Aliarcham

Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya


Penerbit: Akademi Ilmu Sosial "Aliarcham", Jakarta, 1964. Scan Booklet PDF


KATA PENGANTAR

Dalam rangka Peringatan Lustrum I Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” dengan rasa kebanggan revolusioner kami sajikan buku kecil Aliarcham (Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya), sebuah tulisan yang kami terima sebagai sumbangan dari luar – dari Lembaga Sejarah PKI.

Nama Aliarcham yang telah menjiwai dan menghias Akademi kami adalah nama salah seorang perintis kemerdekaan nasional Indonesia, pejuang dan pendiri PKI yang terkenal, teguh serta seorang pahlawan nasional dan juga pahlawan proletar yang telah tewas di tempat pembuangan Digul, karena kegigihannya melawan kolonialisme Belanda. Aliarcham adalah tokoh tipikal yang mewakili angkatan Komunis Indonesia ketika itu.

Bukan orang lain kecuali Presiden Sukarno sendiri yang sering mengetengahkan kepada massa Rakyat tentang kepahlawanan Aliarcham dengan antara lain mensitir sebagian sajak yang pernah tercantum di makamnya yang terjemahannya dikenal sebagai berikut: “Obor yang dinyalakan di malam gelap gulita ini, kami serahkan kepada angkatan kemudian”.

Kami yakin bahwa penerbitan buku kecil Aliarcham ini tidak hanya akan disambut dengan hangat oleh para mahasiswa Akademi “Aliarcham” dan para kader revolusi lainnya, tetapi juga akan bermanfaat bagi setiap patriot lainnya.

Dengan pernyataan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Lembaga Sejarah PKI kami mengharap kepada para pembaca untuk memberikan kesan-kesan serta pendapat-pendapat bagi penyempurnaan penulisan buku kecil Aliarcham ini lebih lanjut.

Penerbit

Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham”

Jakarta, 1 Agustus 1964.

 

MASA MUDA

Aliarcham dilahirkan pada tahun 1901 di Asemlegi, kawedanan Juwana, kabupaten Pati, daerah Semarang. Orangtuanya seorang penghulu dan pemuka agama Islam yang terkemuka di daerah tersebut. Ia mendidik anaknya agar dapat mengikuti jejak penghudupan ayahnya di kemudian hari, dengan memasukkannya ke pesantren. Di samping itu kedudukannya yang terkemuka ini memungkinkan baginya untuk memasukkan anaknya bersekolah pada HollandsInlandseSchool (H. I. S. suatu sekolah dasar 7 tahun yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar). Belum banyak yang dapat diketahui tentang masa kecilnya ini, kecuali keterangan bahwa ia menempuh sekolahnya hanya dengan memakan waktu 6 tahun dan di dalam kelasnya ia selalu merupakan murid yang terpandai dan paling rajin.

Dari guru-guru agamanya, ia menerima ajaran-ajaran Saminisme tentang persamaan dan persaudaraan manusia, tentang gotong-royong dan tiada penindasan, tentang membenci dan melawan penjajah Belanda. Saminisme adalah suatu ajaran kebatinan dengan cita-cita Sosialisme spontan. Pemimpinnya sendiri kiyai Samin alias Sorontiko seorang petani dari Blora yang memulai gerakan kebatinan ini pada tahun 1887, telah ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tahun 1907 dan di buang ke Sawahlunto Sumatera, dan meninggal di sini pada tahun 1914. Pada awal abad ke –XX Saminisme sangat besar pengaruhnya di daerah Pati. Pada tahun-tahun belasan ternyata masih sangat besar cita-cita pengaruhnya bahkan sampai menimbulkan pemberontakan bersenjata 1917 di Rembang. Ketika pemberontakan ini terjadi, Aliarcham sudah menduduki sekolah Kweekschool voor Inlands Onderwijs (Sekolah guru bumiputera) di Ungaran. Ia sangat tertarik pada peristiwa ini dan teringat kembali pada pembicaraan-pembicaraan yang didengarnya dari salah seorang teman ayahnya tentang ajaran-ajaran Kiyai Samin. Ia pelajari keadaan ini dan mengetahui bahwa perlawanan kaum tani Rembang tersebut disebabkan oleh adanya peraturan-peraturan kenaikan pajak bumi baru, larangan pengambilan kayu hutan, pembayaran uang pengganti kewajiban heerendienst (kerja rodi), keharusan menjual ternak, dan sebagainya. Pemberontakan ini sangat memberikan pengaruh pada jiwa Aliarcham dan mendidiknya untuk membenci penjajahan Belanda.

Aliarcham sejak ini mulai gemar membaca suratkabar-suratkabar dan majalah-majalah, istimewa yang berisi perlawanan terhadap penjajahan seperti Sinar Hindia yang kemudian berubah menjadi Api, yang membawakan suara Sarekat Islam Merah. Suara Rakyat yang membawakan suara ISDV (Indische Sociaal Demokratische Vereniging = Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia), Het Vrije Woord juga membawakan suara ISDV, de Express suara kaum Nasionalis radikal yang dipimpin oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo dan majalah-majalah organisasi buruh lainnya. Dari pembacaan-pembacaan ini ia mulai berkenalan dengan Sosialisme ilmiah yang dipropagandakan oleh ISDV yang memusatkan kegiatannya di Semarang. Ia mencatatkan dirinya sebagai anggota Sarekat Islam Salatiga yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam Merah. Dengan perantaraan Prapto salah seorang pemimpin SI Merah, Aliarcham berkenalan dengan pemimpin-pemimpin SI dan ISDV seperti Semaun, Sneevliet, Dengah, Sukendar, dan lain-lain. Melalui Marxis-marxis terkemuka pada waktu itu, ia dapat membaca dan mempelajari lebih jauh tentang ilmu Sosialisme. Ia berkenalan dengan Manifes Partai Komunis dan lain-lain tulisan pemimpin-pemimpin Partai Sosial Demokratis (SDP) Belanda yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Nederland (CPN). Aliarcham mulai mengetahui bahwa pemimpin-pemimpin ISDV yang berkebangsaan Belanda seperti Sneevliet, Bergsma, van Burink, dan sebagainya adalah internasionalis-internasionalis yang dengan kesungguhan hati memihak perjuangan Rakyat Indonesia terhadap penindasan penjajah Belanda. Ia mulai melihat bahwa ada 2 macam Belanda, satu penindas dan yang lain menentang penindasan.

Masa sekolah Aliarcham di sekolah Guru Bumiputera adalah masa terjadinya kesulitan-kesulitan ekonomi di Indonesia sebagai akibat perang dunia pertama. Secara langsung pemerintah Belanda tidak terlibat dalam peperangan ini, tetapi secara tak langsung ia juga menerima akibat-akibat dan pengaruhnya. Politik penaikan pajak, pembelian dan pengumpulan padi rakyat secara paksa dengan harga murah, wajib kerja rodi, wajib milisi untuk membela kerajaan Belanda, telah mendorong tumbuhnya pemberontakan-pemberontakan rakyat di banyak tempat di Indonesia, seperti pemberontakan tani di bawah pimpinan Haji Hasan di Cimareme, Garut tahun 1917, pemberontakan Kelambit di Jambi tahun 1917, pemberontakan Sarekat Abang di Palembang tahun 1918, pemberontakan tani di Pontianak Kalimantan Barat tahun 1918, pemberontakan tani di Ternate tahun 1918. Revolusi Sosialis Oktober Besar tahun 1917 di Rusia telah memberikan pengaruh yang sangat besar kepada perjuangan Rakyat Indonesia. Suratkabar dan majalah-majalah revolusioner memuat peristiwa ini dengan kehangatan sambutan yang luar biasa. Semua peristiwa ini diikuti dan sangat mempengaruhi pikiran dan jiwa Aliarcham yang telah dijaluri oleh semangat revolusioner. Situasi ini sering dibicarakannya dengan teman-temannya sesekolah, tetapi di samping itu pelajaran sekolahnya tetap ditempuhnya dengan baik. Di antara teman-temannya ada yang menjauhinya karena takut terlibat dengan soal-soal politik. ada yang menasehatinya supaya hanya memikirkan pelajaran saja dulu dan sedikit ada yang mengaguminya sebagai seseorang yang berbakat dan mempunyai kecerdasan otak yang tajam. Tetapi semua temannya menganggap Aliarcham sebagai sahabatnya yang baik dan jujur serta dipercaya, karena ia selainnya seseorang yang bersifat sederhana, juga selalu mempunyai kesediaan untuk membantu teman-temannya yang terbelakang dalam pelajarannya.

Aliarcham sangat mengagumi Sneevliet, salah seorang sosial-demokrat revolusioner Belanda dan pemimpin ISDV yang terkemuka. Pembelaaan Sneevliet di muka pengadilan negeri Semarang November 1917 yang dituduh menghasut rakyat Indonesia memberontak melawan penjajahan Belanda dalam tulisannya menyambut Revolusi Februari Rusia 1917 – pembelaan mana setelah dibukukan setebal hampir 300 halaman yang isinya menggugat imperialisme Belanda – dipelajari oleh Aliarcham dengan teliti dan penuh minat. Dan buku ini sangat membantunya untuk mengenal keadaan Indonesia dari sudut pandangan klas buruh.

Ketika PKI lahir 23 Mei 1920 sebagai kelanjutan dari ISDV, Aliarcham sudah menduduki bangku pendidikan Sekolah Guru Atas (Hogere Kweekschool) di Purworejo. Perjuangan massa revolusioner yang meningkat cepat di bawah pimpinan proletariat, yang dicerminkan oleh tulisan-tulisan di suratkabar-suratkabar yang semakin radikal menentang penjajahan, pemogokan-pemogokan serikat buruh, demonstrasi-demonstrasi massa, rapat umum-rapat umum massa, pemboikotan-pemboikotan radikal terhadap parayaan-perayaan resmi pemerintah, dan sebagainya telah sangat mempengaruhi dan membakar semangat perlawanan Aliarcham. Ia melihat “sorga kehidupan” dalam perjuangan massa yang heroik. Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah ia mulai bertindak radikal terhadap gurunya yang berkebangsaan Belanda. Ia berani mengadakan perdebatan dengan gurunya dalam hal mata pelajaran sejarah, tetapi ia tetap seorang murid yang terpandai dalam kelasnya, istimewa dalam mata pelajaran aljabar. Seringkali ia diperingatkan oleh gurunya agar menghentikan ke”bandel”annya dan kegiatan politiknya, tetapi tidak diperdulikan olehnya. Tahun 1921 ia mencatatkan diri sebagai anggota PKI, disampingnya ia masih terus menjadi anggota SI Merah. Ia sangat menyetujui kritik-kritik yang diberikan di suratkabar-suratkabar terhadap kelemahan dan kesalahan-kesalahan politik yang dijalankan oleh golongan kanan SI. Kritik-kritik ini disebarkannya kepada teman-teman sekolahnya, di samping itu ia menyebarkan fikiran-fikiran proletariat. Ia mendidikkan kepada teman-temannya supaya membenci sikap yang menghinakan diri, membungkuk-bungkuk kepada atasan dan kepada Belanda. Ia sendiri memberi contoh kepada teman-temannya. Ketika akan memasuki ruangan sekolah, selainnya ucapan salam, ia tidak mau membungkuk-bungkuk. Ketika ia sudah dekat akan menempuh ujian terakhir, ia diancam oleh gurunya supaya meninggalkan segala kegiatan propaganda politiknya dan kalau kegiatan-kegiatan itu tidak dihentikannya maka dia akan diberhentikan dan tidak dibolehkan mengikuti ujian. Teman-teman sekolahnya menganjurkan agar dia menghentikan kegiatannya dulu untuk dapat menempuh ujian terakhir. Tetapi Aliarcham melawan ancaman ini dan jiwanya memberontak terhadap penghinaan yang dihamburkan gurunya atas perjuangan Rakyat Indonesia, yang dikatakannya pekerjaan orang-orang bodoh, buta huruf dan pengacau-pengacau ketenteraman masyarakat dan keamanan pemerintah. Ia menahan kemarahan hatinya. Suatu ketika ia dipanggil dan “dinasehati” oleh guru-kepalanya. Untuk kedua kalinya didengarnya lagi ancaman dan penghinaan serta ejekan yang dilemparkan terhadap perjuangan Rakyat dan nama beberapa pemimpin rakyat, ia menahan kegeramannya dan tidak berkata sepatah katapun. Dan ketika akan meninggalkan ruangan, pintu dihempaskannya menutupnya. Guru kepala kaget, marah, memanggilnya kembali dan berkata, bahwa mulai hari tersebut Aliarcham dikeluarkan dari sekolah. Aliarcham menyambut putusan itu dengan tenang dan dengan ketetapan hati yang teguh ia berkata: “Tuan takkan dapat mematikan semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawan penjajahan Belanda”. Berhenti dari sekolah Aliarcham terus menuju ke Semarang, ke kantor Penguru Besar PKI dan SI Merah untuk memulai penghidupannya yang baru.

MASA DALAM PERGERAKAN REVOLUSIONER, 1922-1925

Aliarcham diusir dari sekolah oleh gurunya pada tahun 1922. Ia memulai pekerjaan politiknya dan menyatukan dirinya dengan perjuangan rakyat. Ia mulai aktif memberikan pendidikan Marxisme di kalangan anggota-anggota PKI dan SI Merah. Sebagai seorang yang mempunyai pendidikan guru ia pun mencurahkan perhatian yang besar di lapangan ini. Dan sebagai seorang intelektuil, ia sangat membenci kaum intelektual yang tidak mau tahu dan bermasa bodoh terhadap nasib rakyat dan bangsanya yang dihina oleh penjajahan. “Kaum intelektual Indonesia hendaknya merasa malu kepada intelektual kelas buruh Belanda seperti Sneevliet yang berjuang untuk kemuliaan rakyat Indonesia”, demikian kata-katanya yang seringkali diulanginya kepada kaum intelektual. Sebagai seorang yang pernah mendapatkan pendidikan pesantren Islam di masa kecilnya, bahkan pernah memahamkan ajaran-ajaran kebatinan “Persamaan dan gotong-royong” dari Saminisme, kini sesudah ia mendapatkan pengetahuan tentang Sosialisme ilmiah, ia mulai membenci pemimpin-pemimpin yang berkedok agama tapi melakukan politik kolaborasi dengan pemerintahan jajahan untuk mendapatkan kursi Volksraad. Ketika pertentangan antara SI Putih dan SI Merah dalam SI semakin mendalam dan bertambah tajam dalam menentukan garis perjuangan yang harus dilakukan terhadap penjajahan Belanda dan sesudah kongres SI tahun 1922 melakukan “Partai disiplin” terhadap anggota-anggotanya yang memasuki PKI, maka Aliarcham dalam satu konferensi gabungan PKI dan SI Merah bulan Maret 1923 di Bandung, mengusulkan agar nama SI Merah dirubah menjadi Sarekat Rakyat, dengan tujuan untuk dapat menarik garis pemisah yang tegas antara yang putih dengan yang merah. Usulnya ini diterima dengan suara bulat. Sejak ini Sarekat Rakyat atau yang lebih dikenal dengan singkatan SR saja, dengan cepat tersebar terutama di seluruh Jawa. SR sangat cepat populer di kalangan rakyat dan ia segera mendapatkan karakter massanya yang luas. Konferensi Maret 1923 ini memilih Aliarcham sebagai ketuanya dan pribadinya segera menjadi tokoh yang menjiwai kehidupan SR selanjutya, Konferensi Bandung ini sangat penting artinya bagi perkembangan politik Aliarcham, di sini ia memajukan beberapa pikiran antara lain sebagai berikut:

Ada kaum intelektual yang tidak suka campur dengan pergerakan kita karena merasa malu, tetapi mereka juga akan berhubungan dengan pihak sana juga tidak laku, paling-paling jadi orang suruhan. Jadinya lalu berdiri jadi kelas menengah. Tapi kita kaum intelektual proletar berjuang untuk mendirikan kultur baru, dimana tidak terjadi orang minum darah orang lain. Dari sekarang pendidikan harus dimulai dari sekolah rendahan. Kita harus banyak membangun sekolah untuk anak-anak rakyat kita. Di sekolah ini bukannya mengajar orang takut sama pemerintah tapi mendidik rasa merdeka dan rasa berkumpul dan nafsu berjuang melawan pemerintahan”.

(sk, “Sinar Hindia” 28-3-1923)

Tahun 1923 adalah tahun mulai pasang naiknya perjuangan revolusioner rakyat Indonesia, dicirii oleh pemogokan-pemogokan besar buruh kereta api bulan Mei, yang disertai oleh penangkapan-penangkapan besar atas pemimpin-pemimpin buruh berdasarkan art. 161 bis yang melarang pemogokan dan sangat mengekang kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Di samping pemogokan terjadi pula pelemparan-pelemparan granat ke rumah pembesar-pembesar Belanda dan pemboikotan terhadap perayaan-perayaan resmi pemerintah yang memuliakan kerajaan. Atas bermacam-macam peristiwa ini, pemerintah kolonial mencurigai pemimpin-pemimpin PKI dan SR sebagai biang-keladinya. Banyak yang ditangkapi antara lain K. H. Misbach.

Aliarcham, yang sejak keluarnya dari sekolah selalu diikuti sepak-terjangnya, tidak lepas dari kecurigaan pemerintah, tetapi untuk menangkapnya pemerintah ketiadaan alasan dan bukti. Dan ini baru diperdapatnya, ketika Aliarcham dikenakan pelanggaran bicara dalam satu rapat umum SR di Semarang tanggal 7 Oktober 1923. Semula, dalam bulan Mei Aliarcham sudah akan ditangkap karena kegiatannya berpropaganda dan mengorganisasi secara rahasia persiapan pemogokan buruh kereta api di daerah Jawa Timur yang dipusatkan di Surabaya, tetapi tidak jadi dilaksanakan. Sesudah rapat umum Semarang tersebut di atas, ia ditangkap pada tanggal 20 Oktober 1923. Tuduhan yang dijatuhkan kepadanya adalah melakukan penghinaan terhadap alat-alat negara pamongpraja yang melakukan tugasnya. Dalam rapat umum itu Aliarcham mengatakan:

“Pergerakan buruh tidak dibikin-bikin tetapi timbul sendiri dari penindasan. Pihak reaksi berkata, yang orang Jawa bodoh dan sabar hati. Sesuka Belanda menghina kita dan dipandang kita seperti binatang yang menurut saja buat dikerjakan. Dimana ada penindasan di situ timbul satu pergerakan yang hendak menghilangkan penindasan itu. Kemajuan kapitalisme menimbulkan pergerakannya ISDV yang sekarang berganti nama menjadi PKI, yaitu perhimpunan yang melawan kapitalisme. Sedang Budi Utomo menuntut baiknya pelajaran saja tapi apa gunanya pelajaran jika perut kosong?

“Bom-boman yang terjadi itulah buahnya hati panas. Orang yang mengebom Gouverneur General Fock tentu mempunyai sebab, karena merasa terjepit. Pada pesta raja di Semarang terjadi juga pelemparan bom, pertanda telah timbul keberanian di dada orang, menyatakan kemarahannya dan protes atas pesta yang diadakan waktu kemiskinan rakyat itu.

Kita memberi ingat bahwa kaum buruh tidak bisa dirintangi kemajuannya dan nasib yang jelek membawa dia ke kemajuan. Kaum ambtenaar tidak meraportkan keadaan rakyat yang sesungguhnya. Ia takut kalau keadaan rakyat dinyatakan jelek, ia tidak dapat mendapatkan kenaikan pangkat. Kaum priyayi kita namakan TOGOG. Yang harus memperbaikkan penghidupan rakyat harus rakyat sendiri. Untuk ini perlu kemerdekaan. Kalau musuh bisa menahan angin, mereka baru bisa bikin mati pergerakan kita.

(sk “Sinar Hindia” 8-10-1923)

Dalam tahanan Aliarcham bertemu dengan kawan-kawannya yang telah terlebih dahulu ditangkap karena pelanggaran atas artikel 161 bis, yang dikeluarkan pada bulan Januari 1922, yaitu Budisucitro, Partondo, Ambiyah, Suradi, Samsi, Sumantri, Sundoro, Rabijah, Ngadino, Brotosewoyo dll. Di beberapa tempat lainnya di Indonesia, di Solo, Semarang, Padang Panjang dan Bukittinggi, pemerintah Belanda juga telah melakukan penangkapan-penangkapan antara lain terhadap Haji Misbach, Marsudi, Haji Dt. Batuah, Natar Zainuddin, Dengah, Gondoyuwono, dan sebagainya. Di luar penjara, kawan-kawan separtai terus mengadakan gerakan solidaritet uang buat membantu para keluarga yang ditinggalkan.

Tanggal 28 Maret 1924 pengadilan negeri Semarang yang pada bulan November tahun 1917 juga telah mengadili Sneevliet, telah menjatuhkan hukuman penjara 4 bulan kepada Aliarcham. Dalam jalannya sidang pengadilan terjadi soal jawab yang hangat antara pesakitan dengan ketua pengadilan. Alaiarcham dapat menangkis tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa dia adalah biang keladi pemogokan, penggranatan, dan pemboikotan perayaan resmi pemerintah. Dengan kepala yang tegak dan dengan suara yang meyakinkan, ia mengatakan bahwa sumber dari segala pemogokan, penggranatan, pemboikotan, tulisan-tulisan yang keras di suratkabar-suratkabar dan lain-lain tindakan perlawanan rakyat, adalah pemerintah jajahan Belanda yang telah mendatangkan kemelaratan dan kepapaan kepada rakyat Indonesia. “Penjajahan harus diganti dengan kemerdekaan sekarang juga”, demikian Aliarcham menegaskan. Polisi berkali-kali mengetok meja, tapi Aliarcham tidak memperdulikannya, dan dia meneruskan pembicaraannya. Ketika menjawab pertanyaan Ketua pengadilan apakah dia memerlukan pembela dan saksi Aliarcham menjawab: “Saya tidak memerlukan pembela dan saksi. Saya akan membela diri saya sendiri dan saksi saya adalah rakyat yang mengikuti sidang ini”. Jaksa akhirnya mengejar Aliarcham dari satu pasal pidana saja, yaitu telah melakukan penghinaan kepada alat-alat negara yang menjalankan pekerjaannya, yaitu para priyayi yang dikatakan sebagai togog.

Di bawah ini dikutipkan catatan singkat jalannya sidang pengadilan yang disiarkan oleh sk. “Sinar Hindia” 29-3-1924 sebagai berikut:

Aliarcham : Umumnya priyayi bodoh.

Voorzitter : Apa itu tidak menghina?

Aliarcham : Tidak. Itu gandengnya kata togog, yaitu yang dalam wayang digambarkan sifatnya orang yang menjadi budak. Budak itu sekarang dipakai oleh kaum priyayi.

Voorzitter: Apa togog itu penakut yang tak punyai eigeenwaarde (harga diri)?

Aliarcham : Ya.

Pengadilan memutuskan hukuman 4 bulan dan atas putusan ini Aliarcham naik Appel, tetapi Pengadilan Tinggi memutuskan tambahan hukuman menjadi 6 bulan.

Sekeluarnya dari penjara, Aliarcham kembali aktif dalam perjuangan. Pekerjaan baru harus segera diselesaikannya yaitu konggres ke-II PKI yang akan dilangsungkan bulan Juni 1924 di Jakarta. Kongres ini sangat penting artinya bagi perkembangan sejarah PKI, karena ia banyak mengambil keputusan-keputusan yang mencerminkan kemajuan gerakan revolusioner pada waktu itu. Antara lain telah diputuskan beberapa perubahan. Anggaran Dasar PKI tahun 1920 yang tadinya mengoper Anggaran Dasar ISDV 1914, perubahan kata India di belakang nama PKI menjadi Indonesia, pemindahan kantor pimpinan Central PKI dari Semarang ke Jakarta. Pemindahan ini berarti menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan revolusioner anti-kolonialisme. Kongres ini telah memilih Aliarcham sebagai ketua presidium Kongres dan dengan ketokan-ketokan palunyalah terjelma putusan-putusan tersebut tadi.

Kongres memilih Winanta sebagai Ketua dan Budisucipto sebagai Sekretaris dari pimpinan Central, sedangkan Aliarcham dan Alimin sebagai Komisaris daerah Jakarta. Pasang naiknya gerakan revolusioner menyebabkan pemerintah kolonial semakin kuat menindas kebebasan demokratis. Keadaan ini menyebabkan pimpinan central PKI secara rahasia dipindahkan ke Bandungan dan kegiatan revolusioner sehari-hari di Jakarta langsung di bawah pimpinan Aliarcham dan Alimin.

Dalam Kongres ke-II ini Aliarcham menjiwai para pesertanya dengan semangat perjuangan kelas yang pantang mundur, dimana antara lain ia mengatakan: “Penjajah tidak dengan suka hatinya sendiri menyerahkan diri kepada kaum Komunis. Kemenangan mesti direbut oleh kaum buruh sendiri. Kemenangan di Rusia memberi kepercayaan kepada kita untuk bisa menang kelak”.

Sesudah Kongres ke-II ini, Aliarcham menempuh kehidupan baru dengan kawan separtainya yang menjadi juga salah seorang pengurus SR Wanita, yaitu Sukimah. Tadinya Sukimah adalah teman sekolahnya di Kweekschool Ungaran yang selalu memberikan minatnya yang besar pada pikiran-pikiran politik Aliarcham, sebagai sesuatu yang dianggapnya asing dan baru samasekali. Ia mengagumi Aliarcham sebagai pemuda yang jujur dan cerdas. Menjawab pertanyaan kawan-kawannya, apakah ia dapat melangsungkan perkawinannya dengan kehidupan yang serba kekurangan ini, ia mengatakan: “Kita klas buruh adalah golongan the haves not. Dan saya akan langsungkan perkawinan ini seperti perkawinan kaum buruh kita yang melarat itu”.

Lima bulan sesudah berlangsungnya Kongres ke-II, pada tanggal 29 November 1924 Winanta ditangkap dan dipenjarakan bersama dengan beberapa orang pimpinan central lainnya dan pemimpin daerah. Situasi mendorong untuk diadakannya kembali Kongres untuk memilih pimpinan yang baru dan penyempurnaan Komisaris-komisaris daerah. Kongres ke-III berlangsung dalam bulan Desember 1924 di Jogjakarta. Kongres memilih Sarjono sebagai Ketua menggantikan Winanta. Anggota Komisaris ditambah dengan Marjohan untuk Semarang, Prawiro Sarjono untuk Surabaya, Kusno untuk Bandung, Suwarno untuk Solo, H. S. Assor untuk Ternate, Abd. Xarim MS untuk Sumatera Timur/Aceh dan Sutan Said Ali untuk Sumatera Barat.

Konggres ke-III ini juga dijiwai oleh banyak fikiran-fikiran Aliarcham, yang pada pokoknya berkisar pada satu persoalan, yaitu : Pemberontakan untuk merebut kekuasaan politik. Beberapa hari sebelum Kongres berlangsung, sk. Api 17 Desember 1924 menyiarkan sebagai berikut:

“Nafsu untuk kekuasaan atau de wil tol macht inilah yang mulai sekarang harus ditanamkan sedalam-dalamnya dalam hati massa buruh dan tani. Pada setiap waktu dan setiap tempat haruslah kita terangkan kepada si buruh dan si tani serta kasta-kasta yang setuju (sympatiseeren) dengan kita, bahwa pada masa ini perbaikan yang sederhana saja bagi mereka itu sukar amatlah dituntut dengan jalan damai. Perbaikan nasib bagi mereka itu hanyalah bisa terdapat dengan sempurna, apabila kekuasaan sudah bisa direbut oleh mereka itu sendiri. Sebelum itu percumalah segala harapan

Oleh sebab itu de wil tot macht harus dirasa betul-betul oleh setiap proletar revolusioner sebagai kehendak akan makan. De wil tot macht harus senantiasa menyala dalam dada setiap kaum pekerja dari segala macam pekerjaan, mulai dari yang melayani arit, cangkul dan palu, hingga yang melayani mesin dan meriam di darat dan di laut, makin hari makin tambah besar, hingga pada waktunya, nyala itu berganti sifat menjadi api besar, yang membinasakan sekalian pertuanan kapital yang menindas”.

Pidato Kongres Aliarcham yang menekankan tentang pentingnya pendidikan “Semangat untuk berkuasa kepada massa”, mendapatkan sambutan hangat dari peserta Kongres dan pidatonya dibanjiri oleh interupsi: “Berontak saja …. Praktische daad … revolusi”. Menjawab interupsi ini Aliarcham menekankan agar pemberontakan jangan dipermain-mainkan, dia memerlukan pimpinan dari suatu partai kelas buruh yang kuat, sebagai pelopor yang berdiri sendiri dan bebas, tidak boleh ada saingan dari organisasi politik yang menduai PKI. PKI harus bersih dari elemen non proletar dan setengah proletar yang ragu-ragu dan bimbang. Dan untuk bisa memimpin pemberontakan, PKI harus mempunyai disiplin yang kuat. Khusus tentang disiplin ini sk. Api 17 Desember 1924 menyiarkan sebuah artikel sebagai berikut:

“Klas buruh tidak saja harus berdisiplin tetapi ia wajib berdisiplin lebih kuat dan lebih keras daripada musuhnya. Sebab kaum kerja boleh dikata samasekali tidak bersenjata, sedang pembela kapitalisme bersenjata lengkap, mulai dari kaki sampai ke rambut. Oleh sebab itu kita Komunisten sebagai pasukan armada kaum kerja yang terkemuka, yang harus mendidik berdisiplin itu di kalangan angkatan proletar wajiblah menundukkan diri kita sendiri di bawah disiplin besi.

“Janganlah orang tergesa-gesa mengatakan: ‘Bagaimanakah kamu orang Komunis yang senantiasa menentang militerisme, sekarang sekonyong-konyong cinta kepada disiplin, suatu sifat militerisme yang penting’. Disiplin di dalam militer itu artinya menaklukkan serdadu-serdadu bagi melakukan perbuatan yang sesungguhnya tidak dikehendaki dan tidak diketahui maksudnya oleh yang menjalankan. Sedang disiplin di dalam partai kita sendiri berarti menaklukkan lid-lid, partai melakukan perbuatan yang benar-benar dikehendaki dan diyakini maksudnya, yakni sekalian putusan-putusan yang diambil di persidangan atau kongres dengan suara yang terbanyak. Disiplin militer memaksa serdadu-serdadu tunduk dengan membuta-tuli, sebagai perkakas, tetapi disiplin partai menyuruh lid-lid partai memaksa diri dengan insyaf dan yakin”.

Sesudah Aliarcham menekankan tentang arti pentingnya disiplin bagi PKI, maka ia menjelaskan lagi bahwa sebelum pemberontakan dimulai diperlukan terlebih dahulu melatih massa dalam aksi ekonomi, yang kemudian ditingkatkan kepada aksi-aksi politik. Aksi-aksi ekonomi berupa pemogokan-pemogokan dari kaum buruh akan dapat menarik dan membangkitkan massa rakyat banyak ke dalam kehidupan politik. Oleh sebab itu semua tenaga harus ditujukan untuk memperkuat gerakan buruh. Kaum proletar mengenali dirinya sendiri sebagai kelas terhisap sesudah ia masuk ke dalam PKI dan dalam pergerakan rakyat yang sungguh-sungguh memusuhi kaum modal. Pengetahuannya juga meningkat dari persidangan-persidangan, dari pembacaan suratkabar-suratkabar, dari pemilihan-pemilihan perwakilan dan terpenting dari aksi-aksi. PKI adalah tempat belajar kaum tertindas dan terhisap, demikian Aliarcham. Dalam perlawanannya terhadap kaum modal yang bersenjata lengkap itu, kaum proletar tidak boleh mempercayakan pada jumlahnya yang besar saja, tetapi juga pada pengetahuannya.

Di samping itu kaum proletar harus juga bisa menarik kaum intelektual kita kepada perjuangan proletar. Dan tentang ini dikatakan oleh Aliarcham sebagai berikut:

Dalam waktu kapitalisme tua, maka keadaan ekonomi kemodalan itu dimana-mana sangatlah mendorong intelektuelen kejurusan kesukaran pencarian (ecomonische moeilijkheden) hal mana membikin intelektuelen jadi revolusioner, walaupun kerevolusionerannya itu tidak terang betul arah tujuannya. Berhubung dengan dorongan ekonomi tadi yang menindas intelektuelen turun dalam tingkat hidup berjajar dengan proletar, lalu banyaklah diantaranya kaum terpelajar itu memperoleh sentimen proletarisch. Dalam keadaan demikian, wajiblah kaum Komunisten menarik elemen yang begitu masuk ke kalangan pergerakannya, dengan memberi keyakinan kepadanya, bahwa kemerdekaan dan dunia baru yang sanggup menghargai kaum intelektuelen semestinya, hanyalah bisa tercapai dengan klassenstrijd, yang dilakukan oleh kaum proletar terhadap kaum kapital”.

Demikianlah Aliarcham dengan pikiran-pikirannya dalam Kongres ke-III PKI, tentang pemberontakan bersenjata di bawah pimpinan proletariat menggulingkan kolonialisme Belanda, tentang pentingnya aksi-aksi ekonomi dan politik mendahului pemberontakan, tentang pentingnya disiplin dan tenaga intelektuil dalam barisan proletariat.

Sesudah kongres ini, Aliarcham dan kader-kader penting lainnya terjun ke dalam gerakan buruh. Ia pergi ke Surabaya dan memimpin Serikat Buruh Gula. Tengahan pertama tahun 1925 ini mengandung banyak sekali kegiatan-kegiatan buruh, konsolidasi organisasi dan pemogokan-pemogokan yang memberi pukulan kepada pemerintah kolonial. Dengan masud untuk membendung kemajuan ini dikeluarkanlah artikel 153 bis dan ter tahun 1925 yang sangat terkenal bersifat karetnya itu. Banyak suratkabar-suratkabar revolusioner gulung tikar, redaksinya ditangkap dan pemimpin-pemimpin PKI serta gerakan buruh banyak pula yang ditangkap. Aliarcham mendapat incaran istimewa, segala gerak-geriknya diikuti dan sejumlah kaki-tangan pemerintah disediakan khusus untuk pekerjaan ini. Berkali-kali ia dipanggil oleh polisi kolonial dan pemerintah (kontroleur) setempat dan setiap dipanggil ia berdiri dengan kepala yang tegak, ia menunjuk hidung pemerintah kolonial sebagai orang yang bersalah dan bertanggung jawab atas kemelaratan penghidupan rakyat.

Suatu ketika ia datang menemui kontroleur Belanda memenuhi panggilannya, dengan tetap memakai pakaian rakyat yang biasa, yang melarat. Pakaian Aliarcham ini menerbitkan kemarahan pada sang kontroleur. Ia memaki-maki dan mengusir Aliarcham ke luar ruangan. Aliarcham menjawab makian ini: “Tuan ketakutan kepada rakyat. Pakaian yang seperti ini terhitung pakaian rakyat yang terbaik. Dan beginilah kemelaratan rakyat sekarang”. Kontroleur menjawab: “Kenapa kamu mesti memakai pakaian hitam-hitam begitu?” Aliarcham menyahut lagi: “Saya tidak punya pakaian putih-putih. Itu pakaian buruh halus, buruh ningrat, priyayi-priyayi yang menjadi togog menjilat gubernemen”. Dengan langkah yang tetap dan tenang Aliarcham meninggalkan kontroleur.

Konferensi Nasional kilat dan bersifat rahasia dari PKI yang direncanakan akan dilangsungkan pada bulan Mei 1925 untuk melawan tindakan provokasi pemerintah kolonial terpaksa ditunda berhubung dengan semakin sempitnya kebebasan bergerak dan sangat keras dimata-matai oleh pemerintah kolonial. Konferensi diundurkan untuk waktu yang belum dapat ditentukan segera. Pemunduran ini mempengaruhi segala persiapan yang telah dikerjakan untuk itu.

Dalam bulan November 1925 terjadi pemogokan-pemogokan besar dan meluas di kalangan kaum buruh gula Tanggulangin, Jawa Timur, buruh-buruh percetakan, industri metal Braat, pabrik es Ngagel, dan sebagainya yang terdapat di Surabaya. Pemerintah kolonial, sangat ketakutan kalau pemogokan ini akan meluas di seluruh pabrik gula Jawa Timur, kemudian bersambung ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pemerintah mengetahui bahwa organisator penting pemogokan ini adalah Aliarcham. Tanggal 5 Desember Aliarcham bersama dengan sejumlah besar pemimpin buruh lainnya ditangkap, yang pada waktu itu mereka sedang berada di Solo untuk mengikuti kongres OPPI (Organisasi Perguruan dan Pendidikan Indonesia). Akibat penangkapan ini kongres OPPI tidak jadi dilanjutkan.

Selama penahanan ini Aliarcham mendapat siksaan dan tidak menjawab sepatahpun pertanyaan-pertanyaan yang dimajukan kepadanya dalam pembikinan proses verbal. Aliarcham berkata hanya satu kali ketika menjelaskan pendiriannya:

“Tuan-tuan sudah mengetahui siapa saya ini. Proses verbal ini dilakukan hanya secara formil saja, karena toch saya akan dihukum juga”. Tiga minggu sesudah ditangkap keluarlah putusan pemerintah untuk menghukumnya dengan pembuangan ke Merauke di Irian. Pada tanggal 24 Desember, bersama dengan kawan seperjuangan Marjohan, ia dibawa dengan kapal van der Wijck ke Irian. Sesaat sebelum kapal berangkat, ia dibolehkan bertemu dengan isterinya Sukimah dan anak lelakinya yang masih kecil. Pertemuan yang mengharukan ini hanya berlangsung beberapa menit dengan pengawalan yang keras. Kawan-kawannya di luar tidak seorangpun yang dapat berjumpa dengan dia. Ia dikurung dalam satu kurungan sempit. Kepada penjaga-penjaga yang bersenjata lengkap itu, Aliarcham berkata:”Pemerintah kalian sangat ketakutan kepada saya yang tidak bersenjata ini”. (Keterangan kawan Mangkudun Sati).

Tentang pembuangan ini, sk. Kolonial “Bataviaas Nieuwsblad” 24 Desember 1925 menulis sebagai berikut:

“Aliarcham adalah seorang pemimpin utama dari kaum Komunis Indonesia. Ia adalah tiang penunjangnya. Ia adalah seorang yang sangat patuh pada disiplin dari Internasionale ke-III di Moskow. Ia berusaha dengan kekuatan senjata merubuhkan pemerintah Hindia Belanda dan kemudian hendak merubuhkan borjuasi internasional dan mendirikan Republik Soviet Internasional. Di Indonesia ia mau menjalankan politik Sovyet-Indonesia”.

Demikianlah B. N. yang mencerminkan fikiran pemerintah kolonial sepenuhnya. Tetapi mereka mengungkapkan kenyataan penting, yaitu Aliarcham sebagai patriot yang akan menggulingkan pemerintah kolonial dan sebagai Komunis ia juga internasionalis yang berjuang untuk masyarakat yang bebas dari segala penghisapan. Mereka juga melihat Aliarcham sebagai tokoh utama yang mau memimpin pemberontakan bersenjata di Indonesia.

Lebih lanjut B. N. 24 Desember 1925 menulis tentang Aliarcham dan PKI sebagai berikut:

“Dalam kongres PKI bulan Juni 1924 dan Desember 1924, diambil putusan-putusan yang sangat dipengaruhi oleh fikiran-fikiran Aliarcham, antara lain berbunyi:

1. Mempropagandakan segiat-giatnya PKI dan SR.2

2. Menyokong segala perkumpulan revolusioner yang bertujuan menjatuhkan pemerintah.

3. Mendidik kaum buruh untuk tidak takut masuk dalam bui dan berani melakukan pemogokan.

4. Mendirikan sel-sel revolusioner di perkumpulan-perkumpulan lain.

5. Pemogokan buruh supaya ditingkatkan menjadi aksi boikot terutama di lapangan pengangkutan.

6. Memberikan pendidikan Komunisme kepada pemuda.

7. Memberikan pendidikan revolusioner kepada orang-orang yang mau membikin kacau dan kebakaran-kebakaran.

8. Membikin partai revolusioner yang terdiri dari grup-grup 10 orang yang berani.

Sebagai akibat putusan-putusan tersebut kini orang-orang yang mengunjungi rapat-rapat PKI sudah diberi senjata, kebakaran-kebakaran terjadi di pabrik-pabrik gula seperti Nganjuk dan sel Komunis sudah terdapat di Tambang Batubara Ombilin dan tambang-tambang minyak”.

Demikianlah B. N. menyiarkan “informasi-rahasia” pemerintah kolonial, sesudah Aliarcham ditangkap dan dibuang. Demikian hasil pekerjaan polisi rahasianya dalam mengikuti perkembangan PKI dan pergerakan buruh, serta pergerakan revolusioner lainnya, tentu saja menurut tanggapan dan pengertian pemerintah kolonial sebagai kelas yang berkuasa pada waktu itu yang menentang perjuangan rakyat, dari 8 pokok persoalan yang dikemukakan B. N. itu dapat diketahui, bahwa pribadi atau ketokohan Aliarcham tak dapat dipisahkan dari kegiatan PKI, Sarekat Rakyat dan pergerakan buruh. Ia telah mendidikkan semangat keberanian kepada Rakyat melawan pemerintah kolonial, mengutamakan pekerjaannya di lapangan buruh transpor, pendidikan Komunisme kepada pemuda-pemuda dan pembangunan satu Partai Komunis tipe Lenin yang terdiri dari orang-orang yang berani dan militan. Kesimpulan dari keseluruhan pendapat pemerintah kolonial terhadap Aliarcham adalah, bahwa ia adalah tokoh utama yang paling berbahaya dan perlu cepat disingkirkan dari kehidupan politik.

Mari kita lihat bagaimana fikiran rakyat dan fikiran pers revolusioner tentang penangkapan Aliarcham ini yang bertentangan dengan pikiran pemerintah kolonial. Suratkabar API di Semarang yang terbit akhir Desember 1925 menulis sebagai berikut:

“Aliarcham adalah namanya seorang pemimpin kita yang baru-baru ini telah diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Merauke di pulau Nieuw Guinea, yang letaknya di sebelah Timur dari batas tanah jajahan Belanda. Negeri tersebut sangat tersohor sebagai tempat pembuangan orang-orang yang dianggap oleh pemerintah negeri berdosa besar. Kawan Aliarcham sekarang telah diasingkan dari pergaulannya.

“Kawan muda ini adalah seorang yang sangat tajam ingatan serta otaknya luarbiasa gezondnya. Ketika ia masih duduk dalam bangku sekolah sudah belajar mengetahui tentang ilmu-ilmu yang bersambungan dengan peri pergaulan hidup. Kawan tersebut ketika masih sekolah di Kweekschool Ungaran ada bergaulan rapat dengan Kawan Prapto. Di sana kawan ini setelah mendengar segala uraiannya tentang keadaan rakyat, lalu tidak saja membiarkan hal itu, tetapi ia harus membacai buku-buku dan terus belajar sampai ia pindah ke sekolah yang lebih tinggi, yaitu di HKS, tetapi berhubung majunya pergerakan Rakyat yang lantaran kemiskinan berjalan begitu cepat, maka kawan muda itu sudah tidak tahan lagi menantikan tamatnya pelajaran sekolah guru itu. Kawan muda itu dengan gagah berani menerjunkan dirinya ke dalam pergerakan merah ialah pergerakan yang ia yakin akan bisa menolong dan mengangkat kesengsaraan rakyat dari liang kemiskinan.

“Kawan Ali tidak sekali-kali mempunyai hati kekuatiran, bahwa ia akan mati terlantar atau hidup miskin sama sekali, karena ia mesti dibenci oleh pihak kapitalisten yang sudah memasukkan sistem dalam pelajaran yang ia terima di sekolah itu. Oleh karena begitu keyakinannya. Kawan muda tersebut sejak mulanya keluar dari sekolah sudah mempunyai budi yang begitu mulia. Kawan muda ini selamanya belum pernah mengalami bekerja pada kapitalisten. Padahal jika kiranya kawan tersebut suka merendahkan dirinya lalu membudak dan menyodorkan tangannya merintih-rintih pada kapitalisten tak urung kawan Aliarcham akan naik auto dan makan enak berumah baik. Tetapi dasar kawan Ali berbudi tinggi dan berhaluan satria teguh memegang kemanusiaannya kawan Ali tidak sudilah berkawan dengan manusia-manusia yang bersifat binatang. Meskipun ia hidup sengsara dan dimusuhi dari sana-sini, kawan Ali tetap dalam pendiriannya, lebih baik hancur bersama-sama dengan rakyat tertimbang menjadi manusia TOGOG yang hanya mengikuti pihak yang menang saja. Tertimbang ia mati karena pergerakan rakyat ia lebih baik mati bersama rakyat. Kawan Ali meskipun belum puluhan tahun dalam pergerakan rakyat, tetapi jasanya besar sekali. Ia seorang muda pandai (terpelajar) yang pertama kali jadi penganjur dalam pergerakan merah. Kawan Ali mempunyai rasa kewajiban memimpin rakyat proletar terutama bangsanya.

“Ia tahu bahwa rakyat (wong cilik) itu tidak dipimpin oleh kaum terpelajar itu, tak adalah orang lain yang akan menyelamatkan mereka. Oleh karena itu ia bergerak memimpin kaum proletar dan hidupnyapun sebagai kaum proletar biasa.

“Kawan Ali dibuang dengan meninggalkan seorang anaknya yang masih kecil dan isterinya. Bagaimanakah beratnya orang jadi pembela rakyat, berpisahan dengan kecintaannya, terutup dalam bui enz. Tidak perlu dibicarakan lagi di sini. Yang perlu dilukiskan di sini, yaitu rindu dendamnya rakyat yang dipimpinnya. Mereka kehilangan pemimpinnya yang masih muda dan tercinta itu. Mereka ditutup jalannya untuk mengejar perbaikan nasibnya. Mereka kehilangan satu pahlawan yang setia, tinggi budinya, suci hatinya, tidak takut jerih lelah, fakir dan miskin, sampai menjadi korban. Kawan Ali lebih mementingkan keperluan negeri dan rakyat daripada keperluan sendiri. Rakyat susah akan dapat pemimpin yang serupa terjangnya dengan saudara muda ini. Kecerdasannya sangat terpuji, ia tidak gila hormat lantaran kepandaiannya. Dalam kalangan pergerakan ia tidak ingin dapat kehormatan tinggi, pendek kata kawan muda ini sunyilah daripada celaan-celaan yang boleh disebut dari pihak proletar. Hilangnya kawan muda yang berharga ini. Rakyat Indonesia sebagai kehilangan sebutir kobinur (intan yang terbesar di seluruh dunia). Maka dari itu rakyat tidak usah menunggu-nunggu datangnya seorang pemimpin yang berbudi sebagai kawan Ali tersebut, tetapi bergeraklah lipat ganda menuntut nasib yang makin hari bertambah jelek.

“Kaum terpelajar di Indonesia setelah mendengar atas pembuangannya pahlawan rakyat yang muda itu, terjun atau tidak dalam pergerakan rakyat, itulah ada satu kehormatan mereka sendiri.

“Kaum inteletuelen lihatlah ini:

“Siapa lawan siapa kawan?”

Artikel ini linea-reacta bertentangan sepenuhnya dengan Bataviaas Nieuwsblad tersebut diatas tadi. Perbedaan ini wajar karena adanya perbedaan pandangan klas dari 2 kepentingan yang tidak dapat didamaikan.

Masa Aliarcham terjun langsung dalam gerakan revolusioner ini sejak ia diusir dari sekolahnya ditempuhnya sangat singkat, hanya kira-kira tiga setengah tahun, tetapi masa singkat ini sangat kaya dengan praktik revolusioner bahkan ia berhasil membikin pemerintah kolonial ketakutan kepadanya dan menganggap lawan utama yang perlu disingkirkan segera. Secara paksa ia dapat diasingkan tetapi perjuangan diteruskan oleh kawan-kawannya yang lain.

MASA PEMBUANGAN DIGUL

Tanah pembuangan Digul yang pertama diinjak oleh Aliarcham adalah Merauke, di tempat mana beberapa bulan sebelumnya telah pula dibuang haji Misbach tokoh komunis terkemuka di Solo. Di tempat ini haji Misbach tinggal bersama isteri dan anak-anaknya. Ia diasingkan dari penduduk. Di tempat ini ia peringati sendiri bersama keluarganya hari kemenangan Revolusi Sosialis Oktober Rusia 1917 dan hari 1 Mei 1926. Di rumah tinggalnya dikibarkannya bendera PKI, merah dengan palu-arit. Aliarcham tidak dibolehkan bertemu dengan Haji Misbach, walaupun dengan keluarganya. Akibat serangan malaria hitam pada tahun 1927 Haji Misbach dan istrinya meninggal di sini dan tinggallah anak-anaknya.

Di Merauke Aliarcham tinggal kira-kira 1 minggu dan ia dipindahkan ke Okaba. Di pembuangan Okaba Aliarcham berada selama kira-kira 1 ½ tahun. Ia kemudian dipindahkan lagi ke Tanah Merah, bergabung bersama para buangan lainnya yang dibuang akibat kegagalan pemberontakan November 1926. Tetapi di Tanah Merah ia berada juga tidak lama, kira-kira 3 bulan, karena kemudian dipindahkan lagi ke Gudang Arang, di tengah rawa sebelah bawah Tanah Merah. Setelah tempat yang tak patut didiami manusia ini dibeberkan dalam pers dan kuatnya protes kaum progresif di Volksraad dan Tweede kamer Belanda serta proletariat Belanda, maka pada bulan Januari 1928, tempat pembuangan dipindahkan ke Tanah Tinggi, jauh masuk ke pedalaman hutan belantara Digul, di atas Tanah Merah, kira-kira 6 jam perjalanan dengan kapal sungai. Para buangan Tanah Tinggi ini dianggap oleh pemerintah kolonial paling berbahaya dan merupakan biang keladi pemberontakan. Aliarcham sendiri walaupun tidak turut serta karena ketidakhadirannya dalam pemberontakan, namun ia digolongkan juga kepada pemberontak-pemberontak tadi, karena ia dianggap sebagai tokoh penting pemberontakan. Ia adalah “gara-gara” pemberontakan.

Nyonya Sukimah beserta anaknya laki-laki bernama Aneksimander pada tahun 1926 mengikuti suaminya ke Okaba dan kemudian turut pula pindah ke Tanah Merah dan Tanah tinggi. Di sini terdapat kira-kira 170 orang buangan, dengan keluarganya, mengalami penderitaan hidup yang berat di daerah yang sangat terbelakang dan dimana tempat banyak penyakit malaria tertiana, quartana, dan tropica. Pemerintah kolonial menamakan mereka yang di tanah Tinggi ini sebagai kaum “onverzoenlijken” yang menolak bekerja menerima upah dari pemerintah. Mereka hanya diberi tjatu beras, gabah, ikan asin, garam, minyak kelapa serba sedikit. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya terpaksa harus dibikin sendiri dan pemerintah hanya menyediakan sekedar paku dan seng. Para buangan harus memotong pohon-pohon besar, mengurangi rawa, memotongnya menjadi tiang-tiang dan dinding-dinding rumah. Di sinilah terjadi pergulatan untuk hidup dari manusia melawan alam yang jauh melebihi kekuatan manusia. Banyak di antara mereka yang kalah dan tunduk oleh kekuatan rawa dan hutan belantara. Jasmani mereka punah di sini dalam perkelahiannya dengan alam. Dan bila malam telah datang menjelma, mereka berjuang memecahkan kontradiksi di dalam dirinya, antara keputusasaan dan keteguhan dari pergulatan emosi, perasaan dan pikiran manusia yang tadinya telah biasa dengan kehidupan modern dan, yang kini harus disesuaikan dengan kehidupan yang sangat terbelakang. Tanah Tinggi berpagarkan pohon-pohon raksasa dengan hutannya. Ia adalah penjara alam. Di malam buta yang hitam pekat, ia melahirkan kesepian, kekesalan, kemarahan, keharuan dan dendam yang tak kunjung padam. Mereka yang berusaha lari dari penjara alam ini, mati ditelan rawa atau yang tersisa, dan dalam mencapai perbatasan Irian Timur. Ditangkap oleh pemerintah Australia dan dikembalikan lagi kepada pemerintah Belanda untuk menjadi penghuni tanah buangan kembali. Penjara alam ini bertujuan untuk membinasakan para buangan jasmaniah dan rohaniah. Kebanyakan teguh kekuatan rohaniahnya sebagai orang revolusioner, tapi gugur karena serangan penyakit tropis yang merajalela. Pada akhir pembuangan tahun 1947 tinggal kira-kira 25 orang, sedangkan Aliarcham, Marco, Najoan dan sebagainya tewas karena diserang penyakit. Kawan-kawan Aliarcham lainnya yang masih hidup pada waktu itu antara lain Mangkudun Sati, Haji Muchlas, Ngadiman Hardjosubroto, Prawiro Muting, dan sebagainya (keterangan Kawan Ngadiman Hardjosubroto).

Dalam pembuangan yang terasing ini, Aliarcham senantiasa menunjukkan kekuatan jiwa dan wataknya. Ia tetap memberikan contoh sebagai pemimpin yang mempunyai rasa setia kawan yang tinggi, istimewa dalam saat-saat menempuh kesulitan hidup. Mengenai derita buangan sebagai akibat kegagalan pemberontakan, Aliarcham mengatakan:

Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara. Kita harus terus menggunakan waktu pembuangan ini untuk belajar pengetahuan Marxisme dan pengetahuan umum” (Keterangan Kawan Mangkudun Sati).

Aliarcham sendiri membuktikan segala perkataan-perkataaannya ini. Ia terus belajar, juga pengetahuan bahasa. Ia mempunyai semboyan: “Tanpa belajar, tidak mungkin berjuang!”. Dari koran-koran yang sudah sangat terlambat datangnya ia harus mengikuti perkembangan politik Sukarno dan Hatta-Syahrir sekitar tahun 1930, diikutinya dengan seksama. Kepada kawan-kawannya, ia pernah berkata: “Sukarno nantinya akan menjadi seorang pemimpin utama Rakyat Indonesia dan Hatta tidak mungkin, karena ia mempunyai kesombongan. Syahrir seorang terpelajar yang lebih Barat daripada Barat. (Keterangan Kawan Mangkudun Sati).

Dalam kehidupan sehari-hari, Aliarcham selalu menunjukkan setia-kawannya yang tinggi. Ia dapat mengatur kehidupan bersama yang serba kurang itu. Bilamana ia memperoleh sesuatu kiriman dari Jawa berupa buku, makanan, obat-obatan, pakaian dan sebagainya selalu dibuka di depan kawan-kawannya dan dibagikannya kepada yang membutuhkannya. Kawan-kawannya yang sakit selalu dibantunya dan mendapat perhatiannya yang penuh.

Aliarcham juag memikirkan tentang pendidikan dan hari depan anaknya. Isterinya disuruhnya kembali ke Jawa supaya melahirkan anaknya yang kedua, wanita, bernama Mulyani. Bulan Juli 1929, dengan hati yang pilu, bertentangan dengan perasaannya dan atas desakan yang kuat dari suaminya, akhirnya Sukimah terpaksa berangkat dan meninggalkan suaminya di pembuangan.

Tahun demi tahun berjalan terus di pembuangan dan manusianya semakin lama makin terbiasa. Hari 1 Mei dan 7 November senantiasa diperingati dengan khidmat. Aliarcham mulai mendapat batuk-batuk dan pada suatu ketika badannya terbaring mengidapkan sakit paru-paru. Makin lama makin parah. Mukanya pucat, badannya semakin kurus dan mata semakin cekung. Melihat keadaannya ini, kawan-kawannya menjadi cemas dan bersama-sama mereka menganjurkan dan mendesak supaya dia berobat ke Tanah Merah. Aliarcham menolak karena ia berkeyakinan bahwa pemerintah kolonial tidak akan mengobatinya, tetapi akan membunuhnya karena sangat membencinya. Tetapi akhirnya dia pergi juga sesudah desakan yang berkali-kali dari kawan-kawannya. Tidak lama dia berobat di Tanah Merah dan segera kembali lagi Tanah Tinggi. Menjawab pertanyaan kawan-kawannya tentang kenapa dia tidak terus berobat sampai sembuh, Aliarcham berkata: “Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini”. Mendengar jawaban ini, kawan-kawannya terharu dan menjadi semakin khawatir, mengingat penyakit paru-paru, apalagi berada di Tanah Tinggi tanpa pengobatan berarti kematian.

Sementara itu, Dr. Schoonyet yang mengobati Aliarcham di Tanah Merah, memberitahukan dengan sepucuk surat kepada nyonya Sukimah di Jawa tentang sakit suaminya yang semakin lama semakin parah dan menganjurkan agar sang isteri kembali ke Digul. “Saya melihat sesuatu yang luarbiasa kuatnya pada diri suami nyonya, yaitu pendirian politiknya yang tak pernah kendor melawan pemerintah. Dan sebagai manusia, saya sangat menghormati akan keteguhan hati ini”. Demikian dokter Schoonheyt menyatakan kepada nyonya Sukimah.

Nyonya Sukimah segera mengirim surat kepada suaminya, mengabarkan tentang keinginannya hendak kembali ke Tanah Tinggi, membantu merawatnya dalam keadaan sakit yang demikian. Aliarcham menjawab: “Sakit saya hanya sedikit dan kalau kau datang penyakit ini takkan sembuh. Dan kau pasti tinggal saja terus di Jawa mendidik anak-anak. Dan saya pasti sembuh”.

Sang isteri bertambah gelisah dan sebelum ia sempat mengabarkan tentang kepastian keberangkatannya, iapun telah menerima kawat tentang kepergian suaminya untuk selama-lamanya.

Saat-saat akhir dari kehidupannya, Aliarcham diantar oleh beberapa kawannya untuk melanjutkan pengobatannnya ke Tanah Merah. Ia dipapah oleh kawan-kawannya menaiki kapal sungai. Kapal berlayar kembali menuju Tanah Merah, mengilir mengikuti arus sungai Digul. Sebentar-sebentar kapal tertegun oleh gangguan pohon-pohon besar yang hanyut dari hulu. Kapal berbelok ke kiri dan ke kanan, mengikuti arus sungai yang tak pernah berhenti selama beribu tahun. Di tengah-tengah deru motor yang memecah kesunyian hutan belantara Digul ini, Aliarcham menarik nafasnya yang terakhir. Kepergiannya ini disaksikan oleh beberapa kawan-kawannya yang setia. Seorang patriot besar pergi untuk selama-lamanya. Dalam usia yang sangat muda 32 Tahun, ia terpaksa meninggalkan kawan-kawannya, rakyatnya, isterinya dan anak-anaknya, yang semuanya memerlukan kepribadian pemimpin sebagaimana yang dimilikinya. Ia adalah karang di tengah lautan yang pantang tunduk kepada topan yang bagaimanapun besarnya. Ia mempertahankan keteguhan pendiriannya sampai nafas yang terakhir. Dan peristiwa ini terjadi pada tanggal 1 Juli 1933.

Aliarcham dikebumikan di Tanah Merah dengan upacara yang sangat sederhana. Di tanah peristirahatannya yang terakhir ini tercantum sebuah sajak dalam bahasa Belanda yang terjemahan beberapa barisnya sebagai berikut: “Obor yang dinyalakan di malam gelap-gulita ini, kami serahkan kepada angkatan kemudian”.

ALIARCHAM PAHLAWAN NASIONAL

Sebagai seorang intelektual yang mendapatkan pendidikan guru tingkat atas, Aliarcham telah mengintegrasikan dirinya sepenuhnya dengan perjuangan rakyat melawan kolonialisme. Pada saat kekuasaan kolonial sedang kokoh-kokohnya, ia menunjukkan hanya satu jalan untuk kemerdekaan Indonesia, yaitu pemberontakan bersenjata menggulingkan pemerintahan kolonial. Ia menentang politik berkompromi dan berkoperasi dengan pemerintah jajahan.

Pengalaman Revolusi Agustus 1945 sepenuhnya membenarkan pendirian Aliarcham.

Ketika ia harus menerima resiko kekalahanyya dengan pembuangan di hutan belantara Digul dan harus menerima pula derita hidup yang sangat berat, ia tetap teguh membela keyakinan politiknya dan pendiriannya yang semula. Ia rela menerima kematiannya daripada harus mengalah kepada musuh. Ia tewas sebagai pahlawan yang gugur dalam perjuangan dengan senantiasa mempertahankan keteguhan pendiriannya yang tak retak walau sebesar rambut dibelah tujuh.

Aliarcham dibuang ke Digul dan tewas di sana, karena ia melawan pemerintah jajahan. Ini berarti ia tewas untuk perjuangan nasional.

Ia adalah seorang komunis dan sekaligus seorang patriot sejati yang mencintai rakyat dan tanah airnya, dan ia juga seorang internasionalis yang menganggap perjuangan rakyat Indonesia tak terpisahkan dari perjuangan rakyat sedunia untuk pembebasan dari “perbudakan kapital”.

Disini terjalinlah internasionalisme-proletar dengan patriotismenya. Ia tidak mungkin menjadi seorang Komunis yang baik, bilamana selainnya internasionalis yang baik, tidak menjadi seorang patriot yang baik.

Sejarah hidupnya telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang patriot yang mengabdi sepenuhnya kepada rakyat dan tanah airnya. Ia adalah seorang pemimpin yang berkepribadian besar. Ia adalah seorang pemimpin yang berwatak kuat. Dan dia adalah seorang komunis sampai akhir hidupnya.

Tentang ciri-ciri unggul kaum komunis Indonesia ketika itu, yaitu pada masa kanak-kanak PKI, Ketua CC PKI, D. N. Aidit menekankan sebagai berikut:

“Walaupun partai pada masa itu rendah teorinya, tetapi partai telah memiliki tradisi revolusioner dari kelas buruh dan rakyat pekerja kita. Para kader dan anggota partai umumnya gagah berani dan memiliki semangat dan watak revolusioner yang sangat tinggi dan kuat. Semangat dan watak kader-kader dan anggota-anggota PKI ketika itu antara lain dinyatakan sebagai berikut:

1. Melawan imperialisme dengan konsekuen, sehingga dengan demikian telah memperlihatkan patriotisme yang tinggi.

2. Menyokong perjuangan rakyat tertindas tanpa ragu-ragu sehingga dengan demikian telah memperlihatkan internasionalisme proletar yang tinggi.

3. Setia membela kepentingan rakyat pekerja, sehingga dengan demikian berhubungan erat dengan masa rakyat.

4. Pantang mundur dan tidak kenal menyerah dalam menghadapi musuh, rela berkorban, sehingga dengan demikian telah memperlihatkan keberanian dan heroisme revolusioner yang tinggi.

5. Tak pernah putus-asa dalam menghadapi situasi betapa sulitpun, sehingga dengan demikian telah memperlihatkan keuletan yang luar biasa.

6. Sederhana dan selalu siap membantu kawan yang kesusahan, sehingga dengan demikian telah memperlihatkan kesetiakawanan yang besar”. (DN. Aidit : Jadilah Komunis yang baik dan lebih baik lagi! – Pidato ulang tahun ke-44 PKI di Surabaya, 23 Mei 1964).

Aliarcham adalah tokoh tipikal yang mewakili angkatan komunis ketika itu.

Ia adalah karang yang indah yang kini tetap berdiri megah di hatinya proletariat, rakyat dan nasion Indonesia.

Aliarcham adalah Komunis teladan dan Pahlawan Nasional yang teruji!