala berarti juga bahwa adanya sesuatu hal tak dapat dipisahkan dari keadaan di sekitarnya, atau adanya sesuatu hal mempunyai syarat-syarat tertentu. Arti dari sesuatu hal ditentukan oleh keadaan atau situasinya. Bilamana situasinya berubah, maka artinya pun berubah pula. Misalnya, tumbuhnya cara produksi kapitalis atau kapitalisme memerlukan syarat-syarat tertentu, yaitu di satu pihak sudah ada kapital, di lain pihak sudah tersedia buruh upahan. Dan syarat-syarat ini baru terdapat pada akhir zaman feodal di Eropa. Pada ketika itu kapitalisme mempunyai arti yang revolusioner dalam melawan feodalisme, kelas borjuis mempunyai peranan revolusioner dalam melawan kaum feodal. Tetapi kapitalisme dan kelas borjuis di negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika pada waktu sekarang sudah tidak revolusioner lagi, melainkan reaksioner, karena kelas borjuis di negeri-negeri tersebut sudah tidak menginginkan lagi adanya perubahan revolusioner dalam masyarakat, mereka mati-matian mempertahankan sistem masyarakat yang ada, mereka mengulangi apa yang dilakukan oleh kaum feodal yang sudah mereka jatuhkan itu.

Dengan demikian jelaslah bahwa materialisme dialektik bertentangan dengan pandangan metafisik yang beku, yang berusaha mengabadikan atau memutlakkan arti sesuatu, atau memandang dan menganalisa sesuatu dipisahkan dari keadaan sekitarnya, dari hubungannya dengan hal-hal lain. Misalnya, memandang kapitalisme sebagai sesuatu yang berdiri sendiri; karena kapitalisme adalah suatu sistem penghisapan atas manusia oleh manusia, maka dianggap sebagai suatu sistem yang reaksioner dan harus ditentang secara mutlak dimana saja dan pada waktu kapan juga. Sebagai kelanjutan daripada anggapan yang keliru ini, ialah menilai peranan kaum kapitalis nasional di negeri kita sekarang secara mutlak sebagai kelas yang reaksioner, karena mereka menghisap kelas buruh. Jadi, tidak melihatnya dalam saling hubungannya dengan imperialisme dan feodalisme, sehingga tak terlihat peranan revolusioner borjuasi nasional dalam tingkat revolusi Indonesia sekarang yang secara objektif anti-imperialisme dan anti feodalisme.

Pendeknya, dengan pandangan saling hubungan ini kita diajarkan supaya dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah jangan dipisahkan dari hubungan keseluruhannya, karena tiada satu hal yang tidak ada sebab atau akibatnya, segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu.

c) Saling hubungan yang pokok dan bukan pokok

Setiap hal mempunyai saling hubungan dengan banyak hal lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Akan tetapi, di antara sekian banyak saling hubungan itu tidaklah semuanya sama artinya, peranannya, atau kedudukannya. Di antaranya ada saling hubungan yang memainkan peranan menentukan, ada yang hanya memainkan peranan mempengaruhi saja; ada yang bersifat keharusan, ada juga yang bersifat kebetulan; ada yang merupakan sebab, ada pula yang merupakan akibat; ada yang pokok, ada yang bukan pokok; dsb, dsb.

Misalnya, masalah pembebasan Irian Barat mempunyai saling hubungan dengan banyak hal, yang secara umum kita dapat golongkan dalam bidang-bidang ekonomi, politik, militer dan kebudayaan atau ideologi. Untuk dapat membebaskan Irian Barat pertama-tama diperlukan adanya kesadaran dan kebulatan tekad dari seluruh rakyat Indonesia dan seluruh aparat pemerintah sehingga dapat memobilisasi seluruh kekuatan, baik materiil maupun spiritual yang ada padanya. Tetapi untuk mencapai persatuan nasional dan mobilisasi seluruh potensi nasional yang dimaksud itu tak dapat hanya dengan agitasi saja tanpa memberikan perspektif yang baik bagi kehidupan materiil dan spiritual bagi rakyat. Oleh karena itu dibutuhkan adanya ketegasan di bidang politik untuk menjamin kebebasan demokratis bagi rakyat dan semua elemen patriotik di satu pihak, dan untuk menindas musuh-musuh rakyat di pihak lain. Hanya dengan demikian baru bisa ditimbulkan kesadaran dan kegairahan bagi seluruh rakyat dan seluruh potensi nasional untuk membebaskan Irian Barat maupun untuk mengatasi segala kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, terutama masalah keuangan dan ekonomi, masalah sandang pangan. Oleh karena itu, saling hubungan pembebasan Irian Barat dengan kebijaksanaan di bidang politik seperti tersebut di dalam (demokrasi, persatuan nasional dan mobilisasi massa rakyat) merupakan saling hubungan yang pokok. Ini sesuai dengan pengalaman sejarah pada masa Revolusi Agustus 1945 yang membenarkan bahwa “politik adalah panglima” atau seperti yang disebutkan dalam Resopim “Manipol memimpin bedil” dan bukan “bedil yang memimpin Manipol”. Dalam meninjau saling hubungan antara masalah pembebasan Irian Barat dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang politik, dapat pula kita bagi dalam dua segi: politik luar negeri dan politik dalam negeri. Hubungannya dengan politik dalam negeri merupakan faktor yang pokok, yang menentukan. Politik luar negeri adalah pencerminan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik dalam negeri.

Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan metafisik yang cenderung menyamaratakan saling hubungan yang bersegi banyak itu, sehingga mengaburkan pokok persoalannya, yang berakibat berlarut-larutnya persoalan sehingga tak terselesaikan.

Oleh karenanya, pengakuan adanya saling hubungan antara gejala-gejala adalah penting, tetapi lebih penting lagi ialah membeda-bedakan di antaranya mana yang pokok dan yang bukan pokok, yang penting dan yang tidak penting, yang bersifat kebetulan dan yang bersifat keharusan, yang merupakan sebab dan yang merupakan akibat, dsb. dsb. hanya dengan demikian kita baru bisa memecahkan persoalan secara tepat dan efisien.

(C) DUNIA MATERIIL SENANTIASA BERGERAK DAN BERKEMBANG – PATAH TUMBUH HILANG BERGANTI

Materialisme dialektik tidak hanya memandang dunia materiil sebagai satu kesatuan yang organik, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai saling hubungan yang organik, tetapi lebih lanjut juga berpendapat bahwa dunia materiil ini senantiasa di dalam keadaan bergerak dan berkembang.

“Seluruh alam”, kata Engels dalam karyanya yang terkenal Dialektika Alam, “dari sesuatu yang sekecil-kecilnya sampai pada yang sebesar-besarnya, dari sebutir pasir sampai matahari, dari Protista sampai ke manusia, adalah dalam keadaan senantiasa timbul dan lenyap, dalam keadaan senantiasa mengalir, dalam keadaan gerak dan berubah yang tak henti-hentinya”.[13]

Dalam tulisannya Anti-Dühring, Engels menerangkan lebih lanjut: “Gerak adalah bentuk eksistensi materi. Dimanapun tak pernah ada, dan juga tak mungkin ada materi tanpa gerak ... Materi tanpa gerak sama tidak mungkinnya seperti gerak tanpa materi. Oleh karena itu gerak, sebagaimana materi itu sendiri, tak dapat diciptakan dan dilenyapkan; sebagaimana dinyatakan oleh filsafat yang lebih tua (Descartes), kuantitas dari pada gerak yang ada di dunia selamanya sama. Oleh karena itu gerak tak dapat diciptakan, ia hanya dapat ditransfer.”[14]

Jelaslah bahwa pandangan materialisme dialektik demikian ini berdasarkan kenyataan objektif – alam, masyarakat maupun pikiran manusia – yang memang dalam keadaan senantiasa bergerak dan berkembang, sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus: “Panta rhei”, atau sebagaimana peribahasa kita mengatakan “patah tumbuh hilang berganti” atau “zaman beralih musim bertukar”.

a) Gerak materi adalah gerak sendiri

Dengan dikatakan gerak adalah bentuk eksistensi materi berarti bahwa gerak materi itu bukan disebabkan karena dorongan dari kekuatan di luar materi, melainkan oleh kekuatan-kekuatan yang ada di dalam materi itu sendiri. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam ilmu alam, misalnya tentang atom, transmutasi unsur-unsur dan sebagainya, telah membenarkan hal ini. Pengalaman sejarah juga telah membuktikan bahwa perkembangan masyarakat bukan disebabkan oleh kekuatan yang berada di luar masyarakat itu, melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di dalam masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian tidaklah berarti bahwa materialisme dialektik tidak mengakui peranan faktor luar terhadap gerak materi. Materialisme dialektik berpendapat bahwa faktor luar itu hanya dapat mempengaruhi gerak materi tetapi bukan yang menentukan. Yang menentukan adanya gerak materi adalah faktor-dalam yang ada pada materi itu sendiri. Singkatnya, faktor-luar merupakan syarat dan faktor-dalam merupakan sebab daripada gerak atau perubahan materi. Misalnya, seorang bayi lahir bukan disebabkan oleh bidan, bidan hanyalah membantu lahirnya sang bayi. Misal lain, perkembangan pembangunan nasional semesta berencana di negeri kita ini ditentukan oleh faktor-faktor yang ada di dalam negeri kita sendiri, sedangkan faktor-faktor yang ada di luar negeri kita, seperti bantuan kredit, dsb. hanya memainkan peranan mempengaruhi saja, bukan yang menentukan. Begitupun juga perkembangan masalah Irian Barat ditentukan oleh faktor dalam negeri, oleh kekuatan-kekuatan seluruh rakyat kita dari Sabang sampai Merauke. Faktor-luar hanya dapat memainkan peranannya melalui faktor-dalam.

Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan idealis maupun materialis metafisik yang umumnya menganggap gerak materi itu disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di luar materi itu. Kaum metafisik, yang pada dasarnya berpendapat bahwa segala sesuatu itu adalah diam dan statis, dalam menghadapi kenyataan yang bergerak, berkembang dan berubah, tak bisa lain daripada menarik kesimpulan bahwa gerak atau perkembangan materi itu disebabkan oleh dorongan dari kekuatan-kekuatan di luar materi itu, oleh faktor-faktor-luar, yang pada akhirnya tak dapat menghindarkan diri terjerumus ke dalam lembah idealis, yaitu menganggap bahwa gerak materi adalah pelaksanaan atau realisasi dari “ide absolut” dsb., sebagaimana dialami oleh ahli ilmu-alam Inggris yang besar pada abad ke-17, Isaac Newton (1642-1727).

b) Diam adalah salah satu bentuk gerak

Dengan pandangan bahwa dunia materiil itu selalu bergerak dan berkembang, tidaklah berarti bahwa materialisme dialektik menyangkal adanya keadaan diam atau statis. Materialisme dialektik berpendapat bahwa gejala demikian itu adalah suatu bentuk dari pada gerak materi, suatu bentuk gerak di dalam keadaan tertentu dimana imbangan kekuatan-kekuatan-dalam dengan kekuatan-kekuatan-luar daripada materi itu mencapai keseimbangan yang sifatnya sementara dan relatif. Keadaan demikian ini disebut juga sebagai kestabilan relatif daripada kualitas.

Dengan demikian, materialisme dialektik berpendapat bahwa bentuk gerak materi atau kenyataan objektif itu beraneka corak dan ragamnya, makin berkembang praktek sosial manusia, makin maju ilmu, makin banyaklah kita kenal akan bentuk-bentuk gerak materi. Engels mengatakan: “gerak materi, tak dapat digolongkan begitu saja ke dalam semacam gerak mekanis yang sederhana dan mati, semacam gerak sederhana yang berupa pergeseran tempat saja; panas dan sinar, listrik dan magnet, persenyawaan (kombinasi) dan peruraian (diasosiasi) dalam kimia, kehidupan, dan akhirnya ide, semuanya adalah gerak materi”. [15]

Jelaslah, bahwa gerak materi itu beraneka bentuk ragamnya, dari gerak yang paling sederhana, yaitu perubahan jumlah dan tempat – mekanis, sampai pada yang paling rumit yang berupakan kehidupan alam organik, termasuk juga pikiran. Tidak saja materi yang khusus mempunyai bentuk geraknya yang khusus, satu materi yang sama juga mempunyai berbagai macam bentuk geraknya pada tingkat-tingkat proses perkembangannya. Misalnya, bentuk gerak masyarakat kapitalis pada tingkat pra-monopoli berbeda dengan pada tingkat monopoli. Dan bentuk gerak materi yang satu dapat berubah bentuk menjadi gerak yang lain. Semuanya itu telah dibuktikan dengan penemuan-penemuan dalam ilmu-alam, misalnya dari bentuk gerak aliran air bisa berubah menjadi bentuk gerak aliran listrik, dan diubah lagi menjadi bentuk gerak mekanik, dsb.

Pandangan demikian ini bertentangan dengan pandangan gerak daripada materialisme mekanis yang beranggapan gerak mekanis sebagai satu-satunya bentuk gerak bagi semua materi.

c) “The new emerging forces” pasti menang

Dengan mengakui bahwa segala sesuatu dalam keadaan gerak dan berkembang, bahwa tidak ada satu hal yang abadi, semuanya merupakan proses perkembangan, semuanya “patah tumbuh, hilang berganti”, berarti bahwa segala sesuatu ada masa lahir dan pertumbuhannya dan ada masa lenyap atau perubahannya. Jika ada sesuatu yang baru tumbuh, sekalipun kelihatannya kecil dan lemah pada permulaan perkembangannya, dalam proses perkembangan selanjutnya pasti menjadi besar dan kuat. Sebaliknya, suatu hal yang mula-mula kelihatannya besar dan kuat, tetapi mewakili kekuatan lama, jadi tidak mempunyai hari depan, akhirnya pasti lenyap. Demikianlah imperialisme dan kolonialisme yang oleh Bung Karno disebut “the old established forces” (kekuatan lama yang bercokol) sekalipun kelihatannya besar dan kuat, tetapi sebenarnya ada dalam keadaan yang sedang lapuk dan hampir mati, adalah “macan kertas”. Sebaliknya, kekuatan-kekuatan gerakan kemerdekaan nasional dan kekuatan-kekuatan Sosialisme yang oleh Bung Karno disebut “the new emerging forces” (kekuatan baru yang sedang tumbuh), walaupun pada mulanya kelihatan kecil dan lemah, tetapi berada dalam proses perkembangan tumbuh besar dan kuat, dan akhirnya pasti dapat mengalahkan ‘the old established forces” dan memperoleh kemenangan yang sepenuhnya.

Dengan demikian, pandangan materialisme dialektik mengajarkan kepada kita supaya senantiasa berorientasi pada kekuatan-kekuatan atau segi-segi yang sedang tumbuh, yang mempunyai hari depan. Ini berarti, bahwa sebagai suatu prinsip kehidupan politik, kita harus selalu memandang ke depan, dan tidak ke belakang. Demikianlah juga dalam kehidupan organisasi, masalah penciptaan dan pemeliharaan tenaga-tenaga muda atau kader-kader yang baru dan segar, merupakan suatu pekerjaan yang penting. Dan hanya dengan demikian kehidupan organisasi bisa terus berkembang maju, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.

(D) DUNIA MATERIIL BERKEMBANG MENURUT HUKUMNYA SENDIRI

Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, dialektika adalah hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala. Jadi, saling hubungan gejala-gejala dan perkembangan gejala-gejala merupakan dua segi daripada dialektika yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Dari uraian di dalam jelaslah kiranya, bahwa adanya saling hubungan gejala-gejala sudah mengandung arti adanya gerak atau sebagai suatu bentuk gerak; begitupun juga gerak sendiri daripada setiap materi sudah mengandung arti adanya juga saling hubungan intern maupun ekstern daripada materi. Jelaslah, oleh karena segala sesuatu itu saling hubungan satu sama lain, maka bila ada satu hal bergerak dan berubah, segera akan mempengaruhi hal-hal lainnya; dan oleh karena segala sesuatu itu senantiasa bergerak dan berkembang, maka membikin satu sama lain terjalin dalam saling hubungan yang makin rumit.

Sungguhpun demikian, tidaklah berarti bahwa saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala itu terjadi dan berlangsung secara kebetulan atau tidak ada ketentuan-ketentuannya, sebagaimana anggapan kaum metafisik; sebaliknya, materialisme dialektik berpendapat, dan memang demikian kenyataannya, bahwa saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala di dunia ini mempunyai ketentuan-ketentuannya, mempunyai hukum-hukumnya.

Bagaimana hukum dialektika atau hukum tentang perkembangan itu? Engels merumuskan dalam tiga hukum dasar:

a. Hukum tentang kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang berlawanan atau tentang kontradiksi;

b. Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif; dan

c. Hukum tentang negasi daripada negasi.

Baiklah sekarang saja terangkan secara singkat isi pokok daripada tiga hukum dasar dialektika itu.

a) Hukum tentang kontradiksi

Hukum kontradiksi ini merupakan “inti” atau “jiwa” daripada dialektika, karena ia menerangkan sumber dan hakikat perkembangan. Lenin mengatakan: “Terbaginya kesatuan dan pengenalan atas bagian-bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat dari dialektika”.[16] Oleh karenanya ia adalah salah satu ciri terpenting yang membedakan dialektika dengan metafisika. Dan merupakan kunci bagi kita untuk memahami dengan baik dialektika keseluruhannya.

Hukum ini menyatakan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian atau segi-segi yang berbeda-beda atau berkontradiksi, dan gerak atau perkembangan sesuatu itu terutama disebabkan adanya saling hubungan yang berupa “persatuan dan perjuangan” antara segi-segi bertentangan yang ada di dalamnya. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri, maka dapatlah kita katakan hukum ini adalah hukum “bhinneka tunggal ika”.

Pengenalan manusia bahwa dunia kenyataan ini mengandung kontradiksi-kontradiksi sebagai sumber perkembangannya, sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, sudah dimulai oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno, dan kemudian makin diperkuat kebenarannya oleh hasil-hasil ilmu, misalnya, sebagaimana dikemukakan oleh Lenin, adanya plus (+) dan minus (-), diferensial dan integral dalam ilmu pasti (matematika); adanya aksi dan reaksi dalam mekanika; adanya listrik positif dan negatif dalam fisika; adanya persenyawaan (kombinasi) dan peruraian (disosiasi) atom-atom dalam ilmu kimia; dan adanya perjuangan kelas dalam ilmu kemasyarakatan.[17] Jelaslah bahwa kontradiksi itu ada secara objektif, bukanlah buatan atau terkaan manusia dalam pengalaman praktek sosialnya, sungguhpun demikian, hingga kini masih saja ada sementara orang yang tak dapat atau tidak mau memahami kebenaran hukum kontradiksi ini, dan melontarkan ejekan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Duhring, bahwa hukum kontradiksi daripada dialektika itu adalah suatu kegilaan yang besar. Bahkan ada juga di antaranya yang menuduh filsafat kaum Marxis atau Komunis ini adalah filsafat berbolak-balik yang tiada ketegasannya, atau menuduh kaum Komunis paling keranjingan untuk menimbulkan dan mengobarkan pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat atau perjuangan kelas guna kepentingannya, dsb.

Terhadap mereka saya hanya hendak mengulangi kembali jawaban yang pernah diberikan oleh Engels, Engels berkata: “otak yang berpikir secara metafisik itu secara mutlak tak mampu beralih dari ide tentang diam ke ide tentang gerak, sebab kontradiksi yang ditunjukkan di dalam telah menutup jalannya”.[18] Adapun berpikir secara metafisik, kalau bukan karena kekhilafan atau kebiasaan yang jelek, adalah karena dorongan keinginan subjektif yang keras untuk menutup-nutupi kenyataan guna mengabadikan kepentingan dan kedudukan kelasnya. Kaum Marxis tidak berkepentingan untuk menutupi kenyataan atau menutup matanya terhadap kenyataan, dan justru karena kaum Marxis membuka matanya lebar-lebar terhadap kenyataan, maka dapat memahami secara mendalam dan tepat akan kontradiksi-kontradiksi yang berlaku di dunia ini, adanya perjuangan kelas di dalam masyarakat, sehingga tahu pula bagaimana seharusnya berjuang untuk melenyapkan perjuangan kelas untuk selama-lamanya.

Hukum kontradiksi adalah umum dan universal. Segala hal ihwal pada waktu dan tempat manapun juga, selalu mengandung kontradiksi di dalamnya. Sudah tentu, tiap-tiap hal mempunyai kontradiksinya sendiri-sendiri yang khas, yang membedakan hal yang satu dari lainnya. Satu hal yang sama, pada tingkat-tingkat yang berbeda dari proses perkembangannya, juga mempunyai kekhususan-kekhususan dalam kontradiksi-kontradiksinya, yang membedakan tingkat perkembangannya yang satu dari yang lainnya. Kesadaran bahwa kontradiksi berlaku secara umum dan universal, berarti bahwa kita harus mengenal kekhususan-kekhususan kontradiksi yang ada pada sesuatu hal yang konkret. Dan dalam mempelajari kekhususan kontradiksi itu yang terpenting ialah untuk mengenal kontradiksi-pokok dan segi-pokok daripada kontradiksi.

Di dalam proses perkembangan sesuatu hal yang rumit terdapat banyak kontradiksi. Kontradiksi-kontradiksi yang dikandungnya mempunyai arti atau peranan dan kedudukan yang berbeda-beda di sepanjang proses perkembangannya. Seperti dikatakan oleh Kawan Mau Tje-Tung, pada setiap tingkat perkembangannya, “hanya satu di antaranya yang merupakan kontradiksi pokok yang memegang peranan memimpin dan menentukan, sedangkan yang lain-lainnya menempati kedudukan yang

sekunder atau yang dibawahkan”.[19] Dengan perkataan lain, kontradiksi pokok adalah kontradiksi “yang memegang peranan memimpin” pada suatu tingkat di dalam proses perkembangan sesuatu. Misalnya, pada ketika imperialis Belanda melakukan agresi ke-I terhadap tanah air kita pada akhir tahun 1945, berbagai kelas di dalam negeri, kecuali sekelompok kecil kaum pengkhianat, dapat bersatu melakukan perang nasional melawan imperialis Belanda dan sekutu-sekutunya. Pada waktu itu, kontradiksi antara imperialisme dengan nasion atau Rakyat Indonesia menjadi kontradiksi-pokok, sedangkan kontradiksi-kontradiksi di kalangan berbagai kelas di dalam negeri ditempatkan pada kedudukan yang sekunder. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, oleh karena berhasilnya tipu-muslihat kaum imperialis lewat kaki tangannya dalam negeri untuk memecah belah persatuan nasional kita, terjadilah peristiwa tragedi nasional, yaitu Peristiwa Madiun di zaman kabinet Hatta, pada bulan September 1948. Pada saat itu, kontradiksi antara kaum reaksi dalam negeri dan borjuasi nasional dengan Rakyat pekerja Indonesia menjadi kontradiksi-pokok, sedangkan kontradiksi antara kaum agresor Belanda dengan nasion Indonesia dibawahkan. Kemudian, dengan terjadinya agresi ke-II imperialis Belanda dengan sekutu-sekutunya, maka terjadilah mutasi kembali, yaitu kontradiksi antara kaum imperialis Belanda dengan nasion Indonesia menjadi kontradiksi-pokok. Tetapi, dengan ditandatanganinya persetujuan KMB, kaum imperialis berhasil dengan secara tidak langsung membantu kaum reaksioner di dalam negeri dengan menaikkannya ke atas panggung kekuasaan politik untuk menindas Rakyat Indonesia. Dengan demikian kontradiksi antara reaksi dalam negeri dengan Rakyat Indonesia menjadi kian tajam dan menonjol, sehingga terjadi rentetan peristiwa-peristiwa, seperti “Larangan mogok natsir”, “Razzia Agustus Sukiman”, “Traktor Maut Rum”, dan sebagai salah satu puncaknya ialah “pemberontakan ‘PRRI-Permesta’”. Semenjak kaum pemberontak pada pokoknya dihancurkan, kaum imperialis kehilangan tamengnya yang penting, kontradiksi antara imperialis dengan nasion Indonesia kembali menjadi kontradiksi-pokok sampai saat ini.

Demikianlah kita melihat bahwa kontradiksi-pokok pada tiap tingkat perkembangan proses revolusi kita ini serta mutasi-mutasi kontradiksi-pokok itu memberikan ciri dan arah pada tiap tingkat perkembangan itu. Sungguhpun demikian, jika ditinjau seluruh proses perkembangan tingkat revolusi Indonesia dewasa ini, maka kontradiksi pokoknya adalah antara kaum imperialis dengan nasion Indonesia dan antara Feodalisme dengan massa Rakyat yang terbesar, terutama kaum tani. Kontradiksi antara feodalisme dengan massa Rakyat adalah termasuk kontradiksi-pokok, karena feodalisme adalah basis sosial daripada imperialisme. Tetapi di dalam segala-galanya, yang terpokok ialah kontradiksi antara imperialisme dengan nasion Indonesia.

Oleh karena kontradiksi-pokok memainkan peranan yang memimpin kontradiksi-kontradiksi lainnya pada suatu tingkat perkembangan tertentu, maka ia merupakan mata rantai persoalan yang harus dipecahkan lebih dulu, dan hanya dengan demikian kontradiksi-kontradiksi lainnya baru bisa dan lebih mudah diselesaikan. Tetapi ini tak berarti bahwa kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok tidak ada peranannya atau pengaruhnya sama sekali terhadap penyelesaian kontradiksi pokok. Sebaliknya, perkembangan kontradiksi-kontradiksi itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap penyelesaian kontradiksi-pokok. Misalnya, kontradiksi-pokok yang harus kita selesaikan lebih dahulu pada tingkat revolusi Indonesia sekarang adalah kontradiksi antara imperialisme dengan Rakyat atau nasion Indonesia, sedangkan kontradiksi-kontradiksi lainnya yang merupakan kontradiksi-kontradiksi di kalangan Rakyat adalah kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok. Dalam usaha untuk menyelesaikan kontradiksi-pokok dalam revolusi kita tingkat sekarang ini, perkembangan kontradiksi-kontradiksi di kalangan Rakyat mempunyai pengaruh yang besar. Jika pengurusan kontradiksi-kontradiksi di kalangan Rakyat tidak tepat, ia akan mempersulit atau menghambat penyelesaian kontradiksi-pokok, lebih-lebih kalau sampai terjadi mutasi, yaitu kontradiksi di kalangan Rakyat berubah menjadi kontradiksi pokok, sedangkan kontradiksi antara imperialisme dengan Rakyat menjadi kontradiksi yang bukan pokok, maka akan berarti revolusi kita mengalami kemunduran. Justru oleh karena itu, dalam usaha untuk menyelesaikan revolusi kita sekarang ini, di samping kita harus mengarahkan ujung tombak kita kepada imperialisme – terutama imperialis Belanda yang kini masih menjajah wilayah dan Rakyat kita di Irian Barat, kita harus pula mengurus secara tepat kontradiksi-kontradiksi di kalangan Rakyat, tidak hanya untuk mencegah terjadinya mutasi kontradiksi-pokok, tetapi juga untuk membantu atau memudahkan penyelesaian kontradiksi-pokok. Untuk itulah maka, kaum Komunis Indonesia mengemukakan pendiriannya: meletakkan kepentingan kelas dan Partai di bawah kepentingan nasion; dan untuk itu pula kaum Komunis mengibarkan Tripanji Bangsa; Demokrasi (untuk Rakyat), Persatuan (nasional revolusioner) dan Mobilisasi (segenap potensi nasional). Sudah tentu, musuh-musuh kita senantiasa berusaha dengan segala tipu daya, terutama dengan intrik-intrik “anti-Komunis” supaya kontradiksi di kalangan Rakyat berpindah (mutasi) menjadi kontradiksi-pokok. Oleh karena itu, kewaspadaan nasional menghendaki pertama-tama diperkuatnya front persatuan yang berporoskan Nasakom dan diberantasnya segala macam intrik dan kegiatan “anti-Komunis” dan penyakit “komunisto-phobi”. Di sinilah arti penting kampanye Presiden Sukarno melawan “komunisto-phobi” dilihat dari segi kepentingan seluruh nasion. Inilah sebabnya mengapa kaum Komunis Indonesia menerima ide “Gotongroyong” dan menerima UUD 1945 yang di dalamnya terkandung Pancasila sebagai alat pemersatu segenap kekuatan nasional revolusioner.

Setiap kontradiksi terdiri atas dua segi. Dua segi dalam kontradiksi itu mempunyai arti, peranan dan kedudukan yang tidak sama. Di antaranya ada satu segi yang mewakili kekuatan-kekuatan lama atau “the old established forces”, dan segi lainnya yang mewakili kekuatan-kekuatan yang baru atau “the new emerging forces”, atau dengan perkataan lain segi negatif dan segi positif. Selain dari itu, kedudukan dua segi itu dalam proses perkembangan kontradiksi memainkan peranan yang tidak sama, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Dalam keadaan tertentu dua segi itu bisa berada dalam kedudukan yang seimbang, tetapi ini bersifat sementara dan relatif. Segi yang berperanan menguasai atau berdominasi dalam seluruh proses perkembangan mempunyai arti yang menentukan kualitasnya kontradiksi itu. Segi yang berperanan memimpin pada tingkat-tingkat perkembangan tertentu mempunyai arti yang menentukan terhadap arah yang dituju oleh perkembangan kontradiksi itu pada tingkat tertentu.

Segi yang baru pada permulaan proses perkembangan kontradiksi masih kecil dan lemah, dan karenanya merupakan segi yang dipimpin dan dikuasai. Tetapi dalam proses perkembangan selanjutnya, ia tumbuh makin besar dan kuat, sehingga kedudukannya pun berubah menjadi yang memimpin, dan kemudian berdominasi. Apabila ini terjadi, berartilah kualitas kontradiksi itu berubah.

Memahami keadaan dua segi dalam kontradiksi adalah penting sekali artinya bagi usaha-usaha menyelesaikan kontradiksi itu. Hanya dengan mengenal secara tepat keadaan musuh dan keadaan kita sendiri, kita dapat menyelesaikan kontradiksi antara kita dengan musuh itu secara lebih tepat. Dan dalam mengenal keadaan dua segi yang berkontradiksi itu pertama-tama kita perlu mengetahui mana yang merupakan segi baru, segi yang mempunyai hari depan, dengan maksud agar kita berorientasi pada segi baru ini serta menyiapkan syarat-syarat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Selanjutnya perlu diketahui syarat-syarat yang diperlukan untuk menempati kedudukan yang memimpin dan lebih lanjut dikembangkan untuk menjadi segi yang menguasai. Demikianlah juga seharusnya kita menghadapi masalah pembebasan Irian Barat. Kita harus teguh berorientasi dan percaya kepada kekuatan Rakyat Indonesia sendiri, harus menyiapkan syarat-syarat yang menguntungkan bagi pertumbuhan kekuatan Rakyat itu. Membesar-besarkan kekuatan musuh, apalagi mengekang pertumbuhan kekuatan Rakyat, adalah tindakan yang bertentangan dengan arah perkembangan, dan tindakan yang khianat.

b) Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif

Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif menerangkan jalannya proses perkembangan segala sesuatu. Hukum ini mengungkapkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu terdiri dari dua tingkatan yaitu tingkatan perubahan kuantitatif dan tingkatan perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif berlangsung secara berangsur-angsur, secara evolusioner; tetapi sampai pada batas tertentu, apabila bingkai lama diterjang, ia menimbulkan perubahan kualitatif yang berlangsung secara tiba-tiba, secara revolusioner, dan merupakan suatu lompatan. Perubahan kuantitatif menyiapkan perubahan kualitatif, dan perubahan kualitatif menyelesaikan perubahan kuantitatif yang lama dan melahirkan serta mengembangkan perubahan kuantitatif yang baru. Demikianlah proses perkembangan segala sesuatu itu merupakan rentetan perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif yang silih berganti secara terus-menerus tak kunjung hentinya.

Berdasarkan hukum ini maka dalam memandang dan mengubah segala sesuatu kita harus mengetahui dengan jelas kuantitas dan kualitasnya, mengetahui dengan jelas perubahan-perubahan kuantitatif apa yang diperlukan untuk memungkinkan lahirnya perubahan kualitatif yang dituju. Hanya mengenal perubahan kualitatif saja, tetapi mengabaikan perubahan kuantitatif yang diperlukan, berarti kita membuat kesalahan avonturisme. Sebaliknya hanya puas dengan perubahan-perubahan kuantitatif saja, tidak menghendaki perubahan kualitatif, berarti kita membuat kesalahan reformisme.

Misalnya, untuk mengubah masyarakat Indonesia dari kualitas sekarang ini – yang belum merdeka penuh dan setengah-feodal – menjadi kualitas sosialis, kita harus mengetahui perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif apa yang harus dilaluinya. Dalam Manifesto Politik R.I. secara tepat telah dikemukakan, bahwa untuk mencapai masyarakat sosialis, harus dilalui satu masa peralihan, yaitu Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh, bebas dari pengaruh imperialisme dan feodalisme. Ini sangat jelas, karena masyarakat sosialis tidak bisa dibangun dalam Indonesia yang belum merdeka penuh (politik, ekonomi, kultural) serta masih setengah-feodal. Dan sebagaimana sering dikatakan oleh Presiden Sukarno, kita bukan hanya tidak boleh evolusioner dan reformis, tetapi juga tidak boleh melakukan “fasen-sprong” (melompati tingkat yang objektif harus dilalui).

Untuk dapat mencapai Indonesia yang merdeka penuh, kini sedang diperlukan perubahan-perubahan kuantitatif, yaitu perubahan perimbangan kekuatan antara Rakyat Indonesia di satu pihak dan musuh-musuh Rakyat di pihak lain. Perubahan kuantitatif itu harus diusahakan demikian rupa sehingga kekuatan Rakyat kian hari kian bertambah besar dan kekuatan-kekuatan imperialisme serta kaum reaksioner di dalam negeri kian hari bertambah lemah, sehingga pada suatu saat terjadi perubahan kualitatif dari Indonesia sekarang menjadi Indonesia baru yang merdeka dan berdaulat penuh. Dengan itu selesailah perubahan kuantitatif yang lama, yaitu perubahan perimbangan antara kekuatan Rakyat dan kekuatan musuh-musuh Rakyat, dan sementara itu terjadi perubahan-perubahan kuantitatif yang baru, yaitu, misalnya, perubahan-perubahan kuantitatif dalam keluasan dan kecepatan pembangunan ekonomi, dalam susunan kelas dalam masyarakat, dsb., dan perubahan-perubahan kuantitatif ini ditujukan untuk melahirkan perubahan kualitatif yang baru, untuk melahirkan masyarakat sosialis. Jika ada orang yang hendak mengubah masyarakat kita sekarang ini sekaligus menjadi masyarakat sosialis tanpa melalui suatu masa peralihan, maka ia melakukan suatu kesalahan avonturis. Sebaliknya, kalau ada orang yang hanya menghendaki perubahan-perubahan kuantitatif, perbaikan upah buruh, membatasi tanah milik tuan tanah feodal, dsb., dan tidak menjuruskan perubahan-perubahan ini kepada perubahan kualitatif, yaitu kepada masyarakat Indonesia yang merdeka penuh dan masyarakat sosialis, maka ini adalah kesalahan reformis.

Pendeknya, jika dengan secara sadar kita menggunakan hukum ini dalam praktek perjuangan, maka kita dapat menentukan secara tepat garis strategi dan garis taktik perjuangan.

c) Hukum tentang negasi daripada negasi

Hukum negasi daripada negasi mengungkapkan arah atau kecenderungan umum daripada gerak atau perkembangan segala sesuatu. Ia mengungkapkan penggantian kualitas lama dengan kualitas baru dalam proses perkembangan dan peningkatan dari bentuk-bentuk yang rendah dan sederhana ke bentuk-bentuk yang lebih tinggi, yang lebih kompleks. Oleh sebab itu hukum negasi daripada negasi ini menyatakan watak progresif dari perkembangan, bahwa perkembangan mengikuti garis maju. Hukum ini juga menunjukkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu tidak merupakan garis lingkaran yang tak mengenal ujung-pangkalnya, juga bukan garis lurus yang menaik, melainkan garis spiral.

Dalam tulisannya yang berjudul Karl Max, Lenin antara lain mengatakan: “Suatu perkembangan nampaknya mengulangi tingkat-tingkat yang sudah pernah dilaluinya, tetapi mengulanginya secara lain, mengulanginya di dalam dasar yang lebih tinggi (‘negasi daripada negasi’), dengan demikian, suatu perkembangan, dapat dikatakan, merupakan spiral, bukan garis lurus”.[20] Sebagai ilustrasi mengenai hukum ini, Engels pernah memberikan suatu contoh seperti berikut:

“Mari kita ambil sebagai contoh sebutir jelai ……… jika butir jelai itu berada dalam keadaan yang baginya normal, jika jelai itu ditabur di dalam tanah yang cocok, dan kemudian di bawah pengaruh hawa panas dan lembab ia mengalami perubahan yang khas, ia berkecambah; butir jelai seperti yang semula tidak ada lagi, ia dinegasi, dan dari jelai itu muncul sebatang pohon, negasi terhadap jelai itu ……….. Ia tumbuh, berbunga, menjadi subur dan akhirnya sekali lagi menghasilkan butir-butir jelai, dan segera butir-butir jelai itu masak batangnya mati, pada gilirannya ia dinegasi. Sebagai akibat daripada negasi ini kita sekali lagi mempunyai butir jelai semula, tetapi bukan satu, melainkan lipat sepuluh, dua puluh dan tiga puluh kali”. [21]

Sejarah perkembangan masyarakat juga menunjukkan proses perkembangan negasi daripada negasi. Misalnya, masyarakat komune-primitif (tidak berkelas) dinegasi oleh masyarakat-masyarakat berkelas (perbudakan, feodal, dan kapitalis), dan kemudian dinegasi lagi oleh masyarakat sosialis dan Komunis (tidak berkelas). Masyarakat sosialis dan Komunis menunjukkan ciri-ciri yang ada semula di dalam masyarakat komune-primitif, yaitu a.I, hak milik bersama atas alat-alat produksi, meskipun dasarnya berlainan sama sekali. Hak milik bersama atas alat-alat produksi dalam masyarakat sosialis dan Komunis adalah atas dasar yang jauh lebih tinggi, karena tenaga produktif masyarakatnya sudah jauh lebih maju. Saya pernah menghadapi pertanyaan: apakah masyarakat Komunis tidak akan dinegasi legi oleh masyarakat berkelas? Hukum negasi daripada negasi, sebagaimana hukum-hukum dialektika lainnya, akan terus berlaku, hal ini sudah pasti. Tetapi, bagaimana perwujudan konkretnya, tidak dapat kita ketahui sekarang, sebab pada dewasa ini belum ada satu negeripun dimana sudah terdapat masyarakat komunis. Dalam pada itu, bagaimanapun nantinya bentuk perwujudan daripada hukum negasi daripada negasi itu, hukum ini pasti mengakibatkan kemajuan dan bukan kemunduran perkembangan.

Hukum dialektika ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam memandang dan mengubah (menyelesaikan) sesuatu masalah, di samping kita harus mengenal secara tepat tingkat-tingkat perkembangan yang dialaminya, kita harus pula mengetahui dengan jelas faktor-faktor negasi yang dikandungnya serta syarat-syarat yang diperlukan untuk terjadinya negasi itu serta perkembangannya, dan dengan demikian baru kita bisa mengubah keadaan ke tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Misalnya, perkembangan masyarakat kita sekarang ini, di dalamnya mengandung beberapa faktor negasi; yang mungkin menegasi atau mengubah masyarakat kita menjadi: 1) masyarakat jajahan dalam bentuk baru (neo-kolonialisme): 2) masyarakat kapitalis: dan 3) masyarakat peralihan yang menuju ke Sosialisme. Tetapi, penetapan Garis Besar Haluan Negara atau Manipol dan pelaksanaannya secara konsekuen adalah justru untuk mencegah terjadinya kemungkinan negasi yang 1) dan 2), yang kemungkinannya dalam syarat-syarat sejarah dewasa ini memang kecil, dan menjamin perkembangan menurut negasi yang ke 3). Inilah keterangan secara filsafat mengapa kaum Komunis Indonesia menerima Manipol dan memperuangkan pelaksanaannya secara konsekuen.

Demikianlah pokok-pokok pandangan materialisme dialektik

3. Materialisme Histori

Materialisme histori adalah penerapan materialisme dialektik di dalam sejarah dan kehidupan masyarakat. Dengan lahirnya materialisme histori ini terjadilah suatu revolusi di dalam pandangan sejarah. Ia telah mendobrak pandangan sejarah idealis yang hampir 2000 tahun lamanya menguasai alam pikiran manusia, dan menegakkan pandangan sejarah yang ilmiah. Dan ini merupakan suatu ciri yang penting yang membedakan materialisme Marx dengan materialisme- materialisme sebelumnya, karena materialisme sebelum Marx tak dapat memegang teguh dan konsekuen pandangan materialis dalam menghadapi masalah-masalah sosial dan sejarah.

Lenin berkata: “Penemuan konsepsi materialis tentang sejarah, atau lebih tepat lagi, penerangan dan peluasan materialisme secara konsekuen ke dalam bidang gejala-gejala sosial, telah mengatasi dua kelemahan pokok daripada teori-teori sejarah dahulu. Pertama, mereka paling-paling hanya meneliti motif-motif ideologis daripada aktivitas sejarah manusia, tanpa menyelidiki apa yang melahirkan motif-motif itu, tanpa berpegang pada hukum-hukum objektif yang menguasai perkembangan sistem hubungan sosial, dan tanpa melihat akar-akar daripada hubungan-hubungan itu pada tingkat perkembangan produksi materiil: kedua, teori-teori dahulu tidak meliputi aktivitas massa penduduk, sedang materialisme histori untuk pertama kalinya mempelajari keadaan sosial daripada kehidupan massa dan perubahan-perubahan di dalamnya dengan ketepatan (keakuratan) ilmu-alam”.[22]

Dengan materialisme histori, Marx menunjukkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, menjelaskan secara ilmiah sebab-sebabnya kelahiran, perkembangan dan kehancurannya sesuatu sistem masyarakat. Ia menyatakan bahwa pencipta sejarah adalah massa. Rakyat pekerja, bukan individu-individu istimewa, misalnya raja, pahlawan, dsb.

Ajaran Marx tentang ekonomi politik dan tentang Sosialisme ilmiah, yang akan diuraikan kemudian, adalah justru perwujudan konkret daripada materialisme histori mengenai perkembangan masyarakat manusia pada tingkat tertentu – Kapitalisme. Oleh karenanya, di sini saja tak perlu menjelaskan semua isi pokoknya.

Yang hendak saya kemukakan di bagian ini hanya mengenai dua hal, yaitu: (A) tentang perjuangan kelas, dan (B) tentang peranan Rakyat pekerja dan individu di dalam sejarah.

(D) TENTANG PERJUANGAN KELAS

Kini masih ada saja sementara orang mengatakan bahwa mereka dapat menerima ajaran Marxisme, kecuali ajarannya tentang perjuangan kelas. Pernyataan demikian ini sebenarnya merupakan suatu bentuk penolakan terhadap seluruh ajaran Marxisme. Sebab, ajaran Marx tentang perjuangan kelas adalah “jiwa” daripada Marxisme.

Perjuangan kelas adalah suatu proses perkembangan objektif daripada sejarah sejak masyarakat terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan kepentingannya. Timbulnya kelas-kelas di dalam masyarakat adalah akibat yang wajar daripada kemajuan tenaga produktif masyarakat pada tingkat perkembangan sejarah tertentu – peralihan dari masyarakat komune-primitif ke masyarakat pemilikan-budak, dimana manusia telah dapat menghasilkan hasil-lebih dari kerjanya sendiri sehingga dengan demikian terciptalah syarat-syarat bagi segolongan orang untuk merampas dan memiliki hasil-lebih kerja orang lain dengan melalui perampasan dan pemilikan atas alat-alat produksi. Oleh karena itu, timbulnya perjuangan kelas dalam sejarah serta perkembangannya tak dapat dipisahkan dari timbul dan perkembangannya sistem hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan juga, bahwa tujuan perjuangan kelas, atau tujuan revolusi sebagai bentuk tertinggi daripada perjuangan kelas, adalah untuk mengubah sistem hak milik atas alat-alat produksi, dan pada tingkat perkembangannya terakhir – dalam zaman kapitalisme, adalah untuk menghapuskan sistem hak milik perseorangan atas alat-alat produksi dan menjadikan alat-alat produksi milik masyarakat. Dengan demikian mengakhiri riwayat masyarakat berkelas.

Dengan ini jelaslah kiranya bahwa pandangan-pandangan yang menyangkal ajaran Marx tentang perjuangan kelas, atau usaha-usaha revisionis yang hendak mengebiri ajaran Marx dengan membuang teori perjuangan kelasnya, adalah pandangan yang mewakili kepentingan kelas bermilik, adalah cara untuk “melanggengkan” adanya kelas-kelas, untuk “melanggengkan” penghisapan atas manusia oleh manusia (I’exploitation de I’homme par I’homme).

Akan tetapi, perjuangan kelas pada tingkat perkembangan kelas pada tingkat perkembangan sejarah tertentu, atau dalam masyarakat tertentu, mempunyai bentuk dan isinya yang tertentu pula, sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga produktif masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti bahwa perjuangan kelas yang bertujuan untuk mengubah sistem hak milik atas alat-alat produksi itu tak dapat dilakukan menurut keinginan atau kemauan subjektif manusia sendiri. Suatu sistem hak milik tertentu tumbuh di dalam dasar tingkat perkembangan produksi kemasyarakatan tertentu. Oleh karenanya, garis strategi dan taktik perjuangan kelas yang berlaku dalam masyarakat tertentu harus bersesuaian dengan hukum-hukum perkembangan produksi yang berlaku di dalam masyarakat itu.

Revolusi Indonesia pada tingkat melawan imperialisme dan feodalisme sekarang adalah suatu bentuk perjuangan kelas, perjuangan antara kaum penindas dan penghisap, yaitu kaum imperialis dan kaum tuan tanah feodal serta kaki tangannya, dengan kaum tertindas dan terhisap, yaitu Rakyat Indonesia yang terdiri dari kelas buruh, kaum tani, kaum borjuis kecil, kaum inteligensia, kaum pengusaha nasional, dsb, yang dirugikan oleh imperialisme dan feodalisme. Tujuan perjuangan kelas ini , tujuan revolusi tingkat sekarang ini, pertama-tama bukanlah untuk menghapuskan hak milik perseorangan kaum pengusaha nasional, kaum tani dan borjuis kecil kota, melainkan hak milik perseorangan kaum imperialis dan kaum tuan tanah feodal serta kaki tangannya. Karena itulah kaum komunis tidak dapat menyetujui pandangan-pandangan yang ingin pada waktu sekarang juga menghapuskan hak milik perseorangan kaum pengusaha nasional, kaum tani dan borjuis kecil, yang ingin sekaligus melenyapkan segala bentuk hak milik perseorangan yang ada sekarang dan menggantinya dengan hak milik sosialis dengan jalan menyita atau menasionalisasi tanah dan alat-alat produksi lainnya milik kaum tani, borjuis kecil dan pengusaha nasional. Kaum pengusaha nasional dan kaum produsen kecil, termasuk kaum tani, pada tingkat perkembangan produksi masyarakat kita sekarang dan satu masa tertentu di kemudian hari masih dapat memainkan peranan yang progresif (atau positif). Fikiran-pikiran yang ingin menghapuskan hak milik perseorangan kaum tani, borjuasi kecil dan pengusaha nasional pada tingkat perjuangan sekarang adalah pikiran avonturis yang melemahkan konsentrasi kekuatan nasional dan oleh karena itu sangat membahayakan revolusi kita.

Di samping itu kaum Komunis juga tidak menyetujui pikiran-pikiran yang menyatakan bahwa masyarakat sosialis Indonesia yang merupakan perspektif revolusi kita di kemudian hari bukan atau tidak sesuai dengan Sosialisme ilmiah Marx, karena, menurut interpretasinya, masyarakat sosialis Indonesia itu tidak menghapuskan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Jika masyarakat sosialis Indonesia yang kita cita-citakan itu adalah masyarakat adil dan makmur, yang menghapuskan segala macam bentuk sistem penghisapan dan penindasan, menghapuskan “I’exploitation de I’homme par I’homme”, maka mau tidak mau harus menghapuskan segala macam bentuk hak milik perseorangan atas alat-alat produksi.

(B) TENTANG PERANAN MASSA RAKYAT PEKERJA DAN INDIVIDU DIDALAM SEJARAH

Berlawanan dengan teori-teori sejarah yang terdahulu, yang umumnya berpendapat bahwa pencipta sejarah adalah raja-raja, pahlawan-pahlawan, pemimpin-pemimpin, dsb., pendeknya individu-individu yang istimewa, maka materialisme histori Marx berpendapat bahwa pencipta sejarah yang sesungguhnya adalah massa Rakyat pekerja.

Sebab, tanpa aktivitas manusia memproduksi kebutuhan-kebutuhan materiil masyarakat, masyarakat tak akan dapat berlangsung hidupnya, tak akan ada sejarahnya. Sedangkan yang melakukan produksi kebutuhan-kebutuhan materiil itu adalah massa Rakyat pekerja. Oleh karenanya, perkembangan sejarah masyarakat adalah perkembangan sejarah produksi, adalah perkembangan sejarah massa Rakyat pekerja. Massa Rakyat pekerja tidak hanya merupakan pencipta kekayaan materiil masyarakat, tetapi juga merupakan pencipta kekayaan spiritual masyarakat.

Sepanjang sejarah masyarakat berkelas, dimana massa Rakyat pekerja merupakan golongan yang tertindas, penciptaan kekayaan spiritual memang tak mungkin dilakukan langsung oleh massa Rakyat pekerja, melainkan secara tidak langsung dengan nelalui sarjana-sarjana, sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman yang umumnya lahir dari kalangan kelas penindas. Sebab, sarjana-sarjana, sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman itu mungkin melakukan akivitas-aktivitasnya serta memperoleh hasil-hasil yang besar, karena segala kebutuhan materiil untuk hidupnya maupun untuk segala keperluan bagi pekerjaannya telah diciptakan oleh massa Rakyat pekerja. Tanpa basis produksi materiil yang dilakukan oleh massa Rakyat Pekerja, penciptaan kekayaan spiritual apapun tak mungkin terjadi. Selain itu, setiap penciptaan kekayaan spiritual baik yang berupa penemuan-penemuan di bidang ilmu-alam ataupun ilmu-sosial, maupun karya-karya sastra ataupun karya-karya kesenian, tak dapat dipisahkan dari pengalaman praktek produksi massa Rakyat pekerja. Penemuan dalam pertanian tak terlepas dari pengalaman praktek produksi kaum tani, penemuan mesin-mesin baru juga berdasarkan pengalaman praktek kaum buruh. Begitupun karya-karya dalam kesusastraan dan kesenian, tak dapat dipisahkan dari kehidupan massa Rakyat, dari pengakuan dan penghargaan massa Rakyat.

Dengan pengakuan bahwa massa Rakyat pekerja adalah pencipta sejarah, tidaklah berarti bahwa kaum Marxis meremehkan peranan individu atau pemimpin-pemimpin dalam sejarah. Kaum Marxis mengakui bahwa peranan individu dalam sejarah adalah penting, tetapi bukan yang menentukan. Sebab, pemimpin adalah sebagian dari Massa, tak terpisahkan dari massa, dan ditentukan oleh massa. Pemimpin adalah bagian yang paling sadar, paling berpengalaman di dalam gerakan massa, paling mendapatkan kepercayaan dari massa. Dan justru oleh karena itu, maka pemimpin tidak hanya mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh massanya, juga untuk mengorganisasi dan memobilisasi segala kekuatan massa untuk merealisasi konsepsi jalan keluar dari segala kesulitan itu, untuk mencapai cita-cita massa. Pendeknya, pemimpin dilahirkan oleh gerakan masa, dan kepemimpinannya didasarkan pada kepentingan dan kekuatan massa. Oleh karena itu, adalah tepat kalau Bung Karno sebagai presiden RI sering mengatakan bahwa tanpa rakyat Indonesia, beliau sebagai individu tak mempunyai arti apa-apa, dan sebagai pemimpin Rakyat seseorang harus menjadi “penyambung lidah Rakyat”. Tetapi, di pihak lain, individu pemimpin juga memainkan peranan aktif terhadap massanya, terhadap perkembangan gerakan massanya. Jika pemimpin itu salah bertindak, atau menyeleweng dari kepentingan dan cita-cita massa, maka ia akan merugikan dan mengakibatkan kemunduran gerakan massa. Tentunya ini bersifat sementara, karena pemimpin semacam ini akan dikoreksi atau disingkirkan oleh massanya sendiri. Sebaliknya, kalau pemimpin itu mempunyai kecakapan yang besar dan mahir melakukan tugas kepemimpinannya, maka ia akan mendorong perkembangan gerakan masa dengan cepat. Pendeknya, antara massa dengan pemimpinnya terdapat saling hubungan, saling mempengaruhi dan saling menentukan, “loro-loro ning atunggal”, mempunyai hubungan dialektik. Kultus individu menandakan hubungan yang tidak sehat, tidak dialektis, antara massa dengan pemimpinnya. Pemimpin yang dipuja menjadi menjauhkan diri dari massa, sedang massa yang memujanya tidak kritis terhadap pemimpinnya dan memastikan daya kreasinya sendiri, dengan demikian tiada hubungan “persatuan” dan “perjuangan” antara massa dengan pemimpinnya, tiada hubungan dialektik.

Lain halnya dengan martabat atau kewibawaan pemimpin dan kecintaan massa terhadap pemimpinnya. Martabat atau kewibawaan pemimpin yang besar tidak ditegakkan dengan paksaan atau sengaja dibuat-buat dengan menggunakan segala aparat yang ada pada pemimpin itu. Walaupun jalan ini juga bisa membuat seseorang menjadi pemimpin, tetapi sifatnya sementara, tak tahan lama, karena kekuatan massa tak dapat ditaklukkan oleh kekuatan kekerasan apapun, ketajaman mata massa tak dapat disilaukan oleh segala macam tipu muslihat, mereka pasti akan memberikan vonis kepadanya.

Martabat atau kewibawaan pemimpin tak dapat dipisahkan dengan kepercayaan dan kecintaan massa yang wajar kepadanya. Dan kepercayaan dan kecintaan massa itu tak dapat dibeli dengan uang atau emas, tak dapat dengan gertakan kekuatan senjata, melainkan hanya dengan kesetiaan dan kepercayaan pemimpin itu kepada massanya, di samping kecakapan individunya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin.

Dengan mengakui kebenaran, bahwa pencipta sejarah yang sesungguhnya adalah massa Rakyat pekerja, tidaklah berarti bahwa massa Rakyat dapat membuat sejarah sekehendaknya sendiri, melainkan hanya dengan menurut hukum-hukum perkembangan sejarah yang objektif.

Mengenal peranan massa Rakyat pekerja dan individu atau pemimpin dalam sejarah serta hubungan dialektik antara massa dengan pemimpinnya adalah penting bagi kita semua, baik sebagai kader-kader organisasi massa, kader-kader partai ataupun kader-kader pemerintahan. Karena dengan demikian kita dapat menempatkan diri kita secara tepat dalam hubungan dengan massa Rakyat, dan hanya dengan demikian kita dapat meningkatkan kemampuan dan martabat kita sebagai kader atau sebagai pemimpin.

Demikianlah beberapa pokok masalah dalam materialisme histori. Adapun masalah-masalah lainnya seperti tentang hubungan antara keadaan sosial dengan kesadaran sosial, hubungan antara tenaga produktif dengan hubungan produksi, hubungan antara dasar dengan bangunan-atas masyarakat, dsb. akan saya bicarakan dalam bagian-bagian tentang ekonomi politik dan tentang Sosialisme ilmiah.

Dari uraian tentang filsafat Marxisme seperti di dalam, maka jelaslah bahwa filsafat materialisme dialektik adalah hasil tertinggi dari perkembangan sejarah filsafat, karena mendasarkan dirinya pada hasil-hasil ilmu yang termaju di sepanjang sejarah umat manusia. Di samping itu, ia juga mempunyai ciri yang menonjol, yang membedakannya dari filsafat-filsafat lainnya, yaitu bahwa filsafat materialisme dialektik tidak hanya menjelaskan gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran, tetapi yang terpenting memberikan senjata kepada manusia untuk mengubah keadaan dunia objektif, maupun subjektif. Marx sendiri pernah mengatakan: “Filsuf-filsuf telah menafsirkan dunia dalam berbagai cara; tetapi soalnya ialah untuk mengubah dunia.[23] Justru oleh karena itulah, oleh karena harus mengubah dunia, maka Marx juga pernah mengetengahkan, bahwa filsafat materialisme dialektik dan histori mendapatkan kekuatan materiil pada proletariat, dan proletariat mendapatkan senjata moril pada filsafat materialisme dialektik dan histori.

 

BAB II. EKONOMI POLITIK

 

Sebagaimana bagian-bagian lain dari ajaran Marxisme, ajaran ekonomi politik Marxis adalah berdasarkan hasil-hasil ilmiah yang sudah dicapai oleh ilmu ekonomi politik pada abad 18 dan 19, terutama ajaran Adam Smith dan David Ricardo. Tetapi ajaran ekonomi politik kedua orang Inggris ini adalah terbatas karena tidak bisa melanjutkan analisa mereka keluar dari batas-batas sistem ekonomi kapitalisme.

Dalam kerja utamanya Das Kapital, Marx menyingkapkan hukum-hukum ekonomi yang menguasai perkembangan masyarakat kapitalis dan memperlihatkan keharusan masyarakat kapitalis itu diganti dengan sistem masyarakat yang lebih maju, masyarakat sosialis. Ajaran ekonomi politik Marxis telah terbukti sebagai senjata ilmiah yang ampuh untuk merombak semua susunan ekonomi yang berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia, khususnya susunan ekonomi kapitalis. Dengan dibimbing oleh ajaran-ajaran ini, maka sudah ada sejumlah negeri yang dengan sukses membangun ekonomi sosialis, bebas dari “I’exploitation de I’homme par I’homme”. Dan tidak ada satu negeripun yang sudah membangun Sosialisme tanpa berpedoman pada ajaran ekonomi politik Marxis ini.

Dalam rangkaian ceramah-ceramah ini akan kita bahas terlebih dulu beberapa pengertian pokok dan umum dari ajaran ekonomi politik Marxis, kemudian beberapa masalah khusus dari kapitalisme dan Sosialisme.

1. Produksi Kekayaan Materiil Adalah Dasar Kehidupan (Eksistensi) Masyarakat

Masalah yang sudah terjadi berabad-abad menyibukkan pikiran manusia ialah masalah tentang apa yang menentukan sifat suatu sistem masyarakat, bagaimana masyarakat manusia berkembang, apakah Rakyat yang sudah turun temurun hidup melarat dan sengsara dapat memperbaiki nasibnya, apakah kebebasan dan kemakmuran dapat dicapai untuk semua manusia, ataukah hanya untuk golongan kecil saja, apakah miskin dan kaya itu takdir, ataukah dapat kemiskinan dilenyapkan. Semua masalah ini menyangkut kepentingan vital dari kehidupan manusia, sehingga tidak mengherankan bahwa banyak ahli-pikir berusaha memberi jawaban atas masalah-masalah tersebut. Abad demi abad telah berlangsung dan bersamaan dengan itu bermacam-macam teori dan konsepsi telah terbantah sama sekali, bukan saja oleh kritik ahli-ahli pikir lainnya tapi juga oleh kritik waktu, oleh seluruh perkembangan sejarah itu sendiri.

Memang, jalan untuk mencapai pengetahuan mengenai sebab-sebab perkembangan sejarah masyarakat sangat sulit dan berliku-liku. Ini disebabkan karena, berbeda dengan peristiwa-peristiwa dalam alam, peristiwa-peristiwa masyarakat lebih sukar diobservasi dan dianalisa. Di samping itu, kekuatan-kekuatan dalam alam bersifat spontan dan tidak berkenaan dengan seseorang, sedangkan dalam masyarakat kita menghadapi manusia-manusia yang selalu mempunyai kemauan tertentu dan mengejar tujuan tertentu. Oleh sebab itu, mungkin orang mengira bahwa guna memahami perkembangan masyarakat manusia, cukuplah untuk menyelidiki motif-motif manusia ketika bertindak dan berbuat sesuatu. Tetapi ini tidak akan membawa manusia kepada pengertian yang sesungguhnya mengenai perkembangan masyarakat. Masalahnya ialah: mengapa seseorang mempunyai motif tertentu dan orang lain mempunyai motif lain. Lagipula, macam-macam orang mempunyai macam-macam motif yang menggerakkan mereka. Tindakan-tindakan yang berdasarkan macam-macam motifnya itu berbentrokan satu sama lain dan timbul peristiwa sejarah. Tapi hasil peristiwa sejarah itu bisa sangat berlainan daripada apa yang dikehendaki atau dituju oleh orang-orang tersebut.

Misalnya, banyak orang yang turut serta melaksanakan Revolusi Agustus 1945 berpikir bahwa dengan lenyapnya penjajahan dan tercapainya kemerdekaan, akan terbentuklah masyarakat yang adil dan makmur. Tapi hingga kini masyarakat itu belum tercapai dan bagi banyak orang nasibnya masih sama kalau tidak bertambah buruk.

Uraian ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kontradiksi, yaitu kontradiksi antara kegiatan subjektif yang sadar dari masing-masing orang di satu pihak, dengan perkembangan objektif yang “spontan” dari masyarakat sebagai keseluruhan di pihak lain. Adanya kontradiksi ini sudah ditemukan dan diketahui sebelum Marx, tapi belum ada yang dapat menjelaskannya secara ilmiah. Karena tidak mampu menjelaskan kontradiksi ini secara tepat maka sebagian orang menganggap sejarah hanya sebagai kumpulan peristiwa-peristiwa yang kebetulan, sebagian yang lain yang percaya akan adanya keharusan (Notwendigkeit) dalam peristiwa-peristiwa sejarah itu, tapi tak memahami apa yang menentukan keharusan itu, menjadi penganut fatalisme, menyerah kepada takdir yang tak dapat dielakkan manusia.

Timbulnya sistem masyarakat kapitalis menyingkapkan akar-akar ekonomi yang materiil dari perjuangan kelas, dan munculnya kelas buruh di dalam panggung sejarah berarti munculnya kelas yang pertama dalam sejarah yang mempunyai kepentingan langsung akan penjelasan ilmiah terhadap perkembangan masyarakat. Maka terbuka jalan untuk perubahan revolusioner dalam studi tentang masalah-masalah masyarakat.

Marxisme menunjukkan bahwa masyarakat berkembang bukan karena kekuatan-kekuatan yang berada di luar masyarakat, tapi oleh kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat itu sendiri. Di pihak lain Marxisme membuktikan bahwa manusia tidak membuat sejarah mereka secara sesukanya, tapi atas dasar syarat-syarat materiil objektif yang mereka warisi dari abad-abad yang silam. Di antara syarat-syarat materiil masyarakat, produksi kekayaan materiil yang diperlukan bagi kehidupan manusia, merupakan syarat yang menentukan. Sudah tentu, faktor-faktor materiil lain seperti geografi, iklim, kepadatan penduduk dll., mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, tapi faktor-faktor ini tidak dapat merupakan dasar dari proses perkembangan masyarakat itu. Berbagai sistem masyarakat bisa terdapat dalam keadaan geografi, iklim ataupun kepadatan penduduk yang sama. Tapi faktor yang primer bagi kelangsungan hidup setiap masyarakat ialah kegiatan bekerja manusia untuk menghasilkan barang-barang keperluan hidupnya, artinya manusia harus berproduksi sebagaimana dikatakan oleh Engels : “…………. manusia harus lebih dulu makan, minum, mempunyai perumahan dan pakaian sebelum dapat mengusahakan politik, ilmu, kesenian, agama, dll.”[24] Tanpa kegiatan berproduksi itu, setiap masyarakat akan binasa, betapa tinggipun perkembangan intelektual yang sudah dicapai dalam masyarakat itu.

2. Tenaga-tenaga Produktif Dan Hubungan-hubungan Produksi masyarakat

Proses produksi kekayaan materiil dalam masyarakat berpangkal pada tiga faktor, yaitu: 1. Kerja manusia, 2. Sasaran kerja dan 3. Alat-alat kerja.

Kerja adalah kegiatan bersengaja dari manusia yang dimaksudkan untuk mengubah dan menyesuaikan benda-benda alam sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Kerja adalah keharusan alam, syarat mutlak bagi kehidupan manusia. Tanpa kerja tidak mungkin ada kehidupan manusia. Aktivitas kerja inilah yang membedakan manusia dari binatang. Binatang secara pasif harus menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, sedangkan manusia dengan perkakas-perkakas yang dibuatnya dapat mempengaruhi serta mengubah alam sekelilingnya dan memperoleh bahan-bahan yang diperlukannya.

Sasaran kerja (objek kerja, Arbeitsgegenstand) adalah apa saja yang dikenakan kerja manusia. Sasaran kerja mungkin sesuatu yang sudah terdapat dalam alam, misalnya, kayu yang ditebang di hutan atau bijih yang digali dari dalam bumi. Sasaran kerja yang sudah pernah dikenakan kerja, seperti bijih besi dalam pabrik pengolahan logam, kapas dalam pabrik pemintalan dsb. dinamakan bahan mentah atau bahan baku.

Alat-alat kerja (Arbeitsmittel) ialah segala benda yang dipergunakan manusia sebagai alat untuk mengenakan kerjanya pada sasaran kerja dan mengubahnya. Dalam alat-alat kerja itu termasuk pertama-tama perkakas-perkakas produksi, selanjutnya juga tanah, bangunan perusahaan, jalan-jalan, terusan-terusan, gudang-gudang, dsb. Perkakas-perkakas produksi (Produktionsinstrumente) memegang peranan yang menentukan di antara alat-alat kerja itu. Ini meliputi bermacam-macam perkakas, yang dipakai manusia dalam kerja, mulai dari perkakas-perkakas batu yang kasar dari manusia primitif sampai kepada mesin-mesin modern. Berbagai tingkat sejarah perkembangan masyarakat bukan dibedakan menurut barang-barang apa yang diproduksi, melainkan menurut bagaimana, dengan perkakas-perkakas produksi apa barang-barang itu diproduksi.

Sasaran kerja dan alat-alat kerja merupakan alat-alat produksi (Produktionsmittel, means of production). Alat-alat produksi itu sendiri, bila tidak disatukan dengan tenaga kerja, hanya merupakan setumpukan barang-barang mati. Untuk dapat memulai proses kerja, tenaga kerja mesti menjatuhkan diri dengan perkakas-perkakas produksi. Tenaga kerja ialah kecakapan manusia bekerja, yaitu keseluruhan kekuatan jasmani dan rohani manusia, dengan mana manusia itu dapat memproduksi barang-barang materiil. Alat-alat produksi, dengan pertolongan mana barang-barang materiil dihasilkan, dan manusia yang dengan kecakapan tertentu menggerakkan alat-alat ini, merupakan tenaga-tenaga produktif masyarakat. Rakyat pekerja adalah tenaga produktif pokok masyarakat manusia pada semua tingkat perkembangannya.

Tenaga-tenaga produktif mencerminkan hubungan manusia terhadap benda-benda dan kekuatan-kekuatan alam yang digunakan untuk memproduksi kekayaan materiil. Tetapi dalam produksi, manusia tidak hanya mempengaruhi alam melainkan juga mempengaruhi sesama manusia. “Mereka hanya berproduksi dengan bekerjasama menurut cara tertentu dan saling menukarkan kegiatan mereka. Untuk berproduksi, mereka memasuki perhubungan dan pertalian timbal-balik yang tertentu, dan hanya di dalam perhubungan dan pertalian kemasyarakatan inilah dilakukan pengaruh mereka atas alam, dilakukan produksi”.[25] Perhubungan dan pertalian tertentu yang terbentuk antara manusia-manusia dalam proses produksi kekayaan materiil merupakan hubungan-hubungan produksi. Hubungan-hubungan produksi meliputi: bentuk-bentuk hak milik atas alat-alat produksi; kedudukan kelas-kelas, golongan-golongan masyarakat dalam produksi dan hubungan-hubungan timbal-balik antara mereka; bentuk-bentuk distribusi dari hasil-hasil produksi.

Watak dari hubungan-hubungan produksi ditentukan pertama-tama oleh soal milik siapakah alat-alat produksi (tanah, hutan, perairan, bahan mentah, perkakas-perkakas produksi, alat-alat perhubungan dll.). milik orang-seorang, golongan-golongan masyarakat atau kelas-kelas yang mempergunakan alat-alat produksi itu untuk menghisap Rakyat pekerja ataukah milik masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil dan kultural dari massa Rakyat. Misalnya, di negeri kita terdapat jutaan kaum tani yang mampu bekerja, jadi merupakan tenaga produktif yang besar. Tetapi banyak di antara mereka tidak dapat mempergunakan tenaganya, dan hidup sebagai setengah-penganggur. Sebabnya ialah karena alat produksi yang pokok, yaitu tanah, tidak mereka miliki. Jadi untuk dapat berproduksi, mereka harus mengadakan hubungan produksi tertentu dengan si pemilik tanah, yaitu hubungan berdasarkan penyewaan tanah dari tuan tanah. Akibatnya ialah bahwa sebagian besar dari hasil panennya harus dibayarkan kepada tuan tanah dalam bentuk sewa tanah, sehingga sangat menekan daya produksi tani penyewa. “Berkat” hak miliknya atas tanah, maka tuan tanah dapat memiliki sebagian dari hasil kerja tani.

Contoh lain, ialah apa yang selalu kita jumpai di negeri-negeri kapitalis. Ratusan ribu, bahkan jutaan buruh menganggur dalam keadaan teknik sangat maju dan produktivitas kerja sudah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi daripada dalam sistem-sistem masyarakat pra-kapitalis. Tapi pabrik-pabrik yang dapat memberikan pekerjaan kepada kaum buruh-penganggur itu malah ditutup atau bekerja jauh di bawah kapasitas. Jadi, ada pekerja yang cukup, ada mesin-mesinnya, ada bahan-bahannya, tapi produksi tidak jalan atau dikurangi. Sebabnya hanya karena pekerjanya bukan pemilik alat-alat produksi. Alat-alat produksi bahkan dimiliki oleh orang-orang yang sama-sekali tidak turut serta dalam proses produksi. Dengan demikian proses produksi hanya dapat berlangsung jika antara kaum buruh dengan kaum kapitalis (yaitu pemilik alat-alat produksi) terjadi hubungan produksi tertentu berdasarkan penjualan tenaga kerja oleh kaum buruh kepada kapitalis. Tujuan proses produksi di sini adalah untuk menghidupi dan memperkaya pemilik-pemilik alat-alat produksi.

Lain keadaannya bila alat-alat produksi menjadi milik masyarakat, sehingga kaum pekerja tidak terpisah lagi dari alat-alat produksinya. Di sini tidak mungkin lagi orang hidup dari kerja orang lain dan kedudukan sosial semua anggota masyarakat menjadi sederajat.

Contoh-contoh tersebut menjelaskan bahwa peranan yang menentukan dalam sistem hubungan-hubungan produksi dimainkan oleh satu atau lain bentuk hak milik atas alat-alat produksi.

Tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi masyarakat menyatakan dua segi dari produksi, yaitu segi teknik dan segi kemasyarakatan dari produksi. Ilmu ekonomi politik mempelajari segi kemasyarakatan daripada produksi, yaitu mempelajari hubungan-hubungan produksi dalam pengaruhnya yang timbal-balik dengan tenaga-tenaga produktif. Tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi sebagai suatu kesatuan merupakan cara produksi.

Tenaga-tenaga produktif adalah unsur yang paling mobil dan revolusioner dalam produksi. Perkembangan produksi mulai dengan perubahan-perubahan dalam tenaga-tenaga produktif – pertama-tama dengan perubahan-perubahan dan perkembangan perkakas-perkakas produksi, dan kemudian perubahan-perubahan yang bersesuaian terjadi juga di lapangan hubungan-hubungan produksi. Sebaliknya pula, hubungan-hubungan produksi antara manusia mempengaruhi tenaga-tenaga produktif secara aktif.

Tenaga produktif masyarakat hanya dapat berkembang dengan tiada rintangan, apabila hubungan-hubungan produksi sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif, bingkai hubungan-hubungan produksi yang ada itu menjadi terlalu sempit baginya sehingga tenaga-tenaga produktif menjadi bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang lama. Pertentangan inilah yang menjadi dasar ekonomi bagi revolusi sosial dalam masyarakat-masyarakat berkelas yang berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia. Di dalam masyarakat-masyarakat semacam itu bentrokan-bentrokan antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi dinyatakan dalam bentuk perjuangan kelas. Penghapusan hubungan-hubungan produksi yang lama terjadi melalui pergolakan-pergolakan besar, yaitu revolusi-revolusi. Tujuan revolusi ialah melenyapkan pertentangan antara tenaga-tenaga produktif yang baru dengan hubungan-hubungan produksi yang lama, dan membentuk hubungan produksi baru yang sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif yang sudah dicapai. Dengan jalan revolusi-revolusi sosial ini masyarakat maju ke-tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Maka, Marx menamakan revolusi-revolusi itu sebagai lokomotif-lokomotif sejarah yang menggerakkan masyarakat manusia maju.

3. Hukum Ekonomi Utama Perkembangan Masyarakat. Keobjektifan Hukum-hukum Ekonomi

Pemahaman tentang saling hubungan dan saling pengaruh antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi memungkinkan kita mengerti secara tepat sebab-sebab yang melahirkan revolusi, tujuan revolusi, jalannya untuk menyelesaikan revolusi dll., pendeknya soal-soal pokok revolusi. Dengan demikian kita bisa menghindarkan diri dari penafsiran-penafsiran yang subjektif tentang sebab-sebab revolusi, tentang musuh-musuh dan sahabat-sahabat revolusi, tentang tujuan revolusi dan jalan penyelesaiannya. Misalnya, “teori” yang banyak disebarkan kaum reaksioner ialah bahwa revolusi itu ditimbulkan oleh karena Rakyat dari negeri yang berevolusi hidup melarat dan sengsara atau jumlah penduduknya terlalu padat. Kepalsuan “teori” ini dengan mudah dapat dibuktikan oleh siapa saja yang mau mempelajari sejarah. Revolusi-revolusi telah timbul di berbagai negeri yang sangat berbeda-beda taraf hidup Rakyatnya dan kepadatan penduduknya. Pengertian tentang dasar ekonomi dari revolusi-revolusi sosial juga memungkinkan kita membedakan sebab-sebab objektif dengan peristiwa-peristiwa yang langsung mencetuskan revolusi (“aanleiding”, “occasion”). Misalnya, Revolusi Besar Prancis tahun 1789 dimulai dengan penyerangan terhadap Bastille, tapi sebab objektif dari timbulnya Revolusi Prancis itu bukan penyerangan terhadap Bastille, melainkan adanya pertentangan yang meruncing antara hubungan-hubungan produksi feodal dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif yang menuntut dilenyapkannya hubungan-hubungan produksi feodal dan digantikannya dengan hubungan produksi yang baru – hubungan produksi kapitalis. Pertentangan ini menyatakan diri dalam pertentangan dan perjuangan-perjuangan kelas, yaitu kaum tani, borjuasi (kaum kapitalis) dan kaum buruh di satu pihak dengan kaum feodal di pihak lain.

Begitu pula Revolusi Agustus 1945 kita dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan, tapi sebab objektif dari revolusi kita bukanlah proklamasi itu, melainkan penindasan kaum imperialis dan feodal terhadap Rakyat kita. Perlawanan Rakyat kita terhadap imperialisme dan feodalisme adalah perwujudan dari pertentangan antara hubungan-hubungan produksi yang bersifat kolonial dan setengah-feodal dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif di negeri kita. Pertentangan ini hanya dapat diselesaikan jika hubungan produksi kolonial dan setengah-feodal itu dilenyapkan.

Syarat-syarat materiil bagi penggantian hubungan-hubungan produksi yang lama oleh yang baru, lahir dan berkembang di dalam pangkuan susunan lama. Karena itu hubungan-hubungan produksi yang lama cepat atau lambat akan diganti oleh hubungan-hubungan produksi yang baru, yang sesuai dengan tingkat perkembangan yang sudah tercapai dan dengan watak tenaga-tenaga produktif masyarakat. Hubungan-hubungan produksi yang baru ini memberikan keleluasaan lebih lanjut bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif. Tercapainya persesuaian antara hubungan-hubungan produksi yang baru dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif berarti bahwa masyarakat manusia telah mencapai tingkat yang lebih maju dalam perkembangannya.

Oleh karena itu, hukum ekonomi umum daripada perkembangan masyarakat adalah hukum penyesuaian hubungan-hubungan produksi dengan watak tenaga-tenaga produktif. Hukum ini berlaku untuk semua bentuk masyarakat. Di samping itu masing-masing bentuk masyarakat mempunyai hukum-hukum ekonominya yang khusus.

Hukum ekonomi adalah hakikat dari gejala-gejala dan proses-proses ekonomi, adalah hubungan yang bersifat keharusan dan tetap, yaitu hubungan sebab-akibat yang terus berlangsung dan hubungan ketergantungan satu sama lain yang terkandung pada gejala-gejala dan proses-proses itu. Hukum-hukum ini adalah objektif, yaitu hukum-hukum itu timbul atas dasar syarat-syarat ekonomi tertentu terlepas dari kemauan manusia dan akan hilang kekuatannya dengan lenyapnya syarat-syarat ekonomi yang tertentu itu. Manusia tidak dapat sesukanya menghapuskan atau menciptakan hukum-hukum ekonomi. Manusia hanya bisa mengenali hukum-hukum ini dan menggunakannya untuk mengubah hubungan-hubungan ekonomi demi kepentingan-kepentingan masyarakat. Tetapi dengan mempengaruhi ekonomi sesuai dengan hukum-hukum yang sudah dikenal dan kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi yang sudah mematang, maka manusia mengambil bagian dalam melahirkan hubungan-hubungan ekonomi yang baru dengan hukum-hukum yang khas bagi hubungan-hubungan ekonomi itu. Oleh sebab itu Marxisme bertentangan dengan fatalisme, karena fatalisme menganggap manusia tidak berdaya terhadap kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat.

4. Dasar (Basis) Dan Bangunan-Atas

Tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif menentukan watak dari hubungan-hubungan produksi manusia, yaitu susunan-ekonomi masyarakat. Susunan ekonomi ini merupakan basis atau dasar di dalam mana timbul bermacam-macam hubungan-hubungan sosial, pandangan-pandangan dan lembaga-lembaga. Pandangan-pandangan kemasyarakatan (politik, yuridis, filsafat, agama, dll.), lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi (Negara, gereja, partai-partai politik dll.) yang timbul di dalam dasar yang tertentu itu, merupakan bangunan-atas masyarakat.

Teori tentang dasar dan bangunan-atas menjelaskan bagaimana dalam analisa terakhir cara produksi menentukan segala aspek dari kehidupan sosial dan ekonomi dengan semua hubungan lainnya dari masyarakat yang tertentu.

Dalam hal ini sering kali dituduhkan kepada Marxisme, bahwa Marxisme semata-mata mempertimbangkan faktor ekonomi saja dan mengabaikan sama sekali peranan ide. Mereka katakana bahwa kelemahan Marxisme terletak pada paham determinisme ekonominya. Sesungguhnya tuduhan ini salah alamat, sama sekali tidak tepat ditujukan ke alamat Marxisme. Apa yang digambarkan sebagai “Marxisme” itu adalah Marxisme yang divulgarkan. Jika itu yang dinamakan Marxisme, maka Marx pernah berkata: “apa yang saya tahu, ialah bahwa saya bukan Marxis”.[26]

Kaum Marxis memang penganut determinisme, tapi bukan apa yang dinamakan determinisme ekonomi. Prinsip determinisme adalah pengakuan terhadap watak objektif dari hubungan universal, penentuan gejala berdasarkan hubungan sebab-akibat, berlakunya keharusan dan keteraturan dalam alam dan masyarakat. Determinisme itu adalah prinsip dasar seluruh pemikiran ilmiah yang sejati, karena hanya dengan mengetahui sebab-sebab gejala-gejala maka asal-usulnya dapat dijelaskan secara ilmiah, dan hanya dengan mengetahui hukum yang menguasai gejala-gejala itu maka perkembangannya lebih lanjut dapat diramalkan. Mengenai masyarakat, sebagaimana sudah diterangkan di atas, Marxisme menganggap susunan-ekonomi sebagai unsur yang pada akhirnya (ultimately) menentukan. Tapi itu tidak berarti bahwa menurut Marxisme, setiap ide atau lembaga dalam masyarakat secara langsung dihasilkan oleh sesuatu keperluan ekonomi tertentu. Masyarakat, sebagaimana segala hal-ikhwal lainnya harus dipelajari secara konkret, dalam perkembangannya yang kompleks dan yang senyata-nyatanya. Maka pastilah bukan Marxisme, dan juga bukan ilmu, jika kita dari perincian syarat-syarat ekonomi tertentu mencoba menyimpulkan bagaimana persisnya bentuk bangunan-atas yang timbul di dalam dasar itu, atau menetapkan setiap ciri-detail bangunan-atas mempunyai ciri yang bersesuaian degannya di dalam dasar. Sebaliknya, kita perlu mempelajari bagaimana perkembangan bangunan-atas itu sesungguhnya dalam setiap masyarakat dan setiap zaman, dengan menyelidiki fakta-fakta tentang masyarakat dan zaman itu.

Engels pernah menjelaskan tentang sebabnya timbul salah-tafsir terhadap marxisme itu sebagai berikut: “Marx dan saya, kami sendiri, sebagian memikul kesalahan akan kenyataan bahwa penulis-penulis muda kadang-kadang member tekanan yang lebih besar pada segi ekonomi daripada yang seharusnya. Kami dulu perlu menekankan prinsip pokok ini dalam pertentangan dengan lawan-lawan kami, yang menyangkal prinsip itu, dan kami tidak selalu mempunyai waktu, tempat atau kesempatan untuk memperkenankan unsur-unsur lain yang terlibat dalam interaksi itu menampakkan diri dengan semestinya (to come into their rights)”. “Tetapi”, demikian Engels melanjutkan “bila mengenai hal menjadikan suatu bagian dari sejarah, yaitu hal penerapan praktis, maka soalnya lain, dan di situ tidak mungkin terjadi kesalahan”.[27]

Oleh sebab itu, walaupun bangunan-atas muncul di dalam dasar yang tertentu, ia aktif mempengaruhi kembali dasar, mempercepat atau menghambat perkembangannya. Dengan perubahan dalam dasar ekonomi berubah pula bangunan-atasnya.

Dalam mengkritik pemutarbalikan Marxisme itu Engels menulis: “Menurut paham materialis tentang sejarah, unsur yang akhirnya (ultimately) menentukan dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi kehidupan yang nyata. Lebih daripada itu Marx dan saya tidak pernah menyatakan. Oleh sebab itu, jika ada orang yang memutarbalikkan ini dengan mengatakan bahwa unsur ekonomi adalah satu-satunya unsure yang menentukan, maka ia mengubah dalil itu menjadi kalimat tanpa-arti, abstrak dan tanpa guna. Keadaan ekonomi adalah basis, tetapi berbagai unsur dari bangunan-atas: bentuk-bentuk politik dari perjuangan kelas dan hasil-hasilnya, yaitu: konstitusi-konstitusi yang dibentuk oleh kelas yang menang setelah pertempuran yang sukses, dsb., bentuk-bentuk yuridis, dan bahkan pencerminan semua perjuangan yang nyata ini di dalam otak para pesertanya., teori-teori politik, yuridis, filsafat, pandangan-pandangan keagamaan dan perkembangannya lebih lanjut menjadi sistem-sistem dogma, juga melakukan pengaruhnya terhadap jalannya perjuangan-perjuangan historis dan dalam banyak kejadian lebih besar pengaruhnya (preponderate) dalam menentukan bentuknya”.[28]Dan lagi Engels menekankan: “sekali suatu unsur historis dilahirkan oleh unsur-unsur lain, pada akhirnya (ultimately) oleh fakta-fakta ekonomi, maka unsur itu juga bertindak (react) dan dapat bertindak terhadap keadaan sekelilingnya dan bahkan terhadap sebab-sebab yang melahirkan unsur itu sendiri”.[29]

Demikianlah beberapa soal yang perlu diperhatikan untuk mencegah pemahaman secara terlalu sederhana (simplistis). Sebagaimana diperingatkan oleh Engels: “Sayang, ……….terlalu sering terjadi bahwa orang mengira mereka sudah sepenuhnya memahami suatu teori baru dan dapat menerapkannya tanpa banyak rebut sejak dari saat mereka menguasai prinsip-prinsipnya yang pokok, dan bahkan itupun tidak selalu mereka kuasai secara tepat”.[30]

5. Watak Kelas Dari Ajaran Ekonomi Marxis

Terhadap Marxisme kerap kali dinyatakan keberatan bahwa ajaran-ajarannya selalu memihak, sehingga “bersifat berat sebelah dan tidak mungkin objektif”, demikian kata lawan-lawan Marxisme.

Lenin pernah berkata: “Penyelidikan terhadap hubungan-hubungan produksi di dalam suatu masyarakat yang tertentu menurut sejarah, dalam kelahirannya, perkembangannya dan keruntuhannya – demikianlah isi dari ajaran ekonomi Marx”.[31] Jadi, ajaran ekonomi Marxis harus mempelajari hukum-hukum ekonomi yang berlaku di dalam masyarakat yang diselidikinya. Di atas sudah diterangkan bahwa hukum-hukum ekonomi ini merupakan hukum-hukum objektif dan dalam hal ini sepenuhnya sama dengan hukum-hukum objektif yang berlaku dalam alam. Tetapi, berbeda dengan hukum-hukum alam, hukum-hukum ekonomi berlaku di dalam masyarakat dan langsung mengenai kepentingan-kepentingan manusia, golongan-golongan manusia atau kelas-kelas. Ada kelas-kelas yang diuntungkan oleh berlakunya suatu hukum ekonomi tertentu, ada yang dirugikan oleh hukum itu. Oleh sebab itu timbul sikap yang berbeda-beda dari berbagai kelas itu terhadap hukum tersebut. Mereka yang diuntungkan berkepentingan akan segera terlaksananya hukum tiu, berusaha mengenalnya dan menggunakannya. Sedangkan kelas yang dirugikan berusaha sekuat-kuatnya melawan hukum itu, berusaha menutupinya atau memutarbalikannya. Misalnya, hukum bahwa feodalisme pada tingkat perkembangannya yang tertentu harus diganti oleh kapitalisme, dipergunakan oleh kelas borjuis dengan melaksanakan revolusi borjuis anti-feodal, sebagaimana antara lain terjadi di Prancis (1789). Di pihak lain, kaum bangsawan feodal melakukan segala daya upaya untuk menggagalkan revolusi itu dan merebut kembali kekuasaan Negara.

Begitu juga di Indonesia, kita sendiri berpengalaman bagaimana kaum penjajah dengan sarjana-sarjananya, betapa “ilmiah” pun dasar pendidikannya, tidak dapat atau tidak mau mengenal hukum yang objektif bahwa penjajahan melahirkan perlawanan Rakyat yang menentang penjajahan dan berjuang untuk kemerdekaan nasional, dan bahwa kemerdekaan nasional adalah sesuatu yang tak-terelakkan. Oleh sebab itu timbul bermacam-macam “teori” yang dalam bentuk kasarnya terang-terangan menyatakan keunggulan (superioritet) bangsa penjajah atas bangsa yang dijajah, dan dalam bentuk “halus”nya menggambarkan penjajahan sebagai pelaksanaan “kewajiban suci” bangsa-bangsa maju untuk membantu bangsa-bangsa “terbelakang”. Betapa jauhnya “teori” semacam itu dapat menyangkal kenyataan-kenyataan dan meninggalkan sifat ilmiahnya, dapat kita lihat dari “teori” prof. Reesing (yang belum lama berselang di bantah oleh prof. Dr. Sucipto) yang dengan tak kenal-malu menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah dijajah Belanda. Sebaliknya, bagi Rakyat Indonesia adalah mudah untuk mengenal hukum objektif mengenai perjuangan kemerdekaan nasional, dan Rakyat berkepentingan untuk mengenal hukum itu sedalam-dalamnya untuk dapat mengetahui perwujudan-perwujudan konkret dari pelaksanaannya. Teori-teori revolusioner telah membantu menjelaskan hukum itu.

Demikianlah, kita melihat bahwa kepentingan yang bertentangan dengan suatu hukum objektif membuat kelas itu “buta” terhadap hukum itu, sedangkan kepentingan yang sesuai membuat kelas itu “melek” terhadap hukum itu. Oleh sebab itu, suatu ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi politik, dapat bersifat sungguh-sungguh ilmiah dan objektif bukannya dengan “berdiri di dalam kelas-kelas”, “tidak memihak kesini, tidak memihak ke sana”, tapi justru dengan secara teguh memihak pendirian kelas yang maju, kelas yang kepentingannya sepenuhnya sesuai dengan hukum-hukum perkembangan sejarah. Kelas semacam itu, ialah kelas buruh, karena kelas buruh timbul dalam sistem masyarakat kapitalis, sistem masyarakat terakhir yang berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia. Kelas buruh hanya mungkin sampai kepada tujuan perjuangannya, yaitu pembebasan dirinya dari penghisapan, jika sistem kapitalisme hapus sama sekali.

Pada zaman kita sekarang ini sudah jelas, bahwa perkembangan masyarakat manusia di seluruh dunia yang menuju terbentuknya masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia merupakan hukum perkembangan yang objektif. Dengan membebaskan diri dari kapitalisme, kelas buruh akan menamatkan riwayat segala bentuk penghisapan, maka dengan sendirinya ia merupakan satu-satunya kelas yang kepentingannya sepenuhnya sesuai dengan hukum perkembangan tersebut. Oleh sebab itu, Marxisme dengan ajaran ekonominya yang mendasarkan diri pada pendirian kelas buruh, justru merupakan ajaran ilmiah dan objektif karena ia berpihak pada sesuatu yang berjuang untuk suatu perspektif yang objektif, yaitu masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Sejarah gerakan buruh sedunia dan juga gerakan kemerdekaan nasional kita sendiri membuktikan bahwa setiap orang yang dengan jujur menginginkan serta memperjuangkan pembebasan manusia dari segala macam penindasan, dapat memahami Marxisme dan mempergunakannya bagi kemajuan masyarakat manusia.

Sekianlah beberapa pengertian pokok dan umum mengenai ajaran ekonomi politik Marxis.

6. Tingkat-tingkat Perkembangan masyarakat

Menurut kenyataan sejarah masyarakat manusia, maka dapat kita simpulkan bahwa masyarakat manusia telah mengalami berbagai tingkat perkembangan. Kita dapat membedakannya dalam lima macam cara produksi yang mewakili lima tipe pokok susunan atau sistem masyarakat. Lima sistem masyarakat itu ialah: sistem komune-primitif, pemilikan-budak, feodalisme, kapitalisme, dan Sosialisme.

Sistem-sistem masyarakat tersebut dalam perwujudannya di berbagai negeri sudah barang tentu mempunyai kekhususan-kekhususannya tersendiri, tetapi masing-masing sistem masyarakat mempunyai sifat-sifat dasar yang khas. Yang sama di semua negeri dan yang pertama-tama ditentukan oleh watak dari hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat itu.

System komune-primitif (Urkomunismus, Urgemeinschaft) adalah sistem masyarakat sebelum masyarakat terbagi dalam kelas-kelas. Sistem pemilikan-budak, feodalisme dan kapitalisme merupakan berbagai bentuk masyarakat yang sudah terpecah dalam kelas-kelas, yang berdasarkan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi, berdasarkan pembudakan dan penghisapan Rakyat pekerja. Sosialisme adalah sistem masyarakat yang berdasarkan hak milik kemasyarakatan atas alat-alat produksi, masyarakat yang bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia.

Lebih lanjut dapat kita jelaskan sifat-sifat terpenting dari masing-masing sistem masyarakat tersebut sebagai berikut.

(A) SISTEM KOMUNE-PRIMITIF

Pada zaman purba, ratusan ribu tahun yang lalu, perkakas-perkakas produksi masih sangat sederhana dan kasar, masih primitif. Pada waktu itu belum dikenal perunggu dan besi, perkakas-perkakas masih dibuat dari batu. Dengan perkakas-perkakas batu yang kasar ini manusia memburu, menangkap ikan dan hidup sangat sederhana. Untuk melindungi diri terhadap binatang-binatang buas dan untuk tidak mati kelaparan, mereka harus hidup bersama-sama, dalam kelompok-kelompok, yaitu komune-komune. Memburu, menangkap ikan dan usaha-usaha lainnya untuk memelihara hidup mereka, semuanya dilakukan bersama, maka hasilnya juga mereka bagi bersama. Perkakas-perkakas produksi yang penting untuk kehidupan komune-komune itu bukan milik perseorangan, melainkan milik bersama, milik komune. Oleh sebab itu dalam masyarakat komune-primitif ini tidak ada orang kaya, tidak ada orang miskin, tidak ada orang yang menghisap orang lain, pendeknya masyarakat belum terbagi dalam kelas-kelas yang bermusuhan.

Pengalaman manusia dalam produksi makin bertambah dan bersamaan dengan itu perkakas-perkakas produksi dan cara-cara bekerja makin disempurnakan. Orang mulai mengenal logam dan belajar membuat perkakas-perkakas dari logam, tembaga, perunggu dan kemudian besi. Zaman beralih dari zaman perkakas batu ke zaman perkakas besi. Manusia maju dari kehidupan yang berdasarkan pemburuan pemeliharaan ternak dan bercocok-tanam. Dengan begitu mulai timbul pembagian kerja kemasyarakatan yang pertama, yaitu ada komune-komune yang terutama mengusahakan peternakan dan komune-komune lain yang mengusahakan pertanian. Mereka mulai menukarkan baranghasil-baranghasil mereka di antara mereka sendiri. Perbaikan dan kemajuan perkakas-perkakas produksi itu menyebabkan produktivitas kerja naik: manusia dapat menghasilkan barang-barang lebih banyak daripada yang diperlukan langsung untuk hidup. Manusia merasa tidak ada kebutuhan lagi untuk bekerja bersama-sama, karena dapat hidup dari kerjanya sendiri-sendiri. Ketua-ketua komune, yang dalam pertukaran barang-barang bertindak sebagai wakil komune, mulai menganggap milik bersama komune sebagai miliknya sendiri. Dengan demikian timbullah hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Ada anggota-anggota komune yang dengan berdasarkan hak milik perseorangan tersebut mulai memiliki hasil-hasil dari kerja anggota-anggota lain, artinya timbul penghisapan.

Jadi, penghisapan atas manusia oleh manusia timbul atas dasar peningkatan tenaga-tenaga produktif, pembagian kerja kemasyarakatan dan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Hal ini tak dapat dielakkan pada waktu itu karena “corak primitif dari produksi kolektif atau koperatif ini ………. merupakan akibat dari kelemahan individu dan bukan akibat dari permasyarakatan alat-alat produksi”.[32]

Masyarakat terbagi dalam kelas kaum penindas atau penghisap dan kelas kaum tertindas atau terhisap. Kepentingan kelas-kelas ini tidak dapat didamaikan. Kaum tertindas tidak mau terus-menerus membanting tulang untuk memperkaya kaum penindas, sedangkan mereka sendiri terus hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Pada pihak lain, kaum penindas dan penghisap berusaha keras untuk memperkuat dan mengabadikan kekuasaan mereka dan memperkeras penghisapan mereka atas Rakyat yang tertindas. Timbulnya masyarakat yang berkelas-kelas menandakan hancurnya masyarakat komune-primitif dan terjadilah perjuangan kelas yang sengit antara kelas penindas dengan kelas tertindas. Sejak saat itu “sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”.[33] perjuangan kelas menjadi kekuatan pokok yang mendorong perkembangan masyarakat.

Terbaginya masyarakat dalam kelas-kelas itu mengakibatkan timbulnya Negara. “Dalam masyarakat primitif ………. masih belum tampak tanda-tanda adanya Negara. Kita menemukan betapa besarnya kekuasaan adat-istiadat, otoritas, penghargaan, kekuasaan yang berada dalam tangan pengetua-pengetua clan; kita menemukan kekuasaan ini kadang-kadang diberikan kepada wanita – kedudukan wanita pada waktu itu tidak serupa dengan keadaan wanita dewasa ini, yaitu terendah dan tertindas – tetapi dimanapun juga kita tidak dapat menemukan suatu golongan orang-orang yang khusus, yang dipisahkan untuk memerintah orang-orang lain dan, untuk kepentingan dan tujuan memerintah, secara sistematis dan terus-menerus menggunakan suatu aparat pemaksa tertentu ……….”[34]. Tetapi susunan politik dari masyarakat primitif semacam itu tidak mungkin bertahan dalam masyarakat yang terbagi oleh perjuangan kelas-kelas yang kepentingan-kepentingannya tidak dapat didamaikan. Timbulnya Negara merupakan keperluan objektif. Negara “bukanlah suatu kekuasaan yang dipaksakan kepada masyarakat dari luar: ………. ia adalah hasil dari masyarakat pada suatu tingkat perkembangan yang tertentu, ia adalah pengakuan bahwa masyarakat ini telah terlibat dalam suatu kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia terbelah menjadi antagonisme- antagonisme tak terdamaikan yang tak mampu dienyahkan olehnya”.[36] Alat-alat Negara yang terpenting ialah tentara, polisi, pengadilan, penjara dan alat-alat pemaksa lainnya. Kelas-kelas yang berkuasa menggunakan Negara ini dengan alat-alatnya untuk mempertahankan susunan masyarakat yang memperkokoh kedudukan mereka

(B) SISTEM PEMILIKAN-BUDAK

Masyarakat berkelas yang pertama, yang berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia adalah masyarakat pemilikan-budak. Dalam masyarakat pemilikan-budak terdapat dua kelas pokok yang saling bermusuhan, yaitu tuan budak dan budak. Budak dimiliki sepenuhnya oleh tuan budak. Ia tidak lebih dari sebuah barang yang dapat diperjual-belikan dan bahkan dibunuh menurut kehendak tuannya. Produksi di dalam masyarakat pemilikan-budak didasarkan atas kerja kaum budak. Tuan budak dapat hidup mewah dan mempunyai waktu yang cukup untuk urusan-urusan Negara, kebudayaan dan kesenian. Dengan demikian terjadi perpisahan dan pertentangan antara kerja badan dengan kerja otak yang terus terdapat dalam semua masyarakat berkelas. Kerja badan dipandang hina dan hanya patut untuk Rakyat pekerja, sedangkan kerja otak menjadi hak eksklusif dari kelas-kelas yang berpunya.

Sistem pemilikan-budak ini adalah bentuk penghisapan terang-terangan yang paling kasar. Kaum budak tidak pernah rela menerima kedudukan mereka. Sepanjang sejarah masyarakat pemilikan-budak timbul pemberontakan-pemberontakan budak yang besar. Pemberontakan-pemberontakan inilah yang mengguncangkan kekuasaan tuan-budak dan akhirnya menyebabkan sistem pemilikan-budak diganti oleh sistem masyarakat yang lain. Tetapi kaum budak sendiri belum dapat menghapuskan sistem penghisapan atas manusia oleh manusia.

(C) SISTEM FEODAL

Masyarakat baru yang menggantikan masyarakat pemilikan-budak ialah masyarakat feodal. Masyarakat feodal terbagi dalam dua kelas pokok: kelas tuan tanah dan kaum tani. Tuantanah-tuantanah memiliki alat produksi terpokok pada waktu itu, yaitu tanah, maka untuk dapat hidup kaum tani harus menyewa tanah dari tuan tanah. Tani tidak merupakan milik sepenuhnya dari tuan tanah, ia mempunyai usaha tanahnya sendiri, maka ia bisa lebih mempunyai kemauan untuk bekerja daripada budak. Tetapi tani harus membayar sewa tanah yang berat kepada tuan tanah, karena itu bagian terbesar dari waktunya tidak digunakan buat bekerja untuk dirinya sendiri melainkan untuk tuan tanah. Jadi masih tetap berlaku penindasan kelas, dan kedudukan tani sering tidak banyak berbeda dari kedudukan budak. Sepanjang zaman feodal kaum tani berjuang melawan tuan tanah, kian lama perjuangan ini kian bertambah meruncing. Dalam sejarah tiap-tiap negeri terjadi pemberontakan-pemberontakan tani dan ada yang berlangsung hingga puluhan tahun. Pemberontakan-pemberontakan tani inilah yang melemahkan dasar-dasar feodalisme dan akhirnya mengakibatkan keruntuhan feodalisme itu. Tetapi kaum tani belum bisa mencapai kebebasan dari penghisapan. Hasil perjuangan revolusioner kaum tani dimiliki oleh kelas borjuis yang tumbuh pada akhir masyarakat feodal. Revolusi borjuis menyingkirkan sistem feodal dan menegakkan kekuasaan kapitalisme.

(D) SISTEM KAPITALIS

Di bawah kapitalisme masyarakat terbagi dalam kelas kapitalis atau borjuasi dan kelas buruh atau proletariat. Buruh bukan milik si kapitalis; buruh tidak dapat dibeli atau dijual. Ia nampaknya bebas, tetapi ia tidak mempunyai alat-alat produksi sama sekali sehingga terpaksa menjual tenaga kerjanya kepada pemilik alat-alat produksi, yaitu si kapitalis – pemilik pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan lain, dan ia harus bekerja membanting tulang supaya tidak mati kelaparan. Suatu grup kecil kaum penghisap mendapat laba besar, sedangkan massa pekerja makin lama makin banyak menderita kesengsaraan dan kemelaratan. Jadi, penghisapan atas Rakyat pekerja masih tetap berlangsung, walaupun bentuknya sudah berubah.

Di bawah sistem kapitalis produktivitas kerja sangat dipertinggi dan produksi mencapai perluasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pabrik dan perusahaan-perusahaan besar diperlengkapi dengan mesin-mesin dan memperkerjakan ribuan buruh. Pekerjaan tiap-tiap perusahaan, tiap-tiap cabang industri dan pertanian tidak dapat dipisahkan dari pekerjaan perusahaan-perusahaan dan cabang-cabang lain. Jika penggalian minyak bumi atau batu bara terhenti, maka ratusan perusahaan lain tidak bisa bekerja lagi; jika bahan-bahan mentah tidak datang pada waktunya, maka pabrik-pabrik tekstil, sepatu, dll. terpaksa berhenti bekerja.

Di dalam kapitalisme barang-barang hasil industri adalah hasil kerja masyarakat dan bukan hasil kerja orang seorang. Umpamanya, sepatu buatan pabrik bukanlah hanya hasil kerja dari buruh-buruh yang bermacam-macam keahliannya di dalam pabrik sepatu itu, tetapi juga hasil kerja dari buruh yang membuat mesin-mesin dan bahan-bahan mentah yang diperlukan untuk pembuatan sepatu itu. Maka dalam keadaan-keadaan yang demikian ini, alat-alat produksi dan juga barang-barang yang dihasilkan semestinya menjadi milik masyarakat. Tetapi dalam masyarakat kapitalis, alat-alat produksi seperti perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, tanah, dan juga barang-barang yang dihasilkannya bukan menjadi milik masyarakat melainkan milik perseorangan, milik kaum kapitalis.

Kaum kapitalis tidak memperdulikan kepentingan-kepentingan masyarakat. Mereka memproduksi dan menjual barang-barangnya hanya untuk mendapat laba. Untuk memperbesar labanya mereka memperluas produksi dan juga memperkeras penghisapan atas kaum buruh dengan menjalankan prinsip: jam kerja yang lebih lama dengan upah yang lebih rendah. Akibatnya, barang-barang yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik kapitalis itu jauh lebih banyak daripada yang mampu dibeli oleh pemakai pokok, yaitu massa Rakyat, sehingga menimbulkan krisis-krisis ekonomi kelebihan-produksi (over produksi). Untuk mempertahankan harga-harga yang tinggi, kaum kapitalis menghancurkan barang-barang mereka dan untuk sementara menghentikan produksi serta memecat buruh-buruhnya secara besar-besaran. Maka keadaan menjadi makin tak tertahankan: ribuan Rakyat menderita kelaparan, sedangkan kaum kapitalis membakar atau membuang ke laut barang-barang secara besar-besaran.

Jadi, hak milik perseorangan secara kapitalis atas alat-alat produksi ini mengakibatkan penghancuran kekayaan materiil yang sudah dihasilkan dan menyebabkan Rakyat pekerja menderita karena pengangguran dan upah yang rendah. Pertentangan antara watak kemasyarakatan daripada proses produksi dengan pemilikan perseorangan secara kapitalis atas alat-alat produksi dan hasil-hasil produksi itu merupakan pertentangan dasar dari cara produksi kapitalis. Pertentangan ini tidak bisa didamaikan dan satu-satunya jalan keluar dari keadaan ini ialah digantinya hak milik perseorangan secara kapitalis atas alat-alat produksi dengan hak milik kemasyarakatan, artinya: beralih dari sistem kapitalis ke sistem sosialis. Inilah yang dilaksanakan dengan revolusi sosialis.

(E) SISTEM SOSIALIS

Di dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi dimiliki bersama oleh masyarakat. Karena itu di dalam masyarakat sosialis tidak mungkin lagi ada orang-orang atau golongan-golongan yang dapat menggunakan alat-alat produksi itu untuk menghisap kerja orang lain. Hanya orang yang bekerja berhak makan. Oleh sebab itu sistem sosialis telah melenyapkan segala sistem dan bentuk penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia.

Tujuan produksi dalam masyarakat sosialis ialah untuk menjamin dipenuhinya secara maksimum kebutuhan materiil dan kultural yang semakin meningkat dari Rakyat pekerja. Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan terus-menerus meningkatkan dan menyempurnakan produksi sosialis di dalam dasar teknik yang setinggi-tingginya.

Pembagian hasil-hasil produksi dalam masyarakat sosialis dilaksanakan menurut prinsip: Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut hasil kerjanya. Masyarakat sosialis adalah tingkat pertama, tingkat rendah dari masyarakat Komunis. Dengan semakin majunya tenaga-tenaga produktif dan teknik produksi, masyarakat berangsur-angsur beralih ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu masyarakat Komunis. Pada tingkat itu hasil-hasil produksi sudah melimpah ruah dan pembagiannya dapat dilaksanakan menurut prinsip: Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut kebutuhannya.

***

Uraian yang singkat ini tentang berbagai tingkat perkembangan masyarakat memperlihatkan bahwa perpindahan dari tingkat satu ke tingkat yang lain berarti kemajuan lebih lanjut dari masyarakat manusia. Dalam arti ini dapat kita katakan bahwa masyarakat pemilikan-budak adalah lebih maju daripada masyarakat komune-primitif , masyarakat feodal lebih maju daripada masyarakat pemilikan-budak, masyarakat kapitalis lebih maju daripada masyarakat feodal, dan bahwa masyarakat sosialis adalah susunan masyarakat yang paling maju pada dewasa ini. Jika kita memeriksa keadaan masyarakat berbagai negeri di dunia ini, kita dapat mengkonstatasi ketidaksamaan tingkat perkembangan masyarakat di berbagai negeri itu. Walaupun dalam garis besarnya pada waktu sekarang hanya terdapat dua macam sistem ekonomi-dunia, yaitu kapitalisme dan sosialisme, tapi di berbagai negeri masih terdapat sisa-sisa yang kuat dari susunan-susunan masyarakat pra-kapitalis. Dari segi ini negeri-negeri tersebut merupakan negeri-negeri yang terbelakang. Sering kali kita jumpai orang-orang yang tidak suka mengakui hal ini, karena pengakuan itu dianggapnya sama dengan pengakuan bahwa Rakyat yang tinggal di negeri-negeri itu adalah lebih terbelakang secara antropologi-biologis daripada Rakyat di negeri-negeri yang susunan masyarakatnya lebih maju. Jadi, seakan-akan Rakyat di negeri-negeri maju merupakan manusia-unggul. Sesungguhnya pikiran semacam ini sama sekali tidak beralasan. Secara biologis, antropologis, semua manusia di dunia termasuk dalam satu jenis Homo Sapiens, sedangkan ketinggalan dalam perkembangan susunan kemasyarakatan selalu mempunyai sebab-sebab yang riil di dalam masyarakat manusia itu sendiri. Umpamanya, keterbelakangan masyarakat kita dengan jelas mempunyai akarnya di dalam penjajahan Belanda yang dijalankannya secara kejam, sehingga penghapusan segala sisa-sisa penjajahan itu membuka jalan yang nyata untuk memajukan masyarakat kita dan mengejar ketinggalan itu. Oleh sebab itu sikap kita seharusnya menutup-nutupi keterbelakangan kita dalam sistem masyarakat kita, tapi justru mencari akar dari keterbelakangan itu dan mengubahnya supaya masyarakat kita dapat lebih cepat maju menurut arah perkembangan masyarakat manusia.

7. Barang Dagangan dan Uang

Karena sistem ekonomi adalah dasar di dalam mana berdiri bangunan-atas politik, maka Marx mencurahkan perhatiannya yang terbesar pada studi tentang sistem ekonomi. Sebagaimana dikatakan oleh Marx dalam kata-pendahuluannya pada karyanya yang terbesar, Kapital, “tujuan terakhir dari karya ini ialah untuk menyingkapkan hukum ekonomi dari gerak masyarakat modern”, yaitu masyarakat kapitalis.

Cara produksi kapitalis yang timbul sebagai pengganti dari cara produksi feodal, didasarkan pada penghisapan atas kelas buruh-upahan oleh kelas kapitalis. Untuk memahami hakikat dari cara produksi kapitalis orang harus mengingat, pertama-tama dan terutama, bahwa dasar daripada sistem kapitalis ialah produksi barangdagangan (commodity); di bawah kapitalisme segala sesuatu mengambil bentuk barangdagangan dan prinsip membeli dan menjual berlaku dimana-mana. Marx menulis: “Kekayaan dari masyarakat-masyarakat dimana berlaku cara produksi kapitalis menyatakan dirinya sebagai ‘setumpukan besar barangdagangan’. Yang aturannya adalah suatu barangdagangan tunggal”.[36]

Barangdagangan dan produksi barangdagangan sudah ada jauh sebelum timbul kapitalisme, yaitu sudah ada ribuan tahun yang lalu. Tapi dalam kapitalisme produksi barangdagangan menjadi berkuasa dan universal. Pertukaran barangdagangan merupakan “hubungan yang paling biasa, fundamental, paling umum dan bersifat sehari-hari dari masyarakat borjuis (barangdagangan), hubungan yang ditemukan biliunan kali ……….”[37]

Walaupun barangdagangan itu merupakan sesuatu yang sangat biasa dan setiap orang pernah membeli atau menjual barang-dagangan, tapi jarang yang dapat menyelami lebih dalam hakikat yang tersembunyi di belakang pertukaran barangdagangan itu. Marx lah yang secara mendalam menganalisa gejala yang sangat sederhana ini dan “menyingkapkan semua kontradiksi (atau benih-benih semua kontradiksi) masyarakat modern”.[38]

Oleh karena itu, untuk memahami masyarakat kapitalis, memahami gejala-gejala ekonomi dalam masyarakat kapitalis, “’penyelidikan kita harus dimulai dengan menganalisa barangdagangan”.[39] Dalam analisa itu Marx menyempurnakan dan mengembangkan secara konsekuen teori nilai kerja yang dasar-dasarnya sudah diletakkan oleh Adam Smith dan David Ricardo.

Sebagaimana sudah diterangkan di muka, kerja manusia yang menghasilkan kekayaan materiil merupakan dasar bagi kelangsungan kehidupan masyarakat, baik pada masa masyarakat primitif maupun pada masyarakat modern sekarang. Tanpa kerja kekayaan materiil masyarakat tidak mungkin bertambah. Tapi tidak sejak semula barang-barang hasil kerja manusia itu merupakan barangdagangan. Dalam susunan ekonomi alamiah (natural economy) orang berproduksi bukan untuk pertukaran, tapi untuk konsumsi sendiri. Umpamanya, dalam ekonomi feodal, sebagian dari hasil kerja kaum tani dimiliki langsung oleh tuan tanah tanpa pertukaran, sedangkan sebagian lagi adalah untuk konsumsi tani sendiri.

Lain halnya dalam ekonomi barangdagangan. Produksi dan ekonomi barangdagangan terjadi dengan adanya pembagian kerja kemasyarakatan dan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Barang dagangan adalah barang, yang pertama, memenuhi suatu kebutuhan manusia, dan kedua, dihasilkan bukan untuk konsumsi sendiri akan tetapi untuk dijual.

Kegunaan sesuatu barang, sifat-sifatnya yang dapat memenuhi suatu kebutuhan manusia, membikin barang itu mempunyai suatu nilai-pakai (Gebrauchswert, use-value). Nilai-pakai itu dapat langsung memenuhi sesuatu kebutuhan orang seseorang, ataupun dapat merupakan alat produksi untuk membuat barang-barang materiil. Dalam perkembangan masyarakat, manusia terus-menerus menemukan sifat-sifat kegunaan yang baru pada barang-barang dan kemungkinan-kemungkinan baru para penggunanya. Dengan demikian jumlah nilai-pakai terus bertambah. Nilai-pakai merupakan isi materiil dari kekayaan, apapun bentuk sosialnya. Jadi, baik dalam ekonomi alamiah maupun dalam ekonomi barangdagangan, kekayaan materiil masyarakat selalu terdiri dari nilaipakai-nilaipakai. Di samping mempunyai sifat untuk memenuhi suatu kebutuhan, yaitu nilai-pakai, barangdagangan juga mempunyai suatu sifat lain, yaitu ia dapat dipertukarkan dengan barang (nilai-pakai) lain. Sifat ini dinamakan nilai-tukar. Nilai-tukar dinyatakan dalam perbandingan kuantitatif dari nilai-pakai jenis yang satu dengan nilai –pakai jenis yang lain. Jadi, barangdagangan di satu pihak mempunyai nilai-pakai, di pihak lain mempunyai nilai-tukar. Nilai-pakai dan nilai-tukar merupakan dua unsur dari barang-dagangan, yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Nilai-pakai adalah pembawa (Trager, depository) nilai-tukar, dan nilai-tukar menyandarkan dirinya pada nilai-pakai, dan menampakkan diri dalam jumlah nilai-pakai barangdagangan lainnya, pada tindak pertukaran. Pengalaman sehari-hari menunjukkan kepada kita bahwa berjuta-juta macam pertukaran yang berlangsung itu senantiasa mempersamakan satu macam nilai-pakai dengan macam-macam nilai-pakai lainnya. Apa yang menjadi dasar persamaan bagi pertukaran-pertukaran ini? Dasar ini tidak mungkin salah satu sifat alamiah dari barangdagangan, seperti beratnya, ukurannya, bentuknya dls. Sebab setiap pertukaran mesti terjadi antara dua macam barangdagangan yang berbeda nilai-pakainya, sebab kalau sama nilai-pakainya tidak ada gunanya pertukaran. Perbedaan nilai-pakai merupakan syarat mutlak dalam pertukaran.

Oleh sebab itu nilai-pakai bukan dasar persamaan melainkan dasar perbedaan dalam pertukaran. Praktek penghidupan sehari-hari juga membuktikan bahwa nilai-pakai tidak dapat menentukan besar-kecilnya nilai tukar. Misalnya, besi mempunyai lapangan penggunaan yang jauh lebih banyak daripada emas, sehingga dari sudut ini besi dapat dikatakan lebih berguna bagi manusia. Tapi nilai-tukar besi adalah jauh lebih rendah daripada emas. Lagipula, sesungguhnya nilai-pakai besi dan nilai-pakai emas tidak dapat diperbandingkan karena kegunaannya memang lain-lain.

Jadi, apa yang merupakan persamaan dalam barangdagangan-barangdagangan yang dipertukarkan? Semua barangdagangan mempunyai satu sifat sama yang memungkinkan barangdagangan-barangdagangan itu dibandingkan dan dipersamakan satu sama lain dalam pertukaran, yaitu semuanya adalah hasil kerja. Dasar persamaan dua barangdagangan yang ditukarkan satu sama lain adalah kerja kemasyarakatan yang diperlukan untuk memproduksinya. Dengan perkataan lain, jumlah kerja manusia yang terkandung di dalam barangdagangan merupakan faktor yang menentukan besar atau kecilnya nilai-tukar barangdagangan. Kalau emas lebih mahal daripada besi, maka ini bukanlah karena sifat alamiahnya, bukan karena kilauan keemasannya, melainkan karena jumlah kerja manusia yang terkandung dalam emas itu lebih banyak daripada yang terkandung dalam besi.

Dengan demikian jelaslah, bahwa nilai-tukar tak lain daripada bentuk pernyataan dari nilai barangdagangan yang dibentuk oleh kerja manusia yang terwujud dalam barangdagangan. Kerja ini adalah kerja abstrak. Dengan pengertian kerja abstrak Marx mengintrodusikan suatu kategori baru dalam ilmu ekonomi politik. Semua ahli-ekonomi sebelum Marx, a.l. Adam Smith dan David Ricardo, hanya bicara tentang “kerja” ketika menjawab masalah tentang apa yang menentukan nilai. Tapi penyederhanaan ini menyebabkan tidak dipahaminya produksi barangdagangan dan nilai sebagai fenomena-fenomena (gejala-gejala) historis, yaitu bahwa produksi barangdagangan dan nilai baru itu timbul pada tingkat perkembangan sejarah yang tertentu. Dengan demikian timbul kesan sekan-akan setiap barang dalam keadaan apapun mempunyai nilai, karena dibuat dengan kerja, Marx membuka kekeliruan jalan pikiran ini. Ia menunjukkan bahwa bukan saja barangdagangan mempunyai watak-rangkap, yaitu di satu pihak nilai-pakai dan di pihak lain nilai-tukar arau nilai, tapi juga kerja yang membuat barangdagangan itu adalah berwatak-rangkap. Jenis-jenis kerja adalah sama aneka-ragamnya seperti nilai-nilai pakai yang dihasilkannya. Kerja tukang-kayu secara kualitatif berbeda dengan kerja tukang-jahit, tukang sepatu, dsb. Kerja itu berbeda dalam tujuan, cara, alat-alat dan sudah tentu, hasil-hasilnya. Maka dalam setiap nilai-pakai terkandung jenis kerja tertentu: dalam sebuah meja (kerja tukang-kayu), dalam sepasang pakaian (kerja tukang-jahit), dalam sepasang sepatu (kerja tukang-sepatu) dsb. Kerja yang dicurahkan dalam bentuk tertentu adalah kerja konkret. Kerja konkret menghasilkan nilai-pakai barangdagangan.

Bersamaan dengan itu, produsen-produsen barangdagangan tersebut melakukan kerja yang merupakan pemakaian produktif dari otak manusia, urat-syaraf, dsb., dan dalam artian ini telah melakukan kerja manusia yang seragam, kerja pada umumnya. Kerja daripada produsen-produsen barangdagangan, dipandang sebagai pemakaian tenaga kerja manusia pada umumnya, tanpa memperhatikan bentuk konkretnya adalah kerja abstrak. Kerja abstrak membentuk nilai dari barangdagangan.

Kerja abstrak dan kerja konkret adalah dua segi dari kerja yang terwujud dalam barangdagangan. “Disatu pihak, segala kerja, bicara secara fisiologis, adalah pemakaian tenaga kerja manusia, dan dalam wataknya sebagai kerja manusia abstrak yang identik, ia menciptakan dan membentuk nilai guna barangdagangan-barangdagangan. Di pihak lain, segala kerja adalah pemakaian tenaga kerja manusia dalam bentuk khusus dan dengan tujuan tertentu, dan dalam hal ini, dalam wataknya sebagai kerja berguna yang konkret, ia menghasilkan nilai-nilai pakai”.[40]

Kerja abstrak bukan hanya suatu kategori fisiologis, melainkan juga kategori kemasyarakatan. Produsen barangdagangan, sebagai pemilik perseorangan atas alat-alat produksinya, mula-mula melakukan kerja konkret untuk membuat barang hasilnya, misalnya meja. Kerja ini adalah kerja perseorangannya, sebab kerja ini dilakukan lepas dari masyarakat. Tapi berdasarkan pembagian kerja kemasyarakatan, barang hasil si produsen itu adalah untuk dipertukarkan, maka kerja dia adalah sekaligus kerja kemasyarakatan, yaitu sebagian dari seluruh jumlah kerja masyarakat. Ini menentukan bahwa dia harus menukarkan barang hasil-hasilnya dengan barang hasil-hasil lain. Dan supaya dapat terus berdiri sebagai produsen barangdagangan, ia harus mendapatkan kembali dari pertukaran sejumlah kerja sebanyak yang ia curahkan dalam membuat barang hasilnya. Untuk dapat mempersamakan jumlah kerja yang terkandung dalam macam-macam barang yang dihasilkan oleh kerja konkret yang bermacam-macam, maka bentuk konkret dari kerja harus ditinggalkan dan kerja hanya dipandang sebagai pemakaian tenaga kerja manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, dalam syarat-syarat produksi perseorangan, kerja kemasyarakatan bersifat kerja abstrak, jadi kerja abstrak adalah kerja kemasyarakatan yang dilakukan oleh produsen-produsen barangdagangan perseorangan. Dalam kerja abstrak itu terwujud hubungan-hubungan kemasyarakatan di antara produsen-produsen barangdagangan perseorangan. Maka Marx menanamkan nilai sebagai hubungan kemasyarakatan, hubungan antara produsen-produsen (orang-orang) tapi yang tersembunyi di belakang hubungan antara barang-barang.

Watak kemasyarakatan dari nilai juga nampak dalam penentuan besarnya nilai. Besarnya nilai sesuatu barangdagangan ditentukan oleh waktu-kerja. Semakin banyak waktu-kerja yang diperlukan untuk memproduksi sesuatu barangdagangan, semakin tinggi nilainya. Apakah ini berarti bahwa semakin malas pekerja, maka semakin tinggi nilai barangdagangan yang diproduksinya? Tidak, bukan demikian artinya. Besarnya nilai sesuatu barangdagangan ditentukan bukan oleh waktu-kerja individual yang dicurahkan untuk memproduksi sesuatu barangdagangan, akan tetapi oleh waktu kerja-perlu-sosial (gesellschaftlich notwendige Arbeitszeit, socially necessary labour time). Waktu kerja-perlu-sosial adalah wwaktu yang diperlukan untuk pembuatan sesuatu barangdagangan dalam syarat-syarat produksi kemasyarakatan yang rata-rata, yaitu dengan tingkat teknik rata-rata, kecakapan rata-rata dan intensitas kerja rata-rata.

Oleh sebab itu nilai bukan sifat materiil melainkan sifat kemasyarakatan dari barangdagangan. Tetapi nilai barangdagangan tidak dapat dilihat pada barangdagangan itu sendiri. Nilai itu hanya dapat menampakkan diri melalui perbandingan barangdagangan itu dengan barangdagangan-barangdagangan lainnya, dalam proses pertukaran, yaitu nilai-tukar atau bentuk-nilai (form of value).

Marx menunjukkan bahwa bersamaan dengan produksi barangdagangan bentuk-nilai atau nilai-tukar itu juga berkembang dan sebagai hasil dari perkembangan itu timbullah bentuk uang sebagai pernyataan nilai. Dengan menganalisa perkembangan bentuk-nilai, Marx dapat menjelaskan hakikat dan fungsi-fungsi daripada uang.

Bentuk-nilai yang paling sederhana ialah dinyatakannya nilai sesuatu barangdagangan dengan barangdagangan lain, umpamanya : 1 kapak = 20 kg padi

Di sini nilai kapak dinyatakan dengan padi. Padi berlaku sebagai cermin-nilai, sebagai alat untuk menyatakan nilai dari kapak. Atas pertanyaan: berapa nilai satu kapak? Maka jawabnya ialah: 20 kg. padi. Barang dagangan yang menyatakan nilainya dalam barangdagangan yang lain (dalam contoh di dalam: kapak) berada dalam bentuk-nilai nisbi (relatif form of value) dan barangdagangan yang nilai-pakainya dipakai untuk menyatakan nilai barangdagangan yang lain (dalam contoh di dalam: padi) berada dalam bentuk tara daripada nilai (equipvalent form of value).

Padi adalah tara (equivalent) dari barangdagangan lain, yaitu kapak. “Setiap barangdagangan terpaksa untuk memilih beberapa barangdagangan lain sebagai taranya, dan untuk menerima nilai-pakai, artinya berntuk badaniah dari barangdagangan lain itu sebagai bentuk dari nilainya sendiri”.[41]

Persamaan tersebut di dalam bukan saja secara teoritis tapi juga secara historis adalah yang paling sederhana dan paling primitif. Benruk nilai sederhana itu terjadi pada waktu pertukaran belum teratur dan bersifat kebetulan. Dalam setiap tindak pertukaran pada tingkat perkembangan waktu itu harus ditemukan pernyataan nilai yang baru.

Ketika pembagian kerja kemasyarakatan dan bersamaan dengan itu, produksi barangdagangan berkembang, ketika sudah menjadi biasa untuk mempertukarkan barang hasil yang satu dengan barang hasil yang lain, maka manusia sudah mengenal lebih banyak jenis barangdagangan yang dapat menyatakan nilai baranghasil-baranghasil mereka. Umpamanya:

1 ekor domba = 40 kilogram padi, atau 20 meter kain, atau 2 kapak, atau 3 gram emas, dsb.

Marx menamakan persamaan ini bentuk-nilai keseluruhan atau diperluas (totale oder entfaltete Wertform, total or expanded form of value). Dalam hal ini nilai barangdagangan dinyatakan dalam nilai-pakai bukan dari atu barangdagangan akan tetapi dari jumlah barangdagangan, yang semuanya dapat menjadi tara (equivalent).

Pada tingkat perkembangan produksi barangdagangan yang lebih tinggi, maka akhirnya setiap barangdagangan dapat dinyatakan nilainya dalam jumlah tertenu dari satu macam barangdagangan yang umum diterima. Pertukaran langsung suatu barangdagangan dengan barangdagangan lain menimbulkan kesulitan, karena penjual kapak misalnya tidak memerlukan padi tapi kain. Di sini nampak pertenatngan dari produksi barangdagangan, pertentangan mana terwujud dalam hal bahwa para produsen ketika membuat baranghasil-baranghasilnya melakukan kerj aperseorangan yang sekaligus adalah kerja kemasyarakatan, yaitu kerja untuk masyarakat. Maka terjadi tara umum.

40 kilogram padi, atau 20 meter kain, atau 2 kapak, atau 3 gram emas, dsb. = 1 ekor domba

Dalam bentuk-nilai umum ini (allgemeine Wertform, general form of value) domba berfungsi sebagai tara umum (allgemeines Aquivalent, universal equivalent). Tetapi barangdagangan yang berfungsi sebagai tara umum belum tetap, masih berbeda-beda di berbagai tempat dan pada waktu yang berlainan.

Akhirnya terbentuk tara umum yang tidak lagi berubah menurut waktu dn tempat. Tejadilah bentuk-uang sebagai hasil tertinggi dari perkembangan bentuk-bantuk nilai. Karena sifat-sifatnya yang paling sesuai, maka logam-logam mulia (emas dan perak) dapat manjalankan tugas kemasyarakatan sebagai tara umum. Emas dapat menjadi uang, karena emas itu sendiri barangdagangan mempunyai nilai sebagaimana setiap barangdagangan lainnya.

Marx menunjukkan bahwa fungsi terpenting dari uang ialah sebagai pertukaran ukuran nilai (Masz der Werte, measure of value). Tetapi bersamaan dengan itu, karen sekarang ini nilai setiap barangdagangan dapat dinyatakan dengan uang, uang itu menjadi ukuran harga. Maka harga adalah tidak alin daripada nilai barangdagangan yang dinyatakan dengan uang.

Melalui perkembangan bentuk-bentuk nilai Marx telah menunjukkan bahwa uang terjadi secara historis sebagai hasil proses perluasan ekonomi barangdagangan “Uang adalah kristal yang terbentuk akibat keharusan dari proses pertukaran-pertukaran, dimana berbagai-berbagai barang hasil kerja secara praktis dipersamakan satu sama lain dan dengan demikian oleh praktek diubah menjadi barangdagangan. Kemajuan sejarah dan perluasan pertukaran mengembangkan kontrast, yang latent di dalam barangdagangan, antara nila-pakai dengan nilai. Keharusan untuk memberikan pernyataan extern kepada kontrast ini untuk tujuan pergaulan komersial, mendorong kepada terbentuknya bentuk-nilai yang berdiri-sendiri, dan tidak berhenti dampai akhirnya ia mendapat kepuasan dengan diferensiasi barangdagangan-barangdagangan menjadi barangdagangan dan uang”.[42] Marx juga membantah pendapat yang salah dari ahli-ahli ekonomi borjuis yang menyatakan, seakan-akan uang itu suatu penemuan genial yang mempermudah pertukaran. Pendapat yang hanya melihat uang sebagai alat penukar dan tidak memahaminya sebagai barangdagangan lainnya sebagai tara umum, masih seing kita jumpai. Misalnya, kerapkali disebut contoh Robinson Crusoe yang terdampar disuatu pulau. Dipulau itu Robinson lebih menghargai sebilah pisau daripada setumpuk emas. Ini dipakai sebagai bukti bahwa uang hanya berguna sebagai alat penukar. Baik kita periksa pokok pikiran ini.

Pertama, uang adalah hasil dari suatu proses sosial. Untuk menjelaskan pengertian uang dengan suatu contoh peristiwa yang hipotetis dan lepas dari masyarakat, merupakan usaha yang sangat dangkal.

Kedua, bagi Robinson dipulau yang terpencil itu pisau dan emas merupakan dua macam niali-pakai dan tidak ada masalah nilai, karena nilai adalah hanya suatu kategori dalam ekonomi barangdagangan.

Ketiga, jika Robinson tidak berada dipulau yang terpencil tiu, tapi ditengah-tengah masyarakat Inggris yang kapitalis, ia akan melihat pada sebilah pisau dansetumpuk emas itu bukan sebagai dua macam niali-pakai, tapi sebagai dua jumlah (magnitudes) nilai dan mendapatkan bahwa nilai setumpuk emas jauh lebih besar daripada nilai sebilah pisau. Dan nilai emas ditengah-tengah pasar Inggris yang ramai itu sembarang waktu dapat berubah bentuk-materiilnya menjadi makanan, pakaian, barang hiasan dls. Jadi soalnya bukan bahwa emas disuatu pulau terpencil menjadi kurang berharga daripada dimasyarakat Inggris; nilai-pakainya tetap sama tidak berubah. Tapi soalnya ialah bahwa dipulau terpencil itu emas bukan barangdagangan, hanya nilai-pakai saja, sedangkan dalam masyarakat Inggris emas adalah barangdagangan dan lagi barangdagangan yang berfungsi sebagai tara umum. Fungsinya sebagai alat penukar atau alat peredaran diakibatkan oleh fungsinya sebagai ukuran nilai, diakibatkan oleh kenyataan bahwa barangdagangan hanya dapat menyatakan nilainya dengan barangdagangan lain,. Jadi bukan sebaliknya, bahwa “nilai” emas diakibatkan oleh fungsinya sebagai alat penukar.

Walaupun pada waktu sekarang tidak ada satu negeripun yang masih menggunakan uang emas, dan hanya uang kertas yang beredar, tapi ajaran Marx tentang asal-usul dan hakikat uasng masih tetap berlaku.

Uang kertas sendiri tidak mempunyai nilai, ia hanya mewakili sejumlah nilai. Tapi di negeri-negeri kapitalis uang itu seakan-akan telah lepas sama sekali dari barangdagangan, ia mengalami existensinya sendiri, bahkan mendapatkan kekuaaan yang luar biasa atas manusia. Padahal uang adalah hasil dari hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu antara produsen-produsen barangdagangan.

8. Kapital dan Nilai-lebih

Ekonomi politik Marxis tidak hanya mengatasi keterbatasan ekonomi klasik borjuis dalam teori nilainya dan teori uangnya. Baik Adam Smith maupun David Ricardo terbentur pada jalan buntu ketika hendak menjelaskan hubungan antara kapital dengan kerja dan tentang asal-usul nilai-lebih. Dalam suratnya kepada seorang ahli-ekonomi Inggris J. R. Mc. Culloch (1789-1864), Ricardo menulis: “Saya tidak puas dengan menjelaskan saja mengenai asas-asas yang menguasai nilai. Saya harap akan ada seorang manusia yang lebih cakap daripada saya, yang dapat menyelesaikannya”. Dan ternyata Karl-Marxlah, bersama dengan Friedrich Engels, yang beberapa puluh tahun sesudah wafatnya Ricardo dapat memberikan penyelesaiannya. Sebabnya ialah karena Marx dan Engels dapat menembus keterbatasan pendirian kelas Burjuis yang menganggap kapitalisme sebagai susunan ekonomi yang tertinggi, terakhir dan abadi. Dengan menempatkan diri pada pendirian kelas yang sedang tumbuh dan maju, yaitu kelas proletar, Marx dan Engels dapat mengupas sifat historis dari kategori-kategori ekonomi dari kapitalisme dan melahirkan ekonomi politik yang bukan saja mengatasi keterbatasan ekonomi klasik borjuis tapi juga menjadi senjata untuk mengatasi kapitalisme itu sendiri. Dan yang telah menyingkapkan “rahasia” penghisapan kapitalis ialah teori nilai-lebih dari Marx dan Engels. Oleh karena itu, Lenin menamakan ajaran tentang nilai-lebih sebagai batu-alas dari teori ekonomi Marx.

Untuk menjelaskan pokok-pokok dari teori nilai-lebih ini kita mulai dengan sedikit penjelasan tentang kapital.

Pada tingkat tertentu dari perkembangan produksi barangdagangan, uang berubah menjadi kapital. Uang itu sendiri (ansich) bukan kapital. Misalnya, bagi produsen-produsen kecil barangdagangan yang hidup dari penjualan baranghasil-baranghasil mereka, uang berperanan sebagai alat peredaran dan bukan sebagai kapital. Rumus peredaran barangdagangan ialah B ~ U ~ B (Barang dagangan ~ Uang ~ Barang Dagangan), yaitu menjual barangdagangan guna membeli barangdagangan yang lain. Ini berarti nilai-pakai yang satu ditukar dengan nilai-pakai yang lain. Jadi tujuan dari proses peredaran adalah nilai-pakai.

Tapi uang menjadi kapital bila dipergunakan untuk menghisap kerja orang lain. Rumus umum kapital ialah U ~ B ~ U, yaitu membeli guna menjual (dengan untung). Di sini awal dan akhir proses adalah sama: uang (nilai). Oleh sebab itu gerak kapital ini tak akan nada artinya jika jumlah uang pada akhir proses masih tetap sama dengan jumlah uang pada awalnya. Seluruh arti dari aktivitas kapitalis terletak dalam hal bahwa sebagai akibat operasi itu ia mempunyai lebih banyak uang daripada yang dimilikinya pada permulaan. Jadi, tujuan proses peredaran di sini ialah bertambahnya nilai. Maka rumus umum kapital dalam bentuk lengkapnya U ~ B ~ U’ (U’ = U + u).

Apakah sumber pertambahan kapital ini? Pertambahan ini tidak dapat timbul dari peredaran barangdagangan, sebab itu hanya pertukaran barang-barang yang senilai. Pertambahan itu juga tidak dapat terjadi dari kenaikan harga, sebab untung yang diperdapat sebagai penjual akan hilang sebagai kerugian yang diderita sebagai pembeli. Sedangkan yang kita persoalkan bukan gejala individual, tapi gejala sosial, rata-rata dan massal. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, pertambahan kapital diperoleh oleh seluruh kelas kapitalis.

Teranglah, pemilik uang, untuk menjadi seorang kapitalis, harus mendapatkan di pasar suatu barangdagangan yang bila dipergunakan (dikonsumsikan) dapat menciptakan nilai yang lebih besar daripada nilai barang itu sendiri. Dengan perkataan lain, pemilik uang harus “mendapatkan di pasar suatu barangdagangan yang nilai-pakainya memiliki sifat khas sebagai sumber nilai”.[43]

Dan memang ada barangdagangan semacam itu, yaitu tenaga-kerja manusia. Dengan menunjukkan bahwa buruh menjual kepada kaum kapitalis bukan kerja melainkan tenaga kerja, Marx telah memecahkan masalah yang menyebabkan ekonomi politik klasik masuk dalam jalan buntu. Ini “bukanlah soal main sulap dengan kata-kata belaka melainkan salah satu dari hal yang terpenting dalam seluruh ekonomi politik”.[44]

Marx juga menunjukkan bahwa baru dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan yang tertentu, hubungan-hubungan kapitalis, tenaga kerja menjadi barangdagangan, yaitu, setelah terdapat pekerja-pekerja yang “bebas” dalam dua arti. Arti yang pertama, bebas dari segala keterikatan feodal, sehingga ia bebas pribadinya dan bebas untuk menjual tenaga kerjanya. Arti yang kedua, bebas dari tanah dan segala alat produksi, sehingga sebagai “proletar” (orang tak bermilik) ia tadk dapat hidup kecuali dengan menjual tenaga kerjanya.

Penggunaan atau pengkonsumsian daripada tenaga kerja berarti kerja, dan kerja menciptakan nilai. Pemilik uang membeli tenaga kerja menurut nilainya. Nilai tenaga kerja, sebagaimana nilai setiap barangdagangan lainnya, ditentukan oleh waktu-kerja-perlu-sosial yang dibutuhkan bagi produksinya, yaitu ongkos untuk memelihara buruh dan keluarganya. Jadi nilai tenaga kerja yang dibayarkan sebagai upah kepada kaum buruh (dalam kenyataannya upah pada umumnya lebih rendah daripada nilai tenaga-kerja) ditentukan oleh faktor-faktor yang sama sekali tidak ada hubungan langsung dengan kerja yang akan dihasilkan oleh tenaga kerja itu. Maka nilai yang diciptakan dalam proses penggunaan tenaga kerja dan nilai tenaga kerja adalah dua jumlah (magnitudes) yang sama sekali berbeda. Selisih di antara dua jumlah itu merupakan syarat mutlak bagi penghisapan kapitalis, sebab selisih itulah menghasilkan nilai-lebih (surplus-value. Mehrwert – m)

Misalnya, pemilik-uang, setelah membeli tenaga kerja, berhak menggunakannya. Yaitu, ia memperkerjakan buruh dalam pabrik selama satu hari kerja yang lamanya, katakanlah, 8 jam. Tapi kalau buruh sudah bekerja tiga jam (waktu-kerja-perlu), ia sudah menghasilkan produk yang cukup untuk menutupi ongkos penghidupannya. Artinya, dalam tiga jam itu ia sudah menghasilkan nilai baru sebesar nilai tenaga kerjanya. Maka dalam lima jam berikutnya (waktu-kerja-lebih) ia menciptakan hasil-lebih atau nilai-lebih yang tidak dibayar oleh si kapitalis. Dengan demikian si kapitalis telah mencapai tujuan yang dikehendakinya dengan membeli tenaga kerja.

Teori tentang nilai-lebih ini memberi kemungkinan untuk secara exact menentukan isi ekonomi dari kategori “upah-kerja”. Ahli-ahli ekonomi borjuis menganggap upah sebagai nilai-kerja. Pengertian ini adalah keliru “Kerja adalah zat (substance) dan ukuran yang immanen dari nilai, tapi kerja itu sendiri tidak punya nilai”.[45]Kalau kerja menjadi ukuran bagi semua nilai, maka “nilai kerja” hanya dapat dinyatakan dengan kerja saja. Tapi kita tidak akan mengetahui apa-apa tentang nilai dari kerja sejam, kalau kita hanya tahu bahwa nilai itu sama dengan kerja sejam. Ini berarti kita bergerak dalam lingkaran yang tidak ada ujung-pangkalnya. Tetapi kesukaran ini hilang-lenyap kalau kita ketahui bahwa buruh tidak menjual kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Maka upah adalah tak lain daripada bentuk-terubah dari nilai atau harga tenaga kerja sebagai barangdagangan. Dengan kata-kata lain, upah-kerja adalah nilai tenaga kerja yang dinyatakan dengan uang.

Ajaran ekonomi Marxis telah menganalisa lebih dalam pengertian “kapital”. Menurut ahli-ahli ekonomi borjuis, kapital itu adalah alat-alat produksi atau sejumlah uang tertentu. Pengertian semacam ini sama sekali menyembunyikan hakikat penghisapan kapitalis atas kaum buruh. Karena dalam sistem masyarakat apa saja akan tetap diperlukan alat-alat produksi, maka pengertian “kapital” seperti yang tersebut di atas mengandung arti bahwa kapital adalah syarat abadi bagi kehidupan setiap masyarakat manusia.

Sesungguhnya, alat-alat produksi hanya menjadi kapital pada tingkat tertentu dari perkembangan sejarah, bilamana alat-alat produksi itu merupakan ilik perseorangan kapitalis dan menjadi alat untuk menghisap kerja-upahan.

Dalam masyarakat sosialis, alat-alat produksi menjadi milik masyarakat dan tidak mungkin lagi digunakan untuk menghisap kerja orang lain. Jadi, kapital bukanlah suatu barang, tapi suatu hubungan kemasyarakatan di antara manusia-manusia di dalam proses produksi dan yang secara historis bersifat sementara.

Kapital adalah nilai yang , melalui penghisapan atas kerja-upahan, menghasilkan nilai-lebih, adalah “kerja mati yang bagaikan vampir hanya hidup dengan menghisap kerja-hidup, dan menjadi semakin hidup, semakin banyak ia menghisap kerja”.[46]

Di dalam kapital terwujud hubungan produksi antara kelas kapitalis dengan kelas buruh: kelas kapitalis sebagai pemilik alat-alat dan syarat-syarat produksi menghisap buruh-upahan yang menciptakan nilai-lebih untuk mereka. Hubungan produksi ini, seperti halnya dengan semua hubungan produksi lainnya dari masyarakat kapitalis, mengambil bentuk sebagai hubungan di antara barang-barang, dan tampak seolah-olah adalah sifat barang-barang – alat-alat produksi – itu sendiri untuk menghasilkan pendapatan bagi si kapitalis. Di sini terletak watak fetisisme dari kapital: alat-alat produksi (atau sejumlah uang yang dapat dipakai untuk membeli alat-alat produksi) seakan-akan mempunyai sifat ajaib dapat memberi pendapatan yang teratur tanpa-kerja bagi pemiliknya. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa kapital mempunyai dua arti, yaitu pertama, kapital mempunyai jabatan dalam produksi, kapital adalah faktor produksi, dan dalam arti ini dinyatakan bahwa kapital akan selalu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Kedua, kapital merupakan pokok pendapatan yang memberi penghasilan kepada orang yang memilikinya. Dalam arti ini, demikian anggapan orang itu, kapital hanya terdapat dalam masyarakat kapitalis, tidak dalam masyarakat sosialis. Dalam masyarakat sosialis kapital itu menjadi pokok pendapatan bagi seluruh masyarakat, demikian pendapatnya. Pandangan ini sama sekali bertentangan dengan pengertian Marxis tentang kapital dan hakikatnya menutup hubungan penghisapan yang dinyatakan oleh kapital. Sebab, faktor produksi dalam setiap bentuk masyarakat adalah alat-alat produksi, dan hanya pada bentuk masyarakat yang tertentu, yaitu masyarakat kapitalis, alat-alat produksi itu “berbaju” kapital. Kedua, dengan menganggap kapital sebagai sesuatu yang “memberi penghasilan”, maka diingkari sepenuhnya peranan kerja sebagai satu-satunya sumber nilai, jadi tidak disinggung-singgungnya penghisapan kapitalis terhadap tenaga-upahan.

Berhubung dengan analisa tentang sumber nilai-lebih itu, Marx menunjukkan bahwa dilihat dari peranannya dalam proses produksi, kapital terbagi dalam dua bagian. Bagian kapital yang terdapat dalam bentuk alat-alat produksi (mesin-mesin, perlengkapan-perlengkapan, bahan-bahan mentah dls.) tidak berubah besar nilainya di dalam proses produksi, nilainya hanya dipindahkan sekaligus atau sebagian-sebagian ke dalam barang hasil jadi. Oleh sebab itu Marx menamakan bagian kapital ini kapital konstan (constant capital – c) atau kapital tak berubah. Bagian lain dari kapital dikeluarkan untuk membeli tenaga kerja. Bagian ini berubah menjadi tambah besar nilainya di dalam proses produksi, karena buruh menciptakan nilai-lebih. Maka bagian ini disebut oleh Marx kapital variable (variable capital – v) atau kapital berubah.

Dalam ajaran ekonomi borjuis hanya dikenal satu macam pembagian dari kapital, yaitu kapital-tetap (fixed capital) dan kapital-beredar (circulating capital). Pembagian ini didasarkan pada cara perputaran kapital.

Kapital-tetap adalah bagian dari kapital produktif yang, meskipun mengambil bagian sepenuhnya dalam produksi, nilainya tidak sekaligus berpindah kepada barang hasil tapi sebagian demi sebagian, selama masa serentetan periode-periode produksi. Ini adalah bagian kapital yang dipergunakan untuk mendirikan gedung-gedung dan untuk pembelian mesin-mesin dan perlengkapan. Sedangkan kapital-beredar adalah bagian dari kapital produktif yang selama satu masa produksi nilainya dikembalikan sepenuhnya kepada kaum kapitalis dalam bentuk uang ketika barangdagangan-barangdagangan sudah direalisasi. Ini adalah bagian kapital yang dipergunakan untuk membeli tenaga-kerja dan semua alat produksi yang tidak masuk dalam kapital-tetap (bahan mentah, bahan bakar dll.).

Cara pembagian kapital ini (fixed and circulating) tidak memperlihatkan peranan tenaga kerja dalam menciptakan nilai-lebih, tapi sebaliknya menutup sama sekali perbedaan fondamental antara pengeluaran kapitalis untuk menyewa tenaga kerja dan pengeluarannya untuk bahan mentah, bahan bakar, dls.

Karena, sebagaimana dijelaskan di dalam, hanay tenaga kerja yang dapat menciptakan nilai baru, maka sesungguhnya untuk menyatakan derajat pebghisapan ikeh kapital atas tenaga kerja, nilai-lebih tidak seharusnya diperbandingkan dengan seluruh kapital melainkan hanya dengan kapital variabel. Marx menyebut perbandingan perbandingan ini tingkat nilai-lebih (rate of surplus value) dan secara rumus adalah m’ = m/v. jadi, dalam hal kaum buruh bekerja dipabrik selama 8 jam sehari, tetapi dalam waktu 3 jam sudah menghasilkan produk yang cukup untuk menutupi ongkos penghidupannya, maka m’ = 5/3 x 100% = 1662/3% (derajat penghisapan). Bagi kapitalis, nampaknya, seluruh kapital menghasilkan labanya, maka tingkat laba (rate of profit) dihitungkan sebagai perbandingan laba dengan seluruh kapitalnya. Umpamanya, kapital adalah 100, yang terbagi dalam c = 80 dan v = 20 dan nilai-lebihnya m = 20, maka tingkat laba hanya 20/100 x 100% = 20%, padahal tingkat nilai-lebih adalah 20/20 x 100% = 100%. Dalam hubungan dengan pengertian derajat penghisapan kapitalis ini, kita sering menjumpai pandangan keliru dalam masyarakat yang menganggap bahwa buruh di dalam perusahaan nasional mengalami penghisapan yang lebih berat daripada di dalam perusahaan modal besar asing. Karena kata mereka, upah buruh dalam perusahaan nasional jauh lebih rendah daripada dalam perusahaan asing. Orang-orang itu melupakan bahwa nilai-lebih yang dihisap oleh modal monopoli asing itu jauh lebih tinggi daripada nilai-lebih yang dapat diperoleh oleh perusahaan-perusahaan nasional. Sehingga jika kita perhitungkan tingkat nilai-lebihnya, maka derajat penghisapan atas kaum buruh dalam perusahaan asing jauh lebih besar daripada dalam perusahaan nasional. Di samping itu, modal monopoli asing itu justru merupakan rintangan yang berat bagi perkembangan perusahaan-perusahaan nasional itupun dengan jalan ini atau itu karena penghisapan oleh modal monopoli asing.

Tujuan langsung produksi kapitalis adalah produksi nilai-lebih. Bagi kapitalis kerja produktif berarti kerja yang menciptakan nilai-lebih. Jika kerja buruh tidak menciptakan nilai-lebih kerjanya merupakan kerja tidak-produktif dan tidak berguna bagi kapital. Nilai-lebih menjadi sumber bersama dari pendapatan tanpa-kerja dari berbagai golongan kelas borjuis: kaum industrialsi, pedagang dan bankir dan juga kelas pemilik-tanah.

Produksi nilai-lebih merupakan hukum ekonomi pokok bagi kapitalisme. Ini berarti bahwa segala pengembangan tenaga-tenaga produktif dalam kapitalisme didorong oleh nafsu kapitalis mencapai laba sebanyak mungkin. “Tujuan tetap dari produksi kapitalis”, kata Marx, “ialah dengan minimum kapital yang dibayar terlebih dulu mencapai maksimum nilai-lebih dan hasil-lebih”.[47]

Pengejaran nilai-lebih menimbulkan persaingan sengit di antara kaum kapitalis dan mengakibatkan perluasan produksi yang semakin besar, mengakibatkan perkembangan teknik dan pertumbuhan tenaga-tenaga produktif masyarakat borjuis. Tapi, dalam pada itu, pertentangan antagonis makin mendalam antara buruh dengan kapital, memperbesar anarki produksi dan mengakibatkan pemborosan-pemborosan luar biasa atas tenaga-tenaga produktif.

Perkembangan industri mesin besar, pertanian modern dan cabang-cabang ekonomi lainnya, mengakibatkan pengurangan jumlah buruh yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah barang hasil yang tertentu. Artinya, kapital konstan bertambah lebih cepat dari pada kapital variabel, sehingga secara relatif keperluan produksi kapitalis akan tenaga buruh berkurang, walaupun jumlah absolut kaum buruh bertambah. Kemajuan teknologi di bawah kapitalisme melemparkan jutaan buruh dari pekerjaannya, dan setiap orang buruh setiap waktu terancam oleh pengangguran. Akumulasi kapitalis mempercepat proses digantikannya orang dengan mesin dan menimbulkan barisan-cadangan industri yang tepat, yaitu kaum penganggur.

“Semakin besar kekayaan masyarakat, kapital yang berfungsi, keluasan dan energi daripada pertumbuhannya, dan oleh karenanya, semakin besar juga jumlah absolute proletariat dan daya-produksi dari kerjanya, maka semakin besarlah barisan cadangan industri ……….. Jumlah relatif dari barisan cadangan industri karenanya bertambah bersamaan dengan energi potensial kekayaan. Tetapi semakin besar cadangan itu dalam perbandingan dengan barisan buruh yang aktif, maka semakin besarlah massa kelebihan penduduk yang terkonsolidasi, yang kemelaratannya adalah dalam perbandingan yang sebaliknya dengan siksaan kerjanya …………. Ini adalah hukum umum absolut dari akumulasi kapitalis”.[48]

Kata-kata Marx tetap benar. Tidak ada satu negeri kapitalispun yang mampu melenyapkan pengangguran.. bahkan di negeri kapitalis yang paling kayapun – Amerika Serikat, terdapat berjuta-juta kaum penganggur. Sebaliknya, negeri-negeri sosialis dalam beberapa tahun pembangunan ekonomi saja telah melenyapkan masalah ini untuk selama-lamanya dan pada umumnya malah mengalami kekurangan tenaga-kerja.

Cara produksi kapitalis telah membawa kemajuan yang sangat besar dalam produktivitas kerja dan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif. Tapi sebagai sistem yang berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia, kapitalisme mempunyai keterbatasan sejarah. Dalam mengembangkan produksi besar-besaran, kapitalisme melahirkan penggali liang kuburnya sendiri, yaitu kelas buruh. “Sentralisasi alat-alat produksi dan sosialisasi kerja pada akhirnya mencapai tingkat sehingga tidak sesuai lagi dengan bingkai kapitalisme. Maka bingkai ini pecah berantakan. Lonceng kematian untuk pemilikan kapitalis berbunyi. Kaum perampas dirampas”.[49]

Demikianlah kecenderungan sejarah dari perkembangan cara produksi kapitalis.

9. Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme

Sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik Republik Indonesia, musuh terpokok nasion Indonesia adalah imperialisme. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk mengetahui secara ilmu apa sesungguhnya imperialisme itu. Hanya dengan mengetahui hakikat (essence) dari imperialisme, kita bisa mengenalnya dalam segala bentuk manifestasinya, mengenal hubungannya dengan kolonialisme dan neo-kolonialisme. Pengetahuan ini akan membantu kita untuk menjaga agar pukulan dari perjuangan revolusioner kita selalu diarahkan kepada musuh yang pokok ini.

Di bawah ini akan saya uraikan secara singkat pengertian kaum Marxis tentang imperialisme.

Seperti diterangkan Lenin, “Imperialisme adalah suatu tingkat historis yang khusus dari kapitalisme. Cirinya yang khas adalah tiga: imperialisme adalah 1) kapitalisme monopoli; 2) kapitalisme yang bersifat benalu (parasitic), atau yang sudah mau runtuh; 3) kapitalisme sekarat (moribund)”.[50] Tingkatan ini muncul pada akhir abad ke-19 sebagai perkembangan dan lanjutan yang langsung daripada sifat-sifat yang pokok dari kapitalisme. Dengan timbulnya imperialisme, semua pertentangan intern kapitalisme, perjuangan kelas, anarki dalam produksi, serta krisis-krisis ekonomi telah menjadi lebih tajam.

Menurut definisi klasik Lenin, ciri-ciri ekonomi yang terpenting dari imperialisme ialah:

“1) Konsentrasi produksi dan kapital telah berkembang sampai pada tingkat yang demikian tingginya sehingga ia menciptakan monopoli-monopoli yang memainkan peranan menentukan dalam kehidupan ekonomi;

“2) Perpaduan kapital bank dengan kapital industri dan penciptaan, di dalam dasar ‘kapital finans’ ini, oligarki finans;

“3) Ekspor kapital, berbeda dengan ekspor barang dagangan, memperoleh arti penting yang luar biasa;

“4) Pembentukan serikat-serikat kapitalis monopolis internasional yang membagi dunia di kalangan mereka sendiri, dan

“5) Pembagian territorial atas seluruh dunia di antara Negara-negara kapitalis terbesar telah selesai”.[51]

Dalam periode kapitalis pra-monopli, persaingan bebas berkuasa. Sebagai akibatnya, terjadi konsentrasi dan sentralisasi produksi dan kapital. Konsentrasi produksi dan kapital ini pada tingkat perkembangannya yang tertentu pasti menuju ke monopoli. Sebab perusahaan raksasa memerlukan laba besar untuk mempertahankan diri dalam persaingan melawan perusahaan-perusahaan raksasa lainnya. Laba yang sebesar-besarnya hanya dapat dijamin dengan kekuasaan monopoli di pasar. Pada pihak lain, antara beberapa puluh perusahaan-perusahaan raksasa akan lebih mudah tercapai persetujuan daripada antara ratusan atau ribuan perusahaan-perusahaan kecil. Dengan demikian, persaingan bebas diganti oleh monopoli. Disinilah hakikat ekonomi daripada imperialisme.

Walaupun monopoli telah menggantikan persaingan bebas, tetapi monopoli tidak menghapuskan persaingan, bahkan membuat persaingan itu lebih sengit dan kejam di dalam dunia kapitalis. “Sesungguhnya, imperialisme tidak dan tidak dapat merombak kapitalisme dari atas sampai ke bawah. Imperialisme memperumit dan mempertegas kontradiksi-kontradiksi dari kapitalisme, imperialisme ‘melibatkan’ monopoli dengan persaingan bebas, tetapi imperialisme tidak dapat melenyapkan pertukaran, pasar, persaingan, krisis-krisis dls”.[52] Persaingan terjadi di antara para anggota badan monopoli, di antara badan-badan monopoli yang satu dengan lainnya, dan di antara monopoli dengan perusahaan-perusahaan yang bukan monopoli.

Sebagaimana di dalam industri, dalam lapangan perbankan terjadi juga konsentrasi. Konsentrasi industri dan pembentukan monopoli-monopoli bank mengakibatkan perubahan yang hakiki di dalam hubungan timbal-balik antara bank dengan industri. Bank turut memiliki perusahaan-perusahaan industri perdagangan dan pengangkutan, karena ia memperoleh saham-saham perusahaan-perusahaan itu.

Pada pihak lain, monopoli-monopoli industri memiliki juga saham-saham bank yang bersangkutan dengan mereka. Dengan begitu kapital monopoli bank dan kapital monopoli industri berjalin dan menjadi kapital jenis baru: kapital finans. “Kapital finans adalah kapital bank kepunyaan sejumlah kecil bank monopolis yang sangat besar, berpadu dengan kapital serikat-serikat monopolis kaum industrialis”.[53] Zaman imperialisme adalah zaman kapital finans.

Di setiap negeri kapitalis, cabang-cabang vital dalam ekonomi dikendalikan oleh grup-grup kecil bankir besar dan monopolis-monopolis industri yang menguasai sebagian terbesar dari kekayaan masyarakat. Dengan demikian mesti timbul kekuasaan oligarki finans, kekuasaan beberapa gelintir raja-raja uang.

Ciri pada kapitalisme pra-monopoli ketika persaingan bebas berkuasa, adalah ekspor barangdagangan. Pada tingkat imperialisme dimana monopoli berkuasa, ekspor kapital yang menjadi ciri.

Ekspor kapital dalam zaman imperialisme telah menjadi suatu keharusan. Keharusan ini disebabkan karena terjadinya “kelebihan kapital” di negeri-negeri kapitalis yang sudah maju dan paling kaya sebagai akibat yang langsung dari berkuasanya monopoli dan kapital finans. Pada pihak lain karena adanya sejumlah negeri terbelakang yang sudah terseret ke dalam pergaulan kapitalis sedunia dimana terdapat hanya sedikit kapital, upah rendah, bahkan mentah murah dan harga tanah rendah. Dengan demikian, kapital monopoli memang dapat memperoleh laba luar biasa besarnya apabila mengadakan eksploitasi di negeri-negeri itu.

Salah satu akibat yang terpenting dari ekspor kapital ialah bertambahnya persaingan antara antara Negara-negara besar untuk merebut daerah-daerah penanaman modal kapital yang paling menguntungkan.

Dengan bertambahnya ekspor kapital dan peluasan hubungan-hubungan luar negeri serta “lingkungan-lingkungan pengaruh” monopoli-monopoli raksasa, terjadilah syarat-syarat untuk pembagian pasar dunia di antara monopoli-monopoli tersebut, terbentuklah monopoli-monopoli internasional.

Pembagian dunia di lapangan ekonomi oleh badan-badan monopoli pasti disertai dan diperkuat dengan pembagian wilayah dunia oleh Negara-negara besar imperialis. Mereka rebut-merebut tanahjajahan- tanahjajahan dan negeri-negeri asing.

Pada awal abad 20 pembagian wilayah dunia sudah selesai. Sebagai akibat perkembangan ekonomi dan politik yang tidak sama di antara negeri-negeri kapitalis itu, pembagian daerah jajahan itu tidak merata. Negeri-negeri kapitalis tua telah merebut wilayah-wilayah jajahan yang luas, sedangkan negeri-negeri kapitalis muda hanya kebagian sedikit. Tetapi dalam zaman imperialisme, teknik sudah mencapai tingkat perkembangan yang sangat tinggi, sehingga memungkinkan negeri-negeri kapitalis yang muda mengejar serta melampaui negeri-negeri kapitalis yang tua secara cepat dan melompat. Mereka dapat mendesak negeri-negeri itu dari pasarnya dan memaksakan pembagian kembali wilayah dunia dengan kekerasan senjata, maka timbullah perang-perang imperialis dan perang-perang kolonial. Oleh sebab itu imperialisme selalu menjadi sumber akan ketegangan-ketegangan internasional dan peperangan.

Pada zaman imperialisme ini sistem ekonomi kapitalis meliputi seluruh dunia berdasarkan penghisapan dan perbudakan. Sejumlah kecil Negara-negara imperialis menindas dan menghisap jumlah terbesar Negara-negara jajahan. Segala tanahjajahan dan negeri-negeri tergantung yang ditindas oleh Negara-negara imperialis merupakan sistem kolonial daripada imperialisme.

Tanahjajahan-tanahjajahan merupakan tempat penanaman kapital, sumber bahan mentah, sumber tenaga murah, pasar hasil industri Negara-negara imperialis, dan juga sebagai pangkalan perang dan sumber umpan meriam bagi kepentingan Negara-negara imperialis. Tapi penindasan imperialisme ini membangkitkan perlawanan dari rakyat-rakyat yang dijajah, sehingga di semua negeri jajahan dan negeri tergantung lahir gerakan dan perjuangan melawan kolonialisme untuk kemerdekaan nasional. Perjuangan in sering memuncak dalam pemberontakan-pemberontakan dan revolusi-revolusi yang akhirnya melahirkan Negara-negara yang merdeka dan mengakibatkan kehancuran sistem kolonial daripada imperialisme.

Dalam kapitalisme modern masih tetap berlaku hukum nilai-lebih sebagai hukum ekonomi pokok. Tapi perjuangan untuk mengejar nilai-lebih ini semakin meruncing dan kejam. Kekuasaan monopoli memungkinkan kaum kapitalis monopoli untuk menetapkan harga-harga monopoli sehingga mencapai laba tinggi monopoli. Untuk menjamin laba tinggi monopoli, kaum monopolis tidak enggan menggunakan cara apapun sampai kepada mencetuskan perang baru.

Peruncingan pertentangan setajam-tajamnya dalam kubu imperialisme , bentrokan-bentrokan di antara Negara-negara imperialis yang berakibat perang-perang imperialis, berkembangnya perjuangan kelas proletar di negeri-negeri kapitalis, bangkitnya Rakyat jajahan melawan penjajahnya, ini semua sangat melemahkan sistem dunia kapitalis. Dengan demikian tertimbun syarat-syarat bagi krisis umum kapitalisme.

Krisis umum kapitalisme ini dimulai sejak masa perang dunia pertama dan terutama sejak kemenangan Revolusi Sosialis Oktober 1917 di Rusia yang melahirkan negeri sosialis yang pertama di dunia. Sejak saat itu ramalan ilmiah Marx telah berubah menjadi kenyataan dan kapitalisme bukan lagi satu-satunya sistem ekonomi dunia yang meliputi segala-galanya. Setelah perang dunia kedua krisis umum kapitalisme bertambah lebih dalam lagi. Sosialisme muncul keluar batas-batas satu negeri dan menjadi sistem dunia, krisis sistem kolonial daripada imperialisme menjadi lebih parah dan kehancurannya menjadi tak-terelakkan.

Krisis umum kapitalisme ialah krisis yang bukan saja menyangkut sistem ekonomi, melainkan juga meliputi segala lapangan dari sistem dunia kapitalis seluruhnya yang dicirikan oleh peperangan dan revolusi, oleh perjuangan antara kapitalisme yang sedang mati dengan Sosialisme yang sedang tumbuh.

Ciri-ciri pokok dari krisis umum kapitalisme ialah: terpeliharanya dunia menjadi dua sistem – yang kapitalis dan yang sosialis – serta perjuangan antara kedua sistem itu; kehancuran sistem kolonial daripada imperialisme yang terwujud dalam tercapainya kemerdekaan nasional di banyak negeri bekas jajahan dan tergantung; bertambah gentingnya masalah pasar bagi negeri-negeri kapitalis, perusahaan-perusahaan kapitalis secara kronis bekerja di bawah kapasitas dan terjadi pengangguran massal yang kronis. Dalam kehidupan politik, kita melihat dengan jelas kecenderungan pemfasisan pemerintahan dan penghapusan kebebasan-kebebasan demokratis bagi Rakyat. Guna mempertahankan penguasaannya atas tanah-jajahan, kaum imperialis banyak menyelubungi politik-politik kolonialnya yang lama dengan taktik-taktik dan bentuk-bentuk baru yang sudah biasa kita namakan neo-kolonialisme. Kita sendiri di Indonesia mengalaminya dari dekat, tadinya dalam bentuk KMB dan sekarang pun masih menghadapinya, terutama dalam bentuk kekuasaan ekonomi imperialis atas negeri kita. Pihak Belanda berusaha menipu kita dengan memberikan status neo-kolonial dengan baju “selfdetermination” kepada Irian Barat. Oleh sebab itu kita perlu tetap waspada, imperialisme memang sudah sangat dilemahkan, tapi sebagaimana sering dinyatakan oleh Bung Karno, imperialisme belum mati dan imperialisme adalah tetap imperialis.

Dalam pada itu, pengalaman kitapun menunjukkan bahwa asal kita berani melawan, imperialisme bisa didesak mundur dan dikalahkan. Segala tipu dayanya tidak bisa menyelamatkannya dari nasib sejarah yang pasti. “Zaman sekarang adalah zaman menghancurkan sistem kolonialis-imperialis, zaman sekarang adalah zaman peralihan ke Sosialisme”. (Jarek)

10. Beberapa Aspek Mengenai Hak milik Dalam Sosialisme

Manifesto Politik Republik Indonesia menetapkan bahwa watak revolusi kita adalah nasional dan demokratis, sedangkan hari depan revolusi adalah Sosialisme. Sebagaimana dipertegas oleh Jarek: “ada dua tujuan dan dua tahap Revolusi Indonesia: Pertama, tahap mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme – dan yang demokratis – bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan dan disempurnakan ………. Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme, bersih dari kapitalisme dan dari ‘I’ekploitation de I’homme par I’homme’. Tahap ini hanya bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan seluruhnya”. Karena kita masih berada pada tahap pertama, maka dengan sendirinya kita belum menghadapi tugas langsung menghapuskan kapitalisme dan membangun Sosialisme. Dalam tahap pertama ini masih terdapat hak milik perseorangan atas alat-alat produksi, baik hak milik perseorangan dari produsen kecil maupun hak milik perseorangan kapitalis nasional. Berdasarkan pengertian-pengertian ekonomi Marxis saja sepenuhnya menyokong garis Jarek ini dan tidak menyetujui tindakan-tindakan yang sadar atau tidak sadar malah merugikan produsen-produsen kecil dan pengusaha-pengusaha nasional, lebih-lebih lagi jika dengan tidak menyinggung samasekali hak milik imperialis (kapitalis besar asing) dan hak milik feodal (tuan tanah). Kami berpendapat bahwa berdasarkan tingkat perkembangan Indonesia sekarang, kapitalisme nasional masih mempunyai peranan positif untuk mengembangkan tenaga-tenaga produktif di negeri kita. Sudah barang tentu, jika kapitalisme nasional dibiarkan berkembang secara “liberal”, maka ia bisa menimbulkan banyak kerepotan-kerepotan sekarang dan di kemudian hari. Tapi saya yakin, asalkan ekonomi sektor Negara memegang posisi komando dan ada pemerintah yang sungguh-sungguh bercita-cita Sosialisme, maka segi positif kapitalisme nasional dapat dikembangkan semaksimum-maksimumnya, sedangkan segi negatifnya dapat dipersempit sampai sekecil-kecilnya. Dengan demikian kapitalisme nasional dapat membantu mempercepat proses untuk beralih ke tahap kedua tahap “Indonesia ber-Sosialisme, bersih dari kapitalisme dan dari exploitation de I’homme” (Jarek). Dalam masyarakat sosialis, jika sungguh-sungguh masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia, memang tidak ada tempat bagi kapitalisme. Ini berarti tidak akan nada lagi hak milik perseorangan yang kapitalis atas alat-alat produksi. Borjuasi akan lenyap sebagai kelas. Bagi setiap orang yang jujur dan mau bekerja, pasti ada tempat dalam masyarakat sosialis.

Kadang-kadang dituduhkan kepada kami kaum Komunis, bahwa kami ingin membentuk masyarakat sosialis yang berlainan dengan Sosialisme Indonesia, sebab dalam masyarakat sosialis Indonesia masih akan nada hak milik perseorangan. Perlu kami tegaskan, kami sama sekali tidak bermaksud melenyapkan hak milik perseorangan atas barang-barang konsumsi, yang berarti kekuasaan seseorang untuk memiliki hasil-hasil masyarakat. Hal ini sudah lama dijelaskan oleh Marx dan Engels dalam Manifes Partai Komunis.

Adapun mengenai hak milik perseorangan yang kapitalis atas alat-alat produksi, memang ini harus dilenyapkan, jika kita betul-betul bermaksud membuat Indonesia “bersih dari kapitalisme” sebagaimana dinyatakan dalam Jarek.

Mungkin timbul pertanyaan, apakah semua hak milik perseorangan atas alat-alat produksi menjadi dasar bagi penghisapan atas manusia oleh manusia? Hak milik perseorangan tuan-budak, tuan-feodal dan kapitalis atas alat-alat produksi, telah menjadi dasar bagi penghisapan itu. Tapi ada hak milik perseorangan atas alat-alat produksi yang tidak mengandung penghisapan, yaitu hak milik perseorangan produsen kecil yang berproduksi dengan alat-alatnya sendiri dan dengan kerjanya sendiri tanpa mempergunakan tenaga orang lain. Apakah sosialisme dapat dibangun atas dasar produksi para produsen kecil ini?

Sosialisme adalah sistem masyarakat dimana berlaku keadilan sosial dan yang harus memberi kemakmuran kepada setiap anggota masyarakatnya. Untuk mencapai kemakmuran itu daya-produksi masyarakat harus semakin meningkat dan mencapai taraf yang tinggi. Apakah ini dapat dicapai oleh produsen kecil? Pengalaman di semua negeri memperlihatkan bahwa ini tidak mungkin. Produksi kecil-kecilan tidak mampu mempergunakan hasil-hasil teknik dan ilmu yang terbaru.

Di samping itu, produksi kecil barangdagangan yang didasarkan pada hak milik perseorangan atas alat-alat produksi tidak bisa tidak dikuasai oleh anarki dan persaingan. Setiap produsen berusaha memproduksi lebih banyak untuk menjual lebih banyak, dan kepentingannya dalam hal ini bertentangan dengan produsen lain yang menghasilkan barang yang sama. Ada di antara produsen-produsen itu yang sukses dalam persaingan, usahanya semakin besar dan mulailah ia mengambil tenaga-tenaga upahan untuk membantu usaha produksinya.

Dengan demikian, dan sangat mungkin tidak disadarinya sendiri, ia sudah mulai menjadi seorang kapitalis dan mendapat penghasilannya dari penghisapan kerja orang lain. Pada pihak lain, ada produsen-produsen yang gagal dalam persaingan, sehingga terpaksa melepaskan usahanya, ia menjadi penganggur atau terus menyediakan tenaganya kepada produsen lain yang mau mengupahnya. Dari produsen merdeka ia menjadi buruh. Proses diferensiasi ini didorong pula oleh peranan kapital-dagang. Pada mulanya, kapital-dagang tidak mencampuri urusan produksi barang-hasil, kapital itu hanya berfungsi dalam mengedarkan baranghasil-baranghasil itu. Tapi lambat-laun kapital-dagang itu juga mulai menguasai produsen kecil. Bentuk-bentuknya yang pokok adalah sebagai berikut:

1. bentuk yang paling sederhana: pedagang (tengkulak) membeli barangjadi-barangjadi dari produsen kecil. Pada waktu ini hubungan antara produsen kecil dengan pasar penjualannya terputus. Pedagang bisa menggunakan monopoli pembelian itu untuk menekan harga ke bawah sehingga merugikan produsen kecil.

2. kapital-dagang bergandengan dengan kapital-riba (lintah-darat, mindring). Produsen kecil yang memang selalu berada dalam kesukaran keuangan, meminjam dari pedagang dan membayar hutang dengan barang-barangnya. Dalam kejadian ini barang-barang selalu dijual dengan harga yang rendah sekali dan sering kali si produsen tidak bisa memperoleh pendapatan sebanyak yang bisa didapat buruh-upahan. Apalagi, hubungan hutang in membikin produsen tergantung secara pribadi kepada pedagang, hubungan mana dapat disalahgunakan oleh pedagang itu.

3. pedagang (tengkulak) membayar barang-barang yang dibelinya dari produsen kecil dengan barang-barang juga, tapi yang harga-harganya umumnya tinggi dan mutunya rendah.

4. pedagang (tengkulak) membayar barangjadi produsen dengan bahan-mentah, bahan penolong, yang diperlukan oleh produsen untuk berproduksi. Dengan demikian tengkulak telah memutuskan hubungan antara produsen kecil dengan pasar bahan-mentah, sehingga membikin produsen itu lebih tergantung lagi pada tengkulak dalam ekonomi.

5. tengkulak langsung membagi bahan-mentah kepada produsen dan menyuruh dia mengerjakannya dengan bayaran tertentu. Dengan demikian produsen kecil praktis sudah menjadi buruh-upahan yang bekerja di rumahnya sendiri untuk kapitalis.

6. tengkulak bukan saja membagikan bahan-mentah tapi juga perkakas-perkakas kerja kepada produsen. Pada waktu ini produsen kecil sudah kehilangan seluruh kemerdekaannya sebagai produsen. Ia menjadi buruh-upahan, tengkulak menjadi kapitalis industri, kapital-dagang menjadi kapital-industri. xxx

Sebabnya kapital-dagang dapat menguasai produsen kecil ialah karena dengan berkembangnya produksi barang dagangan dan bertambah luasnya pasar, produsen kecil tidak dapat lagi mengurus dirinya sendiri secara langsung penjualan barang-barangnya di pasar yang jauh atau pembelian bahan-bahan produksinya. Maka peranan pedagang makin diperlukan.

Dalam pada itu, dari kalangan produsen-produsen kecil sendiri timbul orang-orang yang mula-mula dititipkan barang untuk dijual ke pasar, tapi kemudian juga menjadi pedagang. Mengenai proses ini Lenin menunjukkan bahwa “dalam ekonomi barangdagangan, produsen-produsen kecil tidak bisa tidak pasti melahirkan dari tengah-tengah kalangannya sendiri tidak hanya pengusaha-pengusaha industri yang lebih makmur pada umumnya, tetapi juga, khususnya, wakil-wakil dari kapital-dagang”.[54]

Proses lahirnya hubungan-hubungan produksi kapitalis dari produsen-produsen kecil barangdagangan adalah proses spontan yang tak dapat dihindarkan selama produksi mereka didasarkan atas hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Proses ini sesungguhnya hanya membawa keuntungan bagi sejumlah kecil produsen, sedangkan jumlahnya yang terbesar terus menerus hidup melarat dan terancam kebangkrutan.

Oleh sebab itu, jika kita ingin membangun masyarakat sosialis yang sungguh-sungguh bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia dan dapat memberi kemakmuran kepada setiap anggotanya, maka kita harus secara serius memecahkan masalah produsen kecil.

Kaum Marxis berpendapat bahwa dalam keadaan alat-alat produksi yang terpokok dimiliki oleh seluruh masyarakat, maka ada jalan untuk membantu produsen-produsen kecil menghindari proses yang menyakitkan seperti diuraikan di dalam. Jalan itu ialah jalan pengkoperasian yang dengan berangsur-angsur akan mengubah hak milik perseorangan kecil menjadi hak milik kolektif-koperatif. Perubahan ini akan membuat produsen-produsen itu tidak lagi saling-berhadapan sebagai penyaing-penyaing dan memungkinkan koordinasi dari tenaga-tenaga produktif mereka. Perusahaan-perusahaan kolektif atau koperatif dapat mengambil manfaat sepenuhnya dari hasil teknik dan ilmu yang maju, sehingga menjamin produktivitas kerja, yang semakin tinggi. Agar jalan pengkoperasian ini dapat berlangsung dengan lancar dan sukses, syarat terpenting ialah kesukarelaan para produsen kecil itu sendiri, keyakinan mereka bahwa memang jalan ini adalah satu-satunya jalan yang bisa membawa kebahagiaan dan kemakmuran bagi semua.

Demikianlah tentang beberapa aspek mengenai hak milik dalam sosialisme.

 

BAB III. SOSIALISME

 

Bab III daripada uraian saya ini boleh dikatakan tidak ada yang saya susun baru, hampir seluruhnya saya ambil dari pidato saya di hadapan mahasiswa-mahasiswa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di kota ini dalam bulan Agustus tahun yang lalu.[55]

Sebelumnya saya menguraikan tentang sejarah lahirnya cita-cita sosialisme, terlebih dulu hendak saya mulai dengan menjelaskan istilah Sosialisme.

Friedrich Engels mengenai Manifes Partai Komunis yang ditulisnya bersama Karl Marx dalam tahun 1848 mengemukakan mengapa Manifes itu menggunakan kata “Komunis” dan bukan “Sosialis” dengan keterangan antara lain sebagai berikut:

“Sekalipun demikian, ketika ia (yang dimaksud ialah Manifes Partai Komunis – DNA) terbit kita tidak dapat menamakannya Manifes Sosialis. Pada tahun 1847 ada dua macam golongan yang dianggap sebagai orang-orang Sosialis. Pada satu pihak adalah pengikut-pengikut berbagai sistem utopi, teristimewa kaum Owenis di Inggris, dan kaum Fourieris di Prancis, yang kedua-duanya pada saat itu telah merosot menjadi hanya satu sekte saja dan berangsur-angsur menu kematiannya. Di pihak lain tukang-tukang jual koyok kemasyarakatan yang sangat banyak corak-ragamnya itu yang dengan berbagai macam obat ajaib serta segala cara kerja tambal sulam hendak melenyapkan keburukan-keburukan sosial tanpa sedikitpun merugikan kapital dan laba. Dalam kedua hal itu, orang-orang yang berdiri di luar gerakan buruh dan yang lebih suka minta bantuan pada kelas-kelas ‘terpelajar’. Tetapi bagian dari kelas buruh yang menuntut penyusunan-kembali masyarakat secara radikal, yakin bahwa revolusi-revolusi politik saja tidak cukup, pada waktu itu manamakan dirinya Komunis. Ini adalah Komunis yang masih mentah, hanya naluriah, dan sering kali agak kasar. Namun ia cukup kuat untuk menimbulkan dua sistem Komunisme utopi – di Prancis Komunisme ‘Icaria’ dari Cabet, dan di Jerman dari Weitling. Dalam tahun 1847 Sosialisme berarti gerakan borjuis, Komunisme berarti gerakan kelas buruh. Sosialisme, di Daratan Eropa, setidak-tidaknya adalah cukup terhormat, sedangkan Komunisme justru sebaliknya. Dan karena kami telah mempunyai pendirian yang pasti sejak masa itu bahwa ‘pembebasan kelas buruh haruslah tindakan kelas buruh sendiri’, maka kami tidak sangsi lagi tentang nama mana di antara nama itu yang harus kami pilih. Sejak itupun tak pernah juga ada pikiran pada kami untuk menolak nama itu”.[56]

Persoalan yang kita hadapi sekarang tidak sama persis sama dengan apa yang dijelaskan oleh Engels ini. Tapi pelajaran yang dapat kita tarik ialah, bahwa jika sekarang berbicara tentang Sosialisme, kita tidak berbicara tentang “sosialisme” borjuis, borjuis kecil atau feodal, tapi tentang Sosialisme yang tidak dihormati oleh kaum kapitalis, tentang Sosialisme yang anti-kapitalisme.

1. Sejarah Timbulnya Cita-cita Sosialisme

Dari sejarah timbulnya cita-cita Sosialisme dapatlah diketahui, bahwa penggunaan istilah “Sosialisme” sebagai suatu aliran paham politik dan gerakan sosial mulai terjadi dalam gerakan sosial yang dipelopori oleh Robert Owen di Inggris dalam tahun-tahun 30-an abad ke-19. Akan tetapi, jiwanya istilah ini, yakni sebagai suatu cita-cita atau angan-angan akan suatu masyarakat yang adil dan makmur, dimana tidak ada orang miskin dan tidak ada orang kaya, tiada penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia, jauh sebelum itu, dan boleh dikatakan sejarah terpecahnya masyarakat dalam kelas-kelas yang saling berlawanan, sudah terdapat hampir dimana-mana.

Di Eropa, misalnya, pada zaman Yunani Kuno, kita mengenal adanya “masyarakat ideal” yang di idam-idamkan oleh Plato (427-347 Sebelum Masehi). Menurut cita-cita Plato, masyarakat yang sempurna itu berbentuk Negara Republik dengan kaum ksatria sebagai tulang punggungnya. Kehidupan kaum ksatria itu merupakan teladan bagi seluruh masyarakat. Mereka hidup secara kolektif di dalam asrama-asrama yang disediakan oleh Negara. Mereka tidak mempunyai hak milik perseorangan atas apapun juga. Segala kebutuhan hidupnya dijamin oleh Negara, bahkan Negara menyediakan wanita-wanita pilihan untuk dijadikan istri mereka. Anak-anak mereka sejak lahir sudah dipisahkan dari orang tuanya dan dipelihara serta di didik oleh Negara dalam tempat-tempat yang disediakan khusus untuk itu. Kaum ibunya hanya diperkenankan datang ke tempat-tempat itu pada waktu-waktu yang sudah ditentukan untuk menyusui anak-anak yang ada di situ tanpa mengenali anaknya sendiri atau bukan. Apabila anak-anak itu sudah cukup besar, maka diajarkannya berbagai macam ilmu, diberikannya pendidikan jasmaniah dan rohaniah sampai dewasa sehingga menjadi manusia-manusia ksatria yang sempurna. Setelah itu mereka diberi tugas-tugas Negara. Kepala Negara dipilih di antara kaum ksatria itu. Demikianlah garis besar “masyarakat ideal” yang diimpikan Plato pada ketika itu.

Sudah tentu, “masyarakat ideal” Plato yang demikian itu dibangunkan berdasarkan filsafatnya yang berpendapat bahwa masyarakat itu baru bisa sempurna kalau orang-orangnya sempurna, dan orang-orangnya itu baru bisa menjadi sempurna kalau berpengetahuan dan berpendidikan baik. Akan tetapi, lahirnya angan-angan itu, bagaimanapun juga isinya, merupakan suatu “pencerminan” atau “refleksi” daripada keadaan sosial pada ketika itu. Sebagaimana kita mengetahui, pada ketika itu masyarakat perbudakan di Athena sedang mulai mengalami dekadensinya, konflik-konflik sosial sudah Nampak makin menajam, ketidakadilan dan keburukan sosial sudah menonjol, sementara itu juga sedang menghadapi ancaman-ancaman serangan dari negeri-negeri tetangganya, terutama Sparta yang sedang tumbuh kuat. Dalam menghadapi keadaan sosial yang suram itulah timbul kerinduan pada Plato akan suatu “masyarakat bangsawan” atau Negara “Republik Ksatrya” sebagai konsep jalan keluar. Akan tetapi, ide Plato itu agaknya terlampau ekstrem sehingga tak mendapat sambutan baik dari masyarakat, maupun dari murid-muridnya atau pengikut-pengikutnya yang tidak sedikit jumlahnya.

Pada masa sejarah yang lain, kita mengenal juga, misalnya “masyarakat utopi” dari Sir Thomas More (1478-1535), seorang politikus dan sastrawan besar Inggris pada awal abad ke-16. Dalam karyanya Utopi, More di satu pihak melukiskan keadaan masyarakat yang sangat menyedihkan di bawah rezim Henry VIII dimana Rakyat jelata menderita kesengsaraan yang sangat besar sebagai akibat dari kesewenangan dan kekejaman yang melampaui batas-batas perikemanusiaan daripada kaum ningrat dan kaum gereja; di pihak lain ia melukiskan keadaan masyarakat di pulau Utopi sebagai kontrasnya atau tandingannya. Di dalam masyarakat Utopi itu tiada sistem hak milik perseorangan atas alat-alat produksi; produksi masyarakat diatur dan dilakukan secara gotongroyong, dan hasil-hasilnya dibagi secara merata pula di antara anggota-anggota masyarakat sehingga dengan demikian lenyaplah perbedaan antara miskin dan kaya. Semua orang harus bekerja di lapangan produksi, baik pertanian maupun kerajinan tangan sehingga tiada lagi perbedaan antara kota dan desa. Waktu kerja dikurangi menjadi 6 jam sehari, sedang sisa waktu luangnya digunakan sepenuhnya untuk aktivitas di lapangan kesenian, kesusastraan dan ilmu. Lembaga-lembaga masyarakat dibentuk secara demokratis melalui pemilihan umum sehingga tiada lagi kediktatoran raja-raja, tiada lagi undang-undang dan peraturan-peraturan yang bengis dan mengekang kebebasan individu, semua anggota masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Kejujuran dan kesederhanaan, persaudaraan dan ke gotong-royongan menjadi ciri moral masyarakat. Sistem dan perlengkapan kemiliterannya ditujukan untuk membela diri, tidak untuk melakukan agresi terhadap negeri lainnya.

“Masyarakat Utopi” yang digambarkan oleh More itu justru adalah suatu “refleksi” dari keadaan sosial di Inggris pada zaman itu, dimana sedang berlangsung proses akumulasi primitif kapital. Beribu-ribu kaum tani diusir dari tanah garapannya dengan segala kekerasan dan kekejaman. Tanah-tanah sawah diubah menjadi ladang-ladang penggembalaan domba-domba untuk memenuhi kebutuhan manufaktur-manufaktur tekstil akan bahan wol, sehingga More melukiskan keadaan pada ketika itu sebagai zaman “domba makan orang”. Pertumbuhan cara produksi kapitalis yang menimbulkan ketidak-adilan, kesengsaraan dan keburukan-keburukan sosial yang sangat mencolok mata dan menyakiti perasaan kemanusiaan itu telah membikin More takut melihat ke depan sehingga “masyarakat adil dan makmur” yang dicita-citakannya itu nampak jelas tidak menghendaki perkembangan industri lebih lanjut, melainkan mempertahankan pertanian dan kerajinan-tangan sebagai dasar produksi masyarakat, dan menganjurkan kesederhanaan atau pembatasan dalam kenikmatan kekayaan materiil, tapi mengejar kenikmatan kekayaan spiritual, terutama di lapangan kesenian, yang dianggapnya sebagai kesenangan dan kebahagiaan hidup yang paling tinggi.

Hampir seabad kemudian, kita mengenal pula, misalnya suatu cita-cita masyarakat “adil dan makmur” yang di idam-idamkan oleh seorang filsuf Italia, Tomaso Campanella (1568-1639) dibentangkan dalam karyanya yang termashur Kota Surya. Campanella semula adalah seorang paderi, tetapi kenyataan sosial yang pahit membikin ia kemudian menentang kekuasaan agama di negerinya. Pada ketika itu Italia dijajah oleh Spanyol, dengan menggunakan agama sebagai alat penindasannya yang efektif. Di samping mengemukakan filsafatnya dalam karyanya Philosophia Sensibus Demonstrata yang menentang filsafat skolastik yang berkuasa pada ketika itu. Campanella juga memimpin gerakan bawah tanah untuk membebaskan tanah airnya dari penjajahan kerajaan Spanyol. Hal ini menyebabkan ia kemudian ditangkap dan ditahan di dalam penjara selama 27 tahun. Kota Surya adalah sebuah ciptaannya selama dalam tahanan itu. Dalam karyanya itu, Campanella di samping mencela hak milik perseorangan sebagai sumber dari segala kejahatan dan keburukan sosial, juga berpendapat bahwa kerja adalah kewajiban yang terhormat dan mutlak bagi setiap orang. Campanella menggambarkan Rakyat Kota Surya itu hidup dalam keadaan serba “samarata-samarasa” dalam makna bahwa tiada perbedaan dalam soal tempat tinggal, makan, pakaian, dsb, di antara anggota-anggota masyarakat. Dalam fantasi Campanella terdapat pikiran-pikiran yang maju, misalnya ia mengemukakan bahwa di dalam masyarakat dimana tiada sistem hak milik perseorangan, tiada penindasan dan penghisapan serta ketidakadilan, kesenian, teknik dan ilmu pengetahuan akan dapat berkembang maju, dan ini merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat. Maka ia menggambarkan bahwa Rakyat Kota Surya itu hanya bekerja 4 jam dalam sehari dengan menggunakan teknik yang tinggi untuk meringankan kerjanya dan menciptakan kehidupan yang makmur.

2. Sosialisme Utopi

Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, kapitalisme berkembang sangat pesat di Eropa, terutama di Inggris, berkat penggunaan mesin-mesin uap dan teknik modern di lapangan produksi. Tetapi seiring dengan itu juga proses diferensiasi atau polarisasi, yaitu pemusatan kekayaan masyarakat ke dalam tangan segolongan kecil kaum bermodal di satu pihak dan pemiskinan serta pemelaratan sebagian besar penduduk di pihak lain, berlangsung makin cepat pula yang berarti mempercepat datangnya krisis ekonomi kapitalis. Pertentangan-pertentangan antagonis di dalam masyarakat makin menajam dan menonjol, walaupun antagonisme antara borjuasi dengan proletariat pada waktu itu masih belum berkembang penuh. Ketidakadilan dan kejahatan-kejahatan sosial merajalela. Dalam keadaan demikian inilah maka cita-cita akan suatu masyarakat yang adil dan makmur tumbuh dengan kuatnya, sehingga ia tidak lagi merupakan angan-angan yang hanya hidup dalam khayalan belaka, tetapi sudah mulai berusaha mendapatkan kekuatan materiil untuk merealisasinya. Maka timbullah suatu gerakan sosial yang terkenal dengan sebutan gerakan sosialis utopi. Tokoh-tokoh kaum sosialis utopi itu antara lain adalah Robert Owen (1771-1858) di Inggris, Saint Simon (1760-1825) dan Fourier (1772-1837) di Prancis. Walaupun teori-teori mereka tentang Sosialisme masih mentah sesuai dengan keadaan produksi kapitalis dan hubungan kelas-kelas pada masa itu yang masih belum cukup matang, dan juga telah dibuktikan oleh kegagalan percobaan-percobaan (experimen-experimen) yang telah mereka selenggarakan, namun “pikiran-pikiran dan benih-benih pikiran yang cemerlang, yang dimana-mana menonjol keluar dari kulitnya yang khayal, yang justru tak terlihat oleh kaum filistin”[57], sangatlah besar artinya, bahkan merupakan suatu sumber yang penting bagi Sosialisme ilmu yang diciptakan oleh Marx dan Engels.

Robert Owen tidak hanya seorang pengusaha yang cermat, tetapi juga seorang pemimpin yang berbakat. Pandangan sosialnya mendekati kaum materialis Prancis pada abad ke-18. Ia berpendapat bahwa watak dan moral seseorang di satu pihak ditentukan oleh pembawaan dari lahirnya, di pihak lain ditentukan juga oleh keadaan sosial dimana ia hidup. Hanya dengan jalan memperbaiki keadaan sosial atau syarat-syarat kehidupan sosial, barulah bisa dicapai perbaikan watak dan moral manusia. Akan tetapi, berbeda dengan kaum materialis Prancis abad ke-18 yang menganggap masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang rasional dan ideal. Owen berpendapat masyarakat kapitalis belum rasional, dan tidak rasionalnya itu karena manusia belum menyadari akan hakikat dirinya sendiri”, Ia pernah berkata: “adalah suatu kegilaan bahwa di bawah sistem masyarakat yang ada sekarang ini, kekuatan yang besar ini (yang dimaksud adalah tenaga produktif masyarakat pada masa itu – DNA) digunakan demikian buruknya sehingga ia tidak menghasilkan kemakmuran, memupuk moral yang baik, tetapi malah membuat kemiskinan dan dosa”.[58] Kalau filsuf-filsuf materialis Prancis abad ke-18 menghendaki penghapusan hak-hak istimewa kaum bangsawan saja. Owen menghendaki penghapusan pertentangan kelas-kelas dan menegakkan persamaan dan keadilan antara manusia yang satu dengan lainnya. Tetapi, suatu masyarakat sosialis yang rasional, yang tiada perbedaan kelas-kelas, menurut Owen tidak dapat dicapai dengan perjuangan kelas, dengan kekerasan revolusi, melainkan dengan jalan penyebaran pengetahuan dan pendidikan tentang kebenaran, karena masyarakat sosialis itu adalah hasil daripada pengetahuan manusia tentang kebenaran. Untuk membuktikan kebenaran teorinya, dan sekaligus untuk menyebarkan pengetahuan tentang “kebenaran”, maka sewaktu ia memimpin sebuah perusahaan di Manchester yang meliputi lebih dari 500 orang buruh, ia telah mencoba merealisasi cita-citanya itu dengan memperoleh hasil-hasil tertentu. Kemudian selama memimpin sebuah pabrik katun yang besar di New Lanark, Scotland (tahun 1800-1829), ia telah mendapatkan kesempatan yang lebih leluasa melakukan percobaannya itu dengan memperoleh hasil-hasil yang lebih besar lagi sehingga namanya tersohor di seluruh Eropa. Berkat perbaikan syarat-syarat kehidupan sosial yang dilaksanakannya, maka di New Lanark yang terkenal sebagai koloni percontohan dengan penduduknya 2.500 orang yang bagian terbesar berasal dari anasir-anasir yang sudah rusak moralnya, tidak terdapat lagi keburukan dan kejahatan sosial seperti pemabokan, pencurian dsb., sehingga tak diperlukan lagi adanya polisi, kejaksaan dan pengadilan. Kaum buruh New Lanark hanya bekerja 10 1/2 jam sehari, sedangkan kaum buruh di pabrik-pabrik lainnya harus bekerja 13-14 jam sehari. Di samping itu, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan mengembangkan intelek mereka dan anak-anaknya terjamin. Owen adalah orang pertama yang menyelenggarakan Taman Pendidikan dan Penitipan Kanak-kanak. Dalam masa krisis, kaum buruh New Lanark masih bisa menerima upah penuh selama beberapa bulan. Sungguhpun demikian bagi Owen keadaan itu masih jauh dari memuaskan, ia pernah berkata: “orang-orang itu adalah budak yang bergantung kepada kemurahan hati saja”. Dan hasil percobaannya di New Lanark itu akhirnya kandas sama sekali sebagai akibat dari krisis ekonomi kapitalis dan persaingan yang makin hebat. Begitupun juga usaha-usaha percobaannya di New Harmony, Indiana (Amerika Serikat) dan di Mexico yang diselenggarakannya dengan biaya sendiri, telah mengalami kegagalan sehingga membikin ludes harta kekayaannya. Sesudah itu ia kembali lagi ke tanah airnya dan aktif dalam gerakan Serikat Buruh dan gerakan koperasi. Dalam penilaiannya terhadap kehidupan Owen, Engels berkata: “Setiap gerakan sosial, setiap kemajuan nyata yang terjadi di Inggris untuk kepentingan kelas buruh tak dapat dipisahkan dengan nama Owen”.[59]

Saint Simon adalah “putra Revolusi Prancis”, walaupun ia berasal dari keluarga bangsawan. Akan tetapi, berbeda dengan filsuf-filsuf dan ahli-ahli sejarah Prancis yang memuja dan membela sistem masyarakat kapitalis pada ketika itu, ia malah mengecamnya dan menyatakan bahwa masyarakat kapitalis itu pasti akan diganti oleh suatu sistem masyarakat yang lebih sempurna, yaitu masyarakat yang lebih sempurna, yaitu masyarakat sosialis yang ia cita-citakan. Ia berpendirian demikian karena ia melihat kenyataan-kenyataan bahwa kemenangan Revolusi Besar Prancis yang ia ikut serta memberikan amalnya itu tidak mendatangkan sedikitpun perbaikan nasib kepada “kelas yang paling besar jumlahnya dan yang paling miskin” (“la classe la plus nombreuse et la plus pauvre”), yang ia bela, melainkan telah memberikan hak-hak istimewa dan keuntungan-keuntungan kepada segolongan kecil dari kaum borjuis yang kaya; di samping itu karena ia mempunyai pandangan-sejarah yang lebih maju daripada mereka. Ia tidak sependapat dengan mereka yang beranggapan bahwa sejarah itu merupakan rentetan atau tumpukan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan, dan ia telah berusaha untuk menemukan dan menerangkan bahwa perkembangan sejarah itu ada hukum-hukumnya, sekalipun ia tak berhasil dalam usahanya. Ia juga tidak sependapat dengan Rousseau yang menyatakan bahwa sistem masyarakat komune primitif itu adalah masyarakat yang ideal. Ia berpendapat bahwa setiap tingkat proses perkembangan sejarah masyarakat, bagaimanapun juga adalah lebih baik dan lebih maju daripada tingkat yang mendahuluinya, karena masyarakat yang baru itu mendorong maju produksi, ilmu dan seni. Oleh karena itu, maka ia menyatakan bahwa zaman keemasan masyarakat manusia masih akan datang.

Fourier tidak hanya seorang kritikus, tetapi juga seorang satiris yang besar. Ia mengkritik dan mengecam masyarakat kapitalis secara tajam sekali. Menurut Fourier, dalam masyarakat kapitalis penumpukan kekayaan di satu pihak telah menimbulkan kemiskinan, di pihak lain kebahagiaan segolongan orang dibangun di dalam penderitaan segolongan orang lainnya. Dari sebab itu, sistem masyarakat yang demikian itu telah merusak kepribadian manusia, menekan perasaan, pikiran dan keinginan manusia. Ia mengkritik secara pedas hubungan sex dan kedudukan kaum wanita di dalam masyarakat borjuis. Ia adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa tingkat kebebasan kaum wanita di dalam suatu masyarakat merupakan ukuran tingkat kebebasan masyarakat keseluruhannya. Ia berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya adalah baik, yang menyebabkan manusia berbuat dosa adalah karena sistem masyarakat yang tak dapat memenuhi segala keinginan manusia. Tetapi suatu sistem masyarakat tidaklah abadi, melainkan ada masa-masa lahirnya, perkembangannya dan kehancurannya. Berdasarkan pikiran ini, maka ia menggambarkan sistem masyarakat yang akan datang. Menurut pendapatnya, masyarakat yang akan datang berbasiskan “phalange” (persekutuan-hidup) yang terdiri dari berbagai cabang produksi. Setiap anggota “phalange” itu mempunyai hak bekerja menurut keinginannya .kerja merupakan suatu kebutuhan, suatu kenikmatan, karena dalam “phalange” itu telah tiada kesempitan ruang kerja, setiap anggota dalam satu hari kerja dapat berpindah beberapa kali dari satu lapangan pekerjaan ke lapangan pekerjaan lainnya, dengan demikian dapat memenuhi watak “segi-banyak” manusia. Dalam masyarakat yang akan datang itu, kepentingan perseorangan bersesuaian dengan kepentingan kolektif. Harga-diri manusia dalam sistem masyarakat itu demikian tingginya sehingga tak dikenal lagi rintangan yang “tak mungkin” diatasi. Kemakmuran kekayaan materiil masyarakat meningkat terus menerus berkat perkembangan daya cipta kerja dan peningkatan produktivitas kerja. Dan untuk itu, maka sistem distribusinya berdasarkan pada prestasi dan keahlian kerja. Sistem masyarakat yang demikian itu, menurut Fourier, dapat dicapai dengan jalan damai tanpa kekerasan revolusi. Bahkan sistem “phalange” itu dapat juga dilaksanakan di dalam masyarakat borjuis. Oleh karenanya ia pernah meminta bantuan kaum borjuis untuk melakukan percobaan-percobaannya dengan pembagian hasil sbb.: 4/12 untuk peserta modal, 5/12 untuk pekerja menurut jumlah kerjanya dan 3/12 untuk pekerja menurut keahliannya. Tetapi usaha-usahanya ini dengan sendirinya mengalami kegagalan.

3. Sosialisme Marx

Pada tahun-tahun 40-an abad ke-19, seiring dengan perkembangan kapitalisme maka, maka antagonisme antara kelas borjuis dengan kelas proletar makin menajam dan menonjol. Gerakan kelas proletar sudah berkembang demikian hebatnya sehingga merupakan suatu kekuatan politik yang mau tak mau harus diakui oleh semua kekuasaan di Eropa pada ketika itu. Justru dalam keadaan demikian inilah lahir Sosialisme ilmu, yang merupakan salah satu bagian daripada Marxisme, sebagai pernyataan kelas proletar akan cita-cita dan tujuan perjuangannya: membebaskan dirinya dan seluruh umat manusia dari kemiskinan dan kemelaratan, dari segala bentuk penghisapan dan penindasan atas manusia oleh manusia, dan untuk membangun dunia baru – dunia sosialis.

Berbeda dengan ajaran-ajaran Sosialisme Utopi yang sangat banyak corak agamanya pada ketika itu. Sosialisme ilmu Marx tidak berdasarkan semata-mata pada “kemauan baik” dan “akal” subjektif, melainkan berdasarkan pada hukum objektif perkembangan sejarah masyarakat manusia. Ketika Marx meninggal, dalam pidatonya di depan makan Marx, Engels berkata: “Sebagaimana Darwin menemukan hukum perkembangan alam organic, demikian pula Marx menemukan hukum perkembangan sejarah manusia”.[60] (kurs’f dari saya – DNA). Penemuan Marx yang besar ini telah mendatangkan revolusi dalam pandangan sejarah manusia. “Kekacauan dan kesewenang-wenangan yang sampai saat itu menguasai pandangan-pandangan tentang sejarah dan politik, digantikan oleh teori yang sangat padat dan harmonis”.[61]

Menurut ajaran Marx perkembangan sejarah masyarakat tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan apapun yang berada di luarnya, melainkan oleh kekuatan-kekuatan apapun yang berada di dalam masyarakat itu sendiri; juga tidak ditentukan oleh “ide” atau “akal” seseorang raja atau pemimpin besar dari masyarakat, melainkan oleh cara manusia menghasilkan kebutuhan hidup materiilnya, yaitu cara produksi.

Diproklamasikannya Manifes Partai Komunis dalam tahun 1848 adalah justru merupakan jawaban atas tugas sejarah manusia yang ditimbulkan dalam situasi dimana manusia menyadari akan bentrokan-bentrokan yang terjadi antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi dalam cara produksi kapitalis yang diwujudkan terutama dalam bentuk perjuangan kelas yang antagonis antara borjuasi dengan proletariat. Dalam tulisan itulah Marx dan Engels secara lengkap dan sistematis menjelaskan perwujudan konkret berlakunya hukum umum perkembangan masyarakat tersebut di dalam dalam masyarakat kapitalis, sehingga mereka mencapai kesimpulan bahwa “apa yang dihasilkan oleh borjuasi ialah, terutama sekali, penggali-penggali liangkuburnya sendiri (proletariat)” dan “keruntuhan borjuasi dan kemenangan proletariat adalah sama-sama tidak dapat dielakkan lagi”.[62]

Dalam tahun 1913, dengan sebuah tulisan yang berjudul Nasib Sejarah Ajaran Karl Marx, Lenin secara tajam telah memberi penilaian akan kebenaran ajaran Marx tersebut berdasarkan pengalaman sejarah semenjak dilahirkannya sampai pada saat itu. Dalam penilaian itu dikemukakan bahwa ajaran Marx telah mengalami pengujian tiga masa sejarah:

1. Dari Revolusi 1848 (di negeri-negeri Eropa) hingga Komune Paris (1871): Dalam masa yang penuh dengan pergolakan-pergolakan dan revolusi-revolusi ini telah dibuktikan bahwa hanya kelas proletar sendirilah yang berwatak sosialis, dan semua ajaran tentang Sosialisme non-kelas dan politik non-kelas adalah omong kosong belaka dan satu persatu mati terbentur oleh praktek sejarah; sedang kebenaran ajaran Marx – Sosialisme ilmu, makin nyata dan melahirkan kekuatan-kekuatan materiilnya, yaitu terbentuknya Partai-partai proletar sebagai kekuatan politik yang berdiri sendiri dan terbentuknya Internasionale Pertama (1864-1872).

2. Dari Komune Paris sampai pada Revolusi Rusia (1905): Dalam masa yang relatif “damai” ini, kemenangan teoritis Marxisme telah memaksa musuh-musuhnya menyamar sebagai kaum Marxis dengan mengenakan baju “oportunisme sosialis” yang mengajarkan “perdamaian sosial”; sedangkan ajaran Marx memperoleh kemenangan yang penuh dan tersebar luas, barisan-barisan proletariat di bawah pimpinan partainya sedang mengadakan latihan-latihan dengan menggunakan parlementerisme borjuis dan mengadakan penyaringan dan persiapan-persiapan untuk menghadapi pertempuran yang mendatang.

3. Semenjak Revolusi Rusia (1905): Masa ini merupakan zaman “taufan dunia” yang dimulai di Asia dan berkumandang ke Eropa. Dalam taufan revolusi-revolusi dan kebangkitan Rakyat-rakyat tertindas di negeri-negeri Asia dan semi-Asia ini telah ditunjukkan dengan jelas kelapukan dan kesekaratannya kapitalisme dan borjuasi; dan membikin Eropa modern menjadi suatu “tong mesiu”; sedangkan kekuatan proletariat di bawah ajaran Marx makin memberi dan mematang.

Akhirnya Lenin menyimpulkan: “Masing-masing dari ketiga masa yang besar dari sejarah dunia sejak lahirnya Marxisme itu telah memberikan pengakuan baru dan membawa kemenangan-kemenangan baru bagi Marxisme. Akan tetapi kemenangan yang lebih besar lagi bagi Marxisme, sebagai ajaran proletariat, sedang menanti di dalam masa sejarah yang sekarang sedang mendatang”.[63]

Apa yang diramalkan oleh Lenin dalam kesimpulannya tersebut di dalam, tak lama kemudian telah benar-benar menjadi kenyataan. Dalam tahun 1914 – jadi hanya setahun kemudian –. “tong mesiu” Eropa telah meledak. Dan dalam tahun 1917, taufan Revolusi Sosialis Oktober telah menghancurkan mata rantai kapitalisme dunia di Rusia. Kebenaran-kebenaran ajaran Marx – sosialisme ilmu, untuk pertama kalinya diwujudkan sepenuhnya dalam kenyataan di Rusia oleh kelas proletar dan Partainya. Kemenangan teoritis Marxisme kini telah berkembang menjadi kemenangan praktis.

Pengalaman sejarah selanjutnya hingga sekarang telah menunjukkan dengan kuatnya bahwa Sosialisme Marx yang sudah tumbuh dalam kenyataan di satu negeri itu tidak hanya tak dapat ditumpas mati oleh segala tipu daya yang busuk dan kejam dari kaum imperialis, malah kian hari kian tumbuh besar dan kuat, dan yang meliputi 1/3 dari seluruh penduduk dunia. Selain dari itu, sebagian terbesar gerakan buruh di seluruh dunia berpegang pada ajaran-ajaran Marx, sebagian besar Rakyat-rakyat yang sedang berjuang untuk kemerdekaan nasional dan demokrasi telah memilih jalan menuju ke Sosialisme. Sungguh tepat sekali rumusan dalam Pernyataan Bersama Wakil-wakil dari 91 Partai-partai Komunis dan Partai-partai Buruh pada tahun 1960 bahwa “Dewasa ini sistem sosialis dunia, dan kekuatan yang berjuang melawan imperialisme, untuk pengubahan sosialis atas masyarakatlah, yang menentukan isi pokok, aliran pokok dan ciri-ciri pokok perkembangan sejarah dari masyarakat. Usaha apapun yang dilakukan oleh imperialisme, usaha itu tidak dapat menghentikan kemajuan sejarah. Basis yang tepercaya telah diletakkan untuk kemenangan menentukan yang lebih lanjut dari Sosialisme. Kemenangan penuh Sosialisme tak terelakkan”.[64]Jadi, soalnya kini bukan lagi benar atau tidaknya Sosialisme ilmu Marx, melainkan lebih atau kurang cepatnya kemenangan penuh Sosialisme itu di seluruh dunia.

4. Cita-cita Sosialisme Di Indonesia

Proses perkembangan sejarah cita-cita Sosialisme yang demikian itu berlaku juga di Indonesia, sudah tentu, dengan kekhususan-kekhususan atau kepribadian-kepribadiannya yang ditentukan oleh syarat-syarat sejarah masyarakat Indonesia sendiri.

Sebagaimana sering dikemukakan oleh Presiden Sukarno dalam pidato-pidatonya, cita-cita akan suatu masyarakat yang adil dan makmur atau “Sosialisme” juga sudah lama terdapat di Indonesia. Cita-cita demikian itu dapat kita jumpai melalui dongengan-dongengan yang hingga kini masih berakar luas di kalangan Rakyat kita, misalnya, cerita-cerita tentang Ratu Adil, atau cerita-cerita tentang wayang, antara lain sebagaimana sering ditunjukkan oleh Presiden Sukarno, tentang keadaan kerajaan Pandawa di Amarta, atau Kresna di Dwarawati, yang mencerminkan suatu “masyarakat ideal”. Menurut bahasa ki Dalang, “masyarakat ideal” itu demikian sempurnanya dalam kehidupan politiknya sehingga “panjang punjung, panjang pocapane, punjung kewibawane”, yang menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita politik dan berarti: “Negaranya adalah begitu termasyhur sehingga diceritakan orang panjang-lebar sampai keluar negeri, dan bahwa Negara itu berwibawa tinggi sekali”; bahwa situasi perekonomiannya adalah: “hapasir hawukir ngadep segara kang bebandaran, hanengenake pasabinan. Bebek ayam rajakaya, enjangmedal ing pangonan, surup bali ing kandange dewe-dewe. Wong kang lumaku dagang rinten dalu tan wonten pedote, labet saking tan wonten sangsayaning margi”; yang menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita ekonomi, dan berarti bahwa “negaranya penuh dengan bandar-bandar, sawah-sawah, dan begitu makmurnya hingga tidak ada pencuri-pencuri. Itik ayam, ternak pagi-pagi keluar sendiri ke tempat angon, kalau sudah magrib pulang sendiri ke kandangnya. Orang berjalan dagang siang dan malam tidak ada putusnya, karena tidak ada gangguan dijalan”; bahwa susunan masyarakatnya adalah: “tata-tentram, kerta raharja, gemah ripah, loh jinawi”; yang menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita sosial, dan berarti bahwa “negaranya adalah teratur, tenteram, orang bekerja aman, orangnya ramah-tamah, berjiwa kekeluargaan dan tanahnya subur”.[65]

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, setelah imperialisme Belanda menancapkan kakinya di tanah air kita dengan segala kekerasan dan kekejaman menindas perlawanan-perlawanan bersenjata Rakyat kita, maka kemiskinan dan kemelaratan merajalela sangat mendalam dan merata di kalangan Rakyat Indonesia. Dalam keadaan demikian inilah kita menjumpai tumbuhnya ajaran dan gerakan Saminisme yang cukup besar pengaruhnya di kalangan Rakyat tani kita, misalnya di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Walaupun ajaran Saminisme itu lebih banyak mengenai etika, tetapi dalam pandangan sosialnya terdapat pikiran-pikiran yang maju, yang oleh penjajah dipandang sangat membahayakan kedudukannya. Misalnya, mereka berpendapat di antara manusia sesamanya adalah saudara, tiada hubungan saling menindas dan saling menghisap, melainkan saling bantu dan saling hormat, pendeknya gotongroyong. Mereka juga berpendapat bahwa bumi dan alam Indonesia adalah milik bersama Rakyat Indonesia, setiap orang Indonesia berhak melakukan usaha-usahanya di dalam buminya sendiri dan memiliki hasil kerjanya sendiri. Berdasarkan pikiran inilah mereka menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Bentuk perlawanan Rakyat Indonesia secara “damai” inipun ditindas oleh kaum penjajah dengan kekerasan, beberapa pemimpin kaum Samin ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan. Dengan tumbuhnya gerakan nasional yang dipelopori oleh kelas buruh Indonesia, maka gerakan kaum Samin mengalami masa surutnya dan kini hanya merupakan suatu sekte ajaran kebatinan.

Bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kelas buruh Indonesia sebagai akibat langsung dari pertumbuhan imperialisme di tanah air kita pada awal abad ke-20, maka tumbuhlah ajaran dan cita-cita Sosialisme ilmu Marx di bumi Indonesia. Sejak berdirinya PSDH (Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia – Indische Sociaal-Democratische Vereniging – ISDV) dalam tahun 1914 cita-cita Sosialisme ilmu mulai diperkenalkan. Dan sejak kemenangan Revolusi Sosialis Oktober Besar 1917 di Rusia yang menggemparkan seluruh dunia itu, Sosialisme tidak hanya sudah sangat popular, malah sangat digandrungi oleh Rakyat Indonesia. Kelas buruh Indonesia menjadi sadar dan gerakannya maju pesat di bawah pimpinan barisan pelopornya, yaitu Partai Komunis Indonesia yang didirikan pada tanggal 23 Mei 1920. Kelas buruh Indonesia di bawah pimpinan Partainya segera menyadari bahwa pembebasan mereka hanya bisa tercapai apabila seluruh tanah air dan bangsanya sudah dapat dibebaskan dari belenggu kolonialisme dan imperialisme; dan kemerdekaan nasional itu hanya bisa dicapai sepenuhnya apabila kelas buruh Indonesia dapat dan mampu memimpin perjuangan revolusioner itu. Berdasarkan kesadaran dan keyakinan inilah maka kelas buruh Indonesia di bawah pimpinan Partainya sejak itu selalu berdiri digaris paling depan dan selalu paling konsekuen dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dan untuk kemerdekaan nasional, sehingga pengaruh kaum Komunis Indonesia dan ide Sosialisme sangat besar di kalangan Rakyat pekerja.

Begitu luas dan kuatnya pengaruh Sosialisme di kalangan Rakyat Indonesia sehingga pemimpin-pemimpin Sarikat Islam pada ketika itu, seperti almarhum H.O.S. Tjokroaminoto tidak mau ketinggalan ikutserta mengangkat panji “Sosialisme” dengan menyatakan bahwa ajaran Islam adalah anti-kapitalisme dan sesuai dengan Sosialisme sebagaimana dapat kita ketahui dari tulisan beliau yang terkenal dengan judul Islam dan Sosialisme.

Dalam tahun 1933, dalam tulisannya Mencapai Indonesia Merdeka, Bung Karno merumuskan hasrat Rakyat Indonesia dengan tegas bahwa Indonesia Merdeka bukanlah tujuan terakhir dari perjuangan Rakyat jelata Indonesia, melainkan yang adil dan sempurna, dimana tiada tindasan dan hisapan, tiada keningratan dan keborjuisan, tiada imperialisme dan kapitalisme, dan tiada kelas-kelasan. Dan untuk itu maka dicanangkan oleh Bung Karno: “Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan, - sekalipun suatu jembatan emas! – yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprayitnaan, jangan sampai di dalam jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh orang lain selainnya Marhaen. Seberang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia Keselamatan Marhaen, datu ke dunia sama-ratap-sama-tangis. Celakalah Marhaen, bilamana Kereta itu masuk ke atas jalan yang kedua, menuju ke alamnya kemodalan Indonesia dan keborjuisan Indonesia! Oleh karena itu, Marhaen, awaslah awas! Jagalah yang Kereta Kemenangan nanti tetap di dalam kendalian kamu, jagalah yang politieke macht nanti jatuh di dalam tangan kamu, di dalam tangan besi kamu, di dalam tangan baja kamu!”[66] dan “jangan sampai politieke macht itu jatuh ke dalam tangannya pihak borjuis dan ningrat Indonesia”.[67]

Di dalam tulisan lain Marhaen dan Proletar (tahun 1933), Bung Karno menjelaskan: “Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain”. Marhaen menurut pengertian ini adalah sama dengan Rakyat pekerja. Di dalam perjuangan Rakyat Indonesia, menurut Bung Karno “kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali”, sebab, kata Bung Karno, “kaum proletarlah yang lebih ‘mengerti’ akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Mereka lebih ‘selaras zaman’, mereka lebih ‘nyata pikirannya’, mereka lebih ‘konkret’, dan ………. mereka lebih besar harga-perlawanannya, lebih besar gevechtswaardenya dari kaum yang lain-lain”. Maka, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar”.[68]

Jadi, jelaslah bahwa walaupun pada waktu itu di Indonesia belum terdapat pengertian teoritis yang dalam tentang Sosialisme, tetapi Rakyat pekerja secara sadar sudah menentukan arah perjuangannya, yaitu dengan melewati kemerdekaan nasional menuju ke masyarakat sosialis.

Seiring dengan perkembangan situasi internasional, terutama sesudah Perang Dunia kedua dimana Sosialisme tumbuh makin besar dan kuat, sedang kapitalisme makin lapuk dan sekarat, maka pengertian Rakyat pekerja Indonesia tentang Sosialisme tidak lagi abstrak dan remeng-remeng, melainkan makin jelas dan konkret, dan ditambah pula dengan pengalaman perjuangannya sendiri, sejak meletusnya Revolusi Agustus 1945, sangat memperkuat keyakinan Rakyat pekerja Indonesia akan kebenaran tujuan perjuangan yang sudah lama ditetapkannya.

Dalam amanatnya kepada Depernas pada tanggal 28 Agustus 1959. Presiden Sukarno mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu Negara yang dilahirkan ditengah-tengah konfrontasi-konfrontasi sistem sosial dunia: “(a) Di satu pihak kapitalisme modern yang kehilangan tanah jajahannya sebagai cadangan dan yang dari krisis ke krisis sedang memasuki krisis umumnya menuju kebangkrutan sepenuhnya, (b) di pihak lain Sosialisme yang tumbuh dan sedang berkembang dengan kuat dan sebagai tandingannya memperlihatkan keunggulannya di semua lapangan terhadap kapitalisme modern (imperialisme)” dan Indonesia “tidak mau menempuh jalan dunia lama (kapitalisme)”.[69] Ini berarti bahwa zaman kapitalisme bagi Indonesia sudah lampau, hari depan Indonesia yang jaya bukanlah kapitalisme yang sedang mati itu, melainkan Sosialisme.

Tekad Rakyat Indonesia demikian itu makin kuat lagi setelah pengalamannya yang pahit selama 16 tahun akhir-akhir ini karena kereta revolusi dikusiri oleh orang-orang yang “telah menyeleweng dari Jiwa,dari Dasar, dan dari Tujuan Revolusi”.[70], sehingga “nangka” – kemenangan politik – yang dihasilkan oleh Rakyat dengan darah dan keringatnya itu dimakan hanya oleh beberapa gelintir manusia, sedang Rakyat sendiri hanya kebagian “getah”nya saja. Dari sebab itu, dalam amanatnya kepada Depernas seperti tersebut di dalam. Presiden Sukarno telah menandaskan untuk kesekian kalinya bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu sekedar hanyalah, “satu jembatan untuk menuju akhirnya mencapai kepada cita-cita bangsa Indonesia yang pokok, yaitu satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap warga negara dapat hidup sejahtera di dalamnya, satu masyarakat tanpa penindasan, satu masyarakat tanpa exploitation de I’homme par I’homme, satu masyarakat yang memberikan kebahagiaan kepada seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, satu masyarakat yang berulang-ulang menjadi inspirasi penegak semangat daripada segenap pejuang-pejuang Bangsa Indonesia dan telah memberikan korbannya di dalam persada perjuangan Bangsa Indonesia itu”, dan “masyarakat yang demikian itu, …….. masyarakat sosialis á la Indonesia adalah amanat penderitaan daripada segenap Rakyat Indonesia, yang ……. kita sekarang harus merealisasikan”.[71]

Jelaslah kiranya bahwa “Sosialisme Indonesia” sebagai haridepan Revolusi Indonesia itu bukanlah semata-mata suatu ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht’ (dalam suatu malam yang tidak tidur), seperti pernah dikatakan oleh Presiden Sukarno, juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen” (perlawanan penentangan daripada anasir-anasir tertekan), suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische Notwendigheit”, suatu keharusan sejarah. Sebagai keharusan sejarah, tidaklah berarti, sebagaimana berulangkali dikatakan oleh Presiden Sukarno, bahwa “Sosialisme datang sebagai embun di waktu malam dengan sendirinya”[72] tetapi hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan manusia, kesadaran dan tindakan Rakyat pekerja.

* * *

Demikianlah uraian saya Tentang Marxisme. Saya telah menguraikan kepada Saudara-saudara tiga bagian dari Marxisme, yaitu Filsafat, Ekonomi Politik dan Sosialisme Ilmu. Saya merasa berhasil jika uraian-uraian ini dapat merangsang Saudara-saudara untuk mempelajari lebih lanjut Marxisme. Uraian ini tidak dimaksudkan lebih daripada itu. Marxisme adalah ilmu, maka sebagaimana dikatakan oleh Engels, hal itu meminta “supaya ia dituntut sebagai ilmu, yaitu supaya ia dipelajari”.[73] Sebagai ilmu, Marxisme akan terus berkembang, dikembangkan dan diperkaya oleh pengalaman-pengalaman gerakan revolusioner tiap-tiap negeri dan sedunia. Pada ketika kapitalisme mulai memasuki tingkat perkembangannya yang tertinggi dan yang terakhir, yaitu imperialisme, W. I. Lenin telah mengembangkan serta memperkaya Marxisme, khususnya dengan ajaran-ajarannya mengenai imperialisme dan revolusi sosialis. Dengan berpangkal pada teori Lenin mengenai revolusi sosialis itulah kelas buruh Rusia untuk pertama kalinya dalam sejarah dapat memenangkan revolusi sosialis, menegakkan negeri sosialis yang pertama di dunia dan dengan demikian mengubah cita-cita ilmiah Marx dan Engels menjadi kenyataan. Ajaran-ajaran Lenin itu atau juga disebut Leninisme tidak hanya mempunyai arti penting nasional untuk Rusia, tapi telah terbukti sangat berharga bagi tercapainya kemenangan revolusi di semua negeri. Oleh sebab itu, Leninisme adalah tidak lain daripada Marxisme pada zaman kita, zaman imperialisme dan revolusi sosialis dunia. Dan ajaran-ajaran Marx dan Lenin ini menjadi terkenal dengan sebutan Marxisme-Leninisme.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa marxisme, atau Marxisme-Leninisme adalah pedoman untuk beraksi, jadi tidak ada persamaannya dengan tumpukan-tumpukan mantra atau jampi yang “dapat mengobati segala macam penyakit”. Marxisme baru ada gunanya jika diterapkan secara kreatif. Marxisme adalah pedoman umum dan universal. Oleh karena itu, untuk memenangkan revolusi Indonesia, Marxisme harus “di-Indonesiakan”, artinya harus diterapkan sesuai dengan kondisi-kondisi Indonesia. Dengan berpegang teguh pada ajaran-ajaran fundamental Marxisme atau Marxisme-Leminisme, kaum Marxis Indonesia harus secara kreatif menentukan sendiri politik taktik bentuk perjuangan dan bentuk organisasinya berdasarkan keadaan-keadaan konkret di Indonesia.

Jakarta, pertengahan Februari 1969


Catatan:

[1] W. I. Lenin, Tentang Ajaran-Ajaran Karl Marx, dalam Pustaka Kecil Marxis No. 1, Yayasan “Pembaruan”, cetakan ke-III, 1961, hlm. 10.

[2] Idem, halaman 6.

[3] F. Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, dalam Marx, Engels, Selected Works, jilid II, Foreign Languages Publishing House (FLPH), 1958, hlm. 370.

[4] Idem, hlm. 377.

[5] F. Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, dalam Marx, ENGels, Selected Works, jilid II, FLPH, 1958, hlm. 369.

[6] Fundamentals of Marxism-Leninism, FLPH, Moskow, hlm. 52.

[7] H.K. Wells, Pragmatism, Philosophy of Imperialism, International Publishers, New York, halaman 18.

[8] P. H. Holbach, dalam Sisteme de la nature.

[9] P. H. Holbach, Surat Kepada Uegenie, dalam Pikiran Sehat, Penerbitan Akademi Ilmu URSS, Moskow 1956; atau dalam Dasar-Dasar Filsafat Marxisme, Penerbitan Akademi Ilmu URSS, Moskow, 1958, bahasa Rusia, halaman 65.

[10] K. Marx, Kata Susulan Capital, vol. I, FLPH, 1958 bahasa Inggris, hlm. 19 – 20.

[11] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH, 1958, edisi bahasa Inggris hlm. 19.

[12] W. I. Lenin, Apa Yang Harus Dikerjakan, Yayasan “Pembaruan”, 1957, hlm. 30.

[13] F. Engels, Dialectics of Nature, FLPH, Moskow 1954, hlm. 43.

[14] F. Engels, Anti-Dühring, edisi bahasa Inggris, FLPH, Moskow 1959, hlm. 86.

[15] F. Engels, Dialectics of Nature, FLPH, Moskow 1954, hlm. 51.

[16] Lenin Tentang Dialektika, Pustaka Kecil marxis, No. 19, JP, 1958, hlm. 4.

[17] Lenin Collected Works, Vol. 38, hlm. 359, FLPH 1967; atau Lenin, Tentang Dialektika, Pustaka Kecil Marxis, No. 19, JP 1958, hlm. 5.

[18] F. Engels, Anti Duhring, FLPH, Moskow 1959, hlm. 166.

[19] Mau Tje-Tung, Tentang Kontradiksi, Jajasan “Pembaruan”, cetakan ke-3, 1960, hlm. 37.

[20] W. I. Lenin, Karl Marx dalam Books for Socialism: The Three Sources and Three Component Parts of Marxism, FLPH, Moscow, hlm. 25.

[21] F. Engels, Anti Duhring, FLPH, Moscow 1959, hlm. 186-187

[22] W.I. Lenin, Karl Marx dalam Books for Socialism: The Tree Sources And Three Component Parts Of Marxism, FLPH, bahasa inggris, hlm. 28.

[23] K. Marx, Tesis-tesis Tentang Feuerbach, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, th. 1958, bahasa Inggris, hlm. 405.

[24] F. Engels, Pidato Didepan Makam Marx, dalam marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, bahasa Inggris, hlm. 167.

[25] K. Marx, Kerja-upahan dan Kapital, Yayasan “Pembaruan”, hlm. 32.

[26] F. Engels, Surat Kepada C. Schmidt, 5 Agustus 1890, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH 1958, bahasa inggris hlm. 486.

[27] F. Engels, Surat Kepada J. Bloch, 21 September 1890, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, bahasa Inggris, hlm. 490.

[28] Idem, hlm. 488.

[29] F. Engels, Surat Kepada F. Mehring, 14 Juli 1893, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, bahasa Inggris, hlm. 499.

[30] Idem, hlm. 27.

[31] W.I. Lenin, The Three Sources And Three Component Parts of Marxism, Books For Socialism, FLPH, hlm. 31.

[32] K. Marx, Rancangan Surat kepada Vera Zasulitsj

[33] K. Marx dan F. Engels, Manifes Partai Komunis, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, cetakan ke-III, 1959, hlm. 49.

[34] W.I. Lenin, Negara, Yayasan “Pembaruan”, hlm. 10-11.

[35] F. Engels, Asal-usul Keluarga, Hak milik perseorangan dan Negara, Marx, Engels, Selected Works, penerbitan FLPH, Moskow 1955, Vol. II bahasa Inggris, hlm. 317-318

[36] K. Marx, Capital, Vol. I, penerbit FLPH Moskow, 1958, hlm. 35.

[37] W. I. Lenin, Tentang Dialektika, Pustaka Kecil Marxis, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1959, hlm. 7.

[38] Idem, hlm. 37.

[39] Idem, hlm. 36.

[40] K. Marx, Capital, Vol. I, penerbitan FLPH, hlm. 46.

[41] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1958, hlm. 56.

[42] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 86-87.

[43] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1958, hlm. 167.

[44] F. Engels dalam Kata Pengantar pada tulisan Marx Kerja-upahan dan Kapital, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1958, hlm. 5.

[45] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 537.

[46] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 233.

[47] K. Marx, Teori-teori tentang Nilai-Lebih, bagian kedua, Dietz verlag, Berlin, hlm. 545.

[48] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 644.

[49] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 763.

[50] W. I. Lenin, Imperialisme dan Perpecahan Di dalam kapitalisme, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1961, hlm. 3.

[51] W. I. Lenin, Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1958, hlm. 125.

[52] W. I. Lenin, dalam Bahan-bahan mengenai Revisi Program Partai.

[53] W. I. Lenin, Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme, J. P. 1958. Hlm. 124.

[54] W. I. Lenin, Perkembangan Kapitalisme di Rusia, FLPH, 1956, bahasa Inggris, hlm. 391.

[55] Lihat D.N. Aidit, Sosialisme Indonesia dan Syarat-syarat Pelaksanannya, Bab I, penerbitan Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, th. 1962.

[56] Kata pendahuluan Engels pada Edisi Jerman Tahun 1890 dalam Manifes Partai Komunis, Yayasan “Pembaruan”, cetakan ke-III hlm. 37-38.

[57] F. Engels, Socialism : utopian and scientific, FLPH, Moskow, th. 1958, hlm. 58.

[58] Rozenthal dan Judin, Kamus Filsafat, bahasa Rusia, cetakan ke-IV Moskow, 1955, hlm. 354.

[59] F. Engels, Socialism : utopianand scientific, FLPH, Moskow 1958, hlm. 68-69.

[60] F. Engels, Pidato didepan makam Marx, lihat marx-Engels Selected Works, Vol. II FLPH, Moskow 1949, hlm. 153.

[61] W. I. Lenin, Tentang Ajaran-ajaran Karl Marx, Pustaka Kecil Marxis No. 1, Yayasan “Pembaruan”, th. 1955, hlm. 9.

[62] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifes Partai Komunis, Cetakan ke-3, Yayasan “Pembaruan”, 1959 hlm. 67.

[63] W. I. Lenin, Nasib Sejarah Ajaran Karl Marx, dalam Pustaka Kecil Marxis No. 1, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, th. 1955, hlm. 23.

[64] Pernyataan Pertemuan Wakil-wakil Partai-partai Komunis dan Partai-partai Buruh, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1960, hlm. 8.

[65] Ruslam Abdulgani, Perkembangan Cita-cita Sosialisme di Indonesia, penerbitan Yayasan Perguruan Tinggi Malang, th. 1960, hlm. 9-10.

[66] Ir. Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, th. 1959, hlm. 315-316.

[67] Ir. Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, th. 1959, hlm. 287-288.

[68] Ir. Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, th. 1959, hlm. 253, 254 dan 256.

[69] Amanat Pembangunan Presiden, Penerbitan Khusus No. 179, Departemen Penerangan R.I., hlm. 99.

[70] Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959, Penerbitan Khusus No. 76, Departemen Penerangan cetakan ke-III, hlm. 34.

[71] Amanat Pembangunan Presiden, Penerbitan Khusus No. 179, Departemen Penerangan R.I, hlm. 54 dan 58.

[72] Presiden Sukarno, Mencapai Moralitas Tinggi, Penerbitan Khusus No. 149, Departemen Penerangan R.I., hlm. 11.

[73] F. Engels, The Peasant War in Germany, FLPH, Moskow, th. 1956, hlm. 34.