Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi Gagalnya "G-30-S" Dipandang dari Sudut Militer

Brigadir Jenderal Supardjo (1966)


Sumber: Dalih Pembunuhan Massal, John Roosa. Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2008. hal. 323-343


Catatan Pengantar

Dokumen ini merupakan bagian dari berkas rekaman persidangan Mahmilub untuk Supardjo pada 1967. Petugas-petugas militer memperoleh salinan dari dokumen asli mungkin ketika mereka menangkap Supardjo pada Januari 1967 atau ketika mereka menyita dokumen-dokumen yang diselundupkan ke dalam penjara. Anggota staf Mahmilub menyalin dari aslinya dengan mengetik. Satu orang yang membaca dokumen asli pada akhir 1960-an saat berada di dalam penjara bersama Supardjo adalah Heru Atmodjo. Ia menegaskan bahwa salinan yang saya perlihatkan kepadanya sama dengan yang pernah ia baca. Ketika saya memperlihatkan salinan yang sama kepada salah satu putra Supardjo, Sugiarto, ia mengenali gaya penulisan ayahnya dan argumen-argumen yang dikemukakan ayahnya kepada keluarganya secara lisan.

Pengetik di Mahmilub kemungkinan sudah membuat kesalahan-kesalahan dalam proses penyalinan. Ia juga mungkin memberi terjemahan bahasa Indonesia dalam tanda kurung biasa untuk istilah-istilah Belanda. Semua komentar dalam tanda kurung siku dari saya.

------

Motto: Dalam kalah terkandung unsur2 menang! (Falsafah “Satu pecah jadi dua.”)

 

Kawan pimpinan,

Kami berada di “Gerakan 30 September” selama satu hari sebelum peristiwa, “pada waktu peristiwa berlangsung” dan “satu hari setelah peristiwa berlangsung.”[1] Dibanding dengan seluruh persiapan, waktu yang kami alami adalah sangat sedikit. Walaupun yang kami ketahui adalah hanya pengalaman selama tiga hari saja, namun adalah pengalaman saat2 yang sangat menentukan. Saat2 dimana bedil mulai berbicara dan persoalan2 militer dapat menentukan kalah menangnya aksi2 selanjutnya. Dengan ini kami sampaikan beberapa pendapat, dipandang dari sudut militer tentang kekeliruan2 yang telah dilakukan, guna melengkapi bahan2 analisa secara menyeluruh oleh pimpinan dalam rangka menelaah peristiwa “G-30-S.”[2]

Tjara menguraikannya mula2 kami utarakan fakta2 peristiwa yang kami lihat dan alami, kemudian kami sampaikan pendapat kami atas fakta2 tersebut.

Fakta2 pada malam pertama sebelum aksi dimulai:

1. Kami jumpai kawan2 kelompok pimpinan militer pada malam sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang tidur. Misalnya: kawan Untung tiga hari ber-turut2 mengikuti rapat2 Bung Karno di Senajan dalam tugas pengamanan.[3]

2. Waktu laporan2 masuk, tentang pasukan sendiri dari daerah2, misalnya Bandung, ternyata mereka terpaksa melaporkan siap, sedangkan keadaan yang sebenarnya belum.

3. Karena tidak ada uraian yang jelas bagaimana aksi itu akan dilaksanakan maka terdapat kurang kemufakatan tentang gerakan itu sendiri di kalangan kawan2 perwira di dalam Angkatan Darat. Sampai ada seorang kawan perwira yang telah ditetapkan duduk dalam team pimpinan pada saat yang menentukan menyatakan terang2-an mengundurkan diri.[4]

4. Waktu diteliti kembali ternyata kekuatan yang positip di fi hak kita hanya satu kompi dari Tjakrabirawa. Pada waktu itu telah timbul ke-ragu2-an, tetapi ditutup dengan sembojan “apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.”

5. Dengan adanya kawan perwira yang mengundurkan diri, maka terasa adanya prasangka dari team pimpinan terhadap kawan lain di dalam kelompok itu. Saran2 dan pertanyaan2 dihubungkan dengan pengertian tidak kemantapan dari si penanya. Misalnya, bila ada yang menanyakan bagaimana imbangan kekuatan, maka dijawab dengan nada yang menekan: “ja, Bung, kalau mau revolusi banyak yang mundur, tetapi kalau sudah menang, banyak yang mau ikut.” Ucapan2 lain: “kita ber-revolusi pung-pung[5] kita masih muda, kalau sudah tua buat apa.”

6. Acara persiapan di L.B. [Lubang Buaya] kelihatan sangat padat, sampai jauh malam masih belum selesai, mengenai penentuan code2 yang berhubungan dengan pelaksanaan aksi. Penentuan dari peleton2 yang harus menghadapi tiap2 sasaran, tidak dilakukan dengan teliti. Misalnya, terjadi bahwa sasaran utama mula2 diserahkan pelaksanaannya kepada peleton dari pemuda2 yang baru saja memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara, tetapi ini pun bukan pasukan yang secara mental telah dipersiapkan untuk tugas-tugas chusus.[6]

Fakta2 pada hari pelaksanaan:

7. Berita pertama yang masuk bahwa Djenderal Nasution telah disergap, tetapi lari. Kemudian team pimpinan kelihatan agak bingung dan tidak memberikan perintah2 selanjutnya.

8. Menjusul berita bahwa Djenderal Nasution bergabung dengan Djenderal Suharto dan Djenderal Umar di Kostrad. Setelah menerima berita ini pun, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa2.

9. Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Jon Djateng dan Jon Djatim tidak mendapat makanan, kemudian menjusul berita bahwa Jon Djatim minta makan ke Kostrad. Penjagaan RRI ditinggalkan tanpa adanya instruksi.

10. Menurut rencana, kota Djakarta dibagi dalam tiga sektor, Selatan, Tengah dan sektor Utara. Tetapi waktu sektor2 itu dihubungi, semuasemua tidak ada di tempat (bersembunji).

11. Suasana kota menjadi sepi dan lawan selama 12 jam dalam keadaan panik.

12. Djam 19.00 (malam kedua). Djenderal Nasution-Harto dan Umar membentuk suatu komando. Mereka sudah memperlihatkan tanda2 untuk tegenaanval [serangan balik] pada esok harinya.

13. Mendengar berita ini Laksamana Omar Dani mengusulkan kepada Kw. Untung agar AURI dan pasukan “G-30-S” diintegrasikan untuk menghadapi tegenaanval Nato cs (Nasution-Harto).[7] Tetapi tidak dijawab secara kongkrit. Dalam team pimpinan G-30-S, tidak memiliki off ensi-geest [semangat menyerang] lagi.[8]

14. Kemudian timbul persoalan ketiga. Ja, ini dengan hadirnya Bung Karno di Lapangan Halim. Bung Karno kemudian melancarkan kegiatan sbb:

a) Memberhentikan gerakan pada kedua belah pihak (dengan keterangan bila perang saudara berkobar, maka yang untung Nekolim).

b) Memanggil Kabinet dan Menteri2 Angkatan.[9] Nasution-Harto dan Umar menolak panggilan tersebut. Djenderal Pranoto dilarang oleh Nasution untuk memenuhi panggilan Bung Karno.[10]

c) Menetapkan caretaker bagi pimpinan A.D.

Hari kedua:

15. Kawan2 pimpinan dari “G-30-S” kumpul di L.B. Kesatuan RPKAD mulai masuk menyerang, keadaan mulai “wanordelik” [wanordelijk] (kacau). Pasukan2 pemuda belum biasa menghadapi praktek perang yang sesungguhnya. Pada moment yang gawat itu, saja mengusulkan agar semua pimpinan saja pegang nanti bila situasi telah bisa diatasi, saja akan kembalikan lagi. Tidak ada jawaban yang kongkrit.

16. Kemudian diadakan rapat, diputuskan untuk memberhentikan perlawanan masing2 bubar, kembali ke rumahnya, sambil menunggu situasi. Bataljon Djateng dan sisa Bataljon Djatim yang masih ada akan diusahakan untuk kembali ke daerah asalnya.

17. Hari itu juga keluar perintah dari Bung Karno agar pasukan berada di tempatnya masing2 dan akan diadakan perundingan. Tetapi fihak Nato tidak menghiraukan dan menggunakan kesempatan itu untuk terus mengobrak-abrik pasukan kita dan bahkan P.K.I.

Demikianlah fakta2 yang kami saksikan sendiri dan dari fakta2 ini tiap2 orang akan dapat menarik pelajaran atau kesimpulan yang berbeda-beda.

Adapun kesimpulan yang dapat kami tarik adalah sbb:

1. Keletihan dari kawan2 team pimpinan yang memimpin aksi di bidang militer sangat mempengaruhi semangat operasi, keletihan ini mempengaruhi kegiatan2 pengomandoan pada saat2 yang terpenting di mana dibutuhkan keputusan2 yang cepat dan menentukan dari padanya.

2. Waktu info2 masuk dari daerah2, sebetulnya daerah belum dalam keadaan siap sedia. Hal ini terbukti kemudian bahwa masih banyak penghubung2 belum sampai di daerah2 yang dituju dan peristiwa sudah meletus (kurir yang ke Palembang baru sampai di Tanjung Karang). Di Bandung siap sepenuhnya tapi untuk tidak repot2 menghadapi pertanyaan2 dijawab saja “sudah beres.”

3. Rencana operasinya ternyata tidak jelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanya pada pengambilan 7 Djenderal saja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak jelas, atau bagaimana kalau gagal juga tidak jelas. Dan apa rencananya bila ada tegenaanval, misalnya dari Bandung, bahkan cukup dengan jawaban: “sudah, jangan pikir2 mundur!” Menurut lazimnya dalam operasi2 militer, maka kita sudah memikirkan pengunduran waktu kita maju dan menang, dan sudah memikirkan gerakan maju menyerang waktu kita dipukul mundur. Hal demikian, maksud kami persoalan mundur dalam peperangan bukanlah persoalan hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap peperangan atau kampanye. Mundur bukan berarti kalah, adalah suatu bentuk dalam peperangan yang dapat berubah menjadi penyerangan dari kemenangan. Membubarkan pasukan adalah menyerah kalah.

Hal ini pula yang menyebabkan beberapa kawan militer mengundurkan diri, selain kawan tsb di hinggapi unsur ragu2, tetapi bisa ditutup bila ada rencana yang jelas dan mejakinkan atas jalannya kemenangan.

4. Waktu dihitung2 kembali kekuatan yang bisa diandalkan hanya satu kompi dari Tjakrabirawa, satu bataljon diperkirakan dari Djateng dapat digunakan dan satu bataljon dari Djatim bisa digunakan sebagai figuran. Ditambah lagi dengan seribu lima ratus pemuda yang dipersenjatai. Waktu diajukan pendapat, apakah kekuatan yang ada dapat mengimbangi, maka jawaban dengan nada menekan, bahwa bila mau revolusi sedikit yang turut, tetapi kalau revolusi berhasil coba lihat nanti banyak yang turut. Ada pula penjelasan yang sifatnya bukan tehnis, misalnya, “kita masih muda, kalau sudah tua, bakal apa revolusi.” Kembali lagi mengenai masalah kekuatan kita, cukup mempunyai kekuatan di Angkatan Darat yang cukup tangguh. Dipandang dari segi tehnis militer, maka serangan pokok, dimana komandan operasi tertinggi sendiri memimpin, harus memusatkan kekuatannya pada sasaran yang menentukan. Saja berpendapat bahwa strategi kawan pimpinan adalah strategi “menjumet sumbu petasan” di Ibu kota, dan diharapkan merconnya akan meledak dengan sendirinya, yang berupa pemberontakan Rakyat dan perlawanan di daerah2 setelah mendengar isjarat tersebut. Disini terdapat sesuatu kekeliruan: pertama: Tidak memusatkan induk kekuatan pada sasaran pokok. Kedua: Tidak bekerja dengan perhitungan kekuatan yang sudah kongkrit.

5. Kami dan kawan2 di Staf melakukan kesalahan sebagai berikut: Menilai kemampuan kawan pimpinan operasi terlalu tinggi. Meskipun fakta2 nyata tidak logis. Tetapi percaya bahwa pimpinan pasti mempunyai perhitungan yang ulung, yang akan dikeluarkan pada waktunya. Sesuatu keajaiban pasti akan diperlihatkan nanti, sebab pimpinan operasi selalu bersembojan “Sudah kita mulai saja, dan selanjutnya nanti jalan sendiri.” Kami sendiri mempunyai kejakinan akan hal ini, karena terbukti operasi2 yang dipimpin oleh partai sekawan, seperti kawan Mao Tzetung yang dimulai dengan satu regu, kemudian kita menumbangkan kekuatan Tjiang Kai Sek yang jumlahnya ratusan ribu. Setelah peristiwa yang pahit ini, maka kita sekalian perlu kritis dan bekerja dengan perhitungan2 yang kongkrit. Apa yang kami lihat di Lobang Buaja, sebetulnya taraf mempersiapkan diri saja belum selesai. Pada malam terakhir bemacam2 hal yang penting belum terselesaikan, umpama: Pasukan yang seharusnya datang, belum juga hadir (dari AURI). Ketentuan atau petunjuk2 masih dipersiapkan. Peluru2 di peti2 belum dibuka dan dibagikan. Dalam hal ini kelihatan tidak ada pembagian pekerjaan, semua tergantung dari Pak Djojo.[11] Kalau Pak Djojo belum datang, semua belum berjalan. Dan kalau Pak Djojo datang, waktu sudah mendesak.

Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan melarikan diri, kelompok pimpinan menjadi terperanjat, kehilangan akal dan tidak berbuat apa2. Meskipun ada advis untuk segera melakukan offensip lagi, hanya dijawab: “Ja”, tetapi tidak ada pelaksanaannya. Selama 12 jam, jadi satu siang penuh, musuh dalam keadaan panik. Tentara2 dikota diliputi suasana tanda tanya, dan tidak sedikit yang kebingungan. (Waktu ini kami di istana, jadi melihat sendiri keadaan di kota.)

Disini kami mencatat suatu kesalahan yang fundamentil yang pernah terjadi dalam suatu operasi (kampanye), jani: “Tidak uitbuiten [memanfaatkan] sesuatu sukses” (prosedur biasa dalam melaksanakan prinsip2 pertempuran yang harus dilakukan oleh tiap2 komandan pertempuran). Prinsip tersebut diatas, sebetulnya bersumber dari ajaran Marx yang mengatakan: “Bahwa setelah terjadi suatu pemberontakan, tidak boleh ada sesaat pun dimana serangan terhenti. Ini berarti bahwa massa yang turut dalam pemberontakan dan mengalahkan musuh dengan mendadak, tidak boleh memberikan suatu kesempatan pun kepada kelas yang berkuasa untuk mengatur kembali kekuasaan politiknya. Mereka harus menggunakan saat yang itu sepenuhnya, untuk mengakhiri kekuasaan rezim dalam negeri.”[12]

Kami berpendapat, bahwa sebab dari semua kesalahan ini karena staf pimpinan dibagi 3 sjaf: a) Kelompok Ketua, b) Kelompok Sjam cs, c) Kelompok Untung cs. Seharusnya operasi berada di satu tangan. Karena yang menonjol pada ketika itu adalah gerakan militer, maka sebaiknya komando pertempuran diserahkan saja kepada kawan Untung dan kawan Sjam bertindak sebagai Komisaris politik. Atau sebaliknya, kawan Sjam memegang komando tunggal sepenuhnya. Dengan sistim komando dibagi ber-syaf2, maka ternyata pula terlalu banyak diskusi2 yang memakan waktu sangat lama sedangkan pada moment tsb. dibutuhkan pengambilan keputusan yang cepat, karena persoalan setiap menit ber-ganti2, susul-menjusul dan tiap2 taraf persoalan harus satu persatu secepat mungkin ditanggulangi.

[tidak ada poin enam]

7. Setiap penyelenggaraan perang, seharusnya jauh sebelumnya mempunyai “Picture of the Battle” (Gambaran Perang). Apa yang mungkin terjadi setelah peristiwa penyergapan, bagaimana situasi lawan pada setiap saat dan setiap taraf pertempuran, bagaimana situasi pasukan sendiri, bagaimana situasi pasukan di Djakarta, bagaimana situasi di Bandung (ingat pusat Siliwangi[13]), bagaimana situasi di Djateng dan Djatim, dan bagaimana situasi diseluruh pelosok tanah air (dapat diikuti via radio). Dengan berbuat demikian, maka kita bisa melihat posisi taktis di Djakarta dalam hubungannya dengan strategi yang luas. Dan sebaliknya, perhubungan strategi yang menguntungkan atau merugikan dapat cepat2 kita mengubah taktik kita di medan pertempuran.

Pada waktu musuh panik seharusnya tidak usah diberi waktu. Kita harus masuk menyempurnakan kemenangan kita. Dalam keadaan demikian musuh dalam keadaan serba salah dan kita dalam keadaan serba benar. Satu bataljon yang panik akan dapat dikuasai oleh hanya kekuatan satu regu saja. Tetapi hal yang menguntungkan ini tidak kita manfaatkan. Bahkan kita berlaku sebaliknya:

1) Komandan Sektor (Selatan/Tengah/Utara) dalam keadaan dimana kita sedang jaya, malah pada menghilang. Mereka bertugas di antaranya mengurus soal2 administrasi, terhadap pasukan yang beroperasi dan berada di masing2 sektornya. Tetapi semua sektor seperti yang telah ditetapkan, hanya tinggal di atas kertas saja. Dari sini kita menarik pelajaran dengan tidak adanya kontak antara satu sama lain (faktor verbinding komunikasi), maka masing2 menjadi terjerumus dalam kedudukan terasing, sehingga buta situasi dan menimbulkan ketakutan.

2) Siaran radio RRI yang telah kita kuasai tidak kita manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan beberapa pengumuman saja. Radio stasion adalah alat penghubung (mass media). Seharusnya digunakan semaksimal mungkin oleh barisan Agitasi Propaganda. Bila dilakukan, keampuhannya dapat disamakan dengan puluhan Divisi tentara. (Dalam hal ini lawan telah sukses dalam perang radio dan pers.)

3). Pada jam2 pertama Nato cs menjusun komando kembali. Posisi yang sedemikian ialah posisi yang sangat lemah. Saat itu seharusnya pimpinan operasi musuh disergap tanpa chawatir resiko apa2 bagi pasukan kita.

8. Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan diantaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam, hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerbu kedalam kota. Pada waktu itu Bataljon Djateng berada di Halim. Bataljon dari Djatim sudah ditarik ke Kostrad dengan alasan makanan. Sebetulnya ada 2 jalan yang bisa ditempuh, pertama: Komandan Bataljon diberi wewenang untuk merektuir makanan di tempat2 dimana ia berada. Hubungan dengan penduduk atau mengambil inisiatip membuka gudang2 makanan, separo bisa dimakan dan selebihnya diberikan kepada Rakyat yang membantu memasaknya. Dengan demikian ada timbal balik dan cukup simpatik dan dapat dipertanggung jawabkan. Djalan kedua: Organisasi sektor seharusnya menyelenggarakan hal tsb.

9. Setelah menerima berita bahwa Djenderal Harto menjiapkan tegenaanval dan Laksamana Omar Dani menawarkan integrasi untuk melawan pada waktu itu, harus disambut baik. Dengan menerima itu maka seluruh kekuatan AURI di seluruh tanah air, akan turut serta. Tetapi karena tidak ada kepercajaan, bahwa kemenangan harus ditempuh dengan darah, maka tawaran yang sedemikian pentingnya tidak mendapat jawaban yang positip. Pak Omar Dani telah bertindak begitu jauh sehingga telah memerintahkan untuk memasang roket2 pada pesawat.

10. Faktor2 lain yang menyebabkan kemacetan, terletak pada tiada pembagian kerja. Bila kita ikuti saja prosedur staf yang lazim digunakan pada tiap2 kesatuan militer, maka semua kesimpang siuran dapat diatasi. Seharusnya dilakukan cara bekerja sbb: Pertama, perlu ditentukan siapa komandan yang langsung memimpin aksi (kampanye). Kawan Sjam-kah atau kawan Untung. Kemudian pembantu2nya atau stafnya dibagi. Seorang ditunjuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan intel (penyelidikan/informasi). Yang kedua, ditunjuk dan bertanggung jawab terhadap persoalan situasi pasukan lawan maupun pasukan sendiri. Dimana, bagaimana bergeraknya pasukan lawan, bila demikian, apakah advisnya tentang pasukan sendiri kepada komandan. Kawan yang ketiga ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan perorangan (personil). Apakah ada yang luka atau gugur, apakah ada pasukan yang absen, apakah ada anggauta yang morilnya merosot. Juga personil lawan menjadi persoalannya umpama: soal tawanan, pemeliharaanya, pengamannya dan dsb. Kemudian kepada kawan yang keempat, ditugaskan untuk memikirkan hal2 yang ada sangkut pautnya dan logistik, pembagian senjata dan munisi, pakaian, makanan, kendaraan dsb. Karena menang kalahnya pertempuran pada dewasa ini tergantung juga pada peranan bantuan Rakjyt, maka ditunjuk kawan yang kelima, untuk tugas seperti tersebut di atas. Jadi singkatnya, komandan dibantu oleh staf-1, staf-2, staf-3, staf-4, staf-5. Komandan, bila terlalu sibuk, ia bisa menunjuk seorang wakilnya. Selanjutnya cara bekerjanya staf, saja rasa tidak ada bedanya dengan prinsip2 pekerjaan partai, berlaku juga prinsip sentralisme demokrasi. Staf memberikan pandangan2nya dan komandan mendengarkan, mengolahnya di dalam fi kiran dan kemudian menentukan. Berdasarkan keputusan ini staf memberikan directive [perintah] untuk melaksana oleh echelon2 bawahan. Dengan cara demikian maka seorang komandan terhindar dari pemikiran yang subjektif. Tetapi juga terhindar dari suasana yang liberal. Apa yang terjadi pada waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi yang langdradig (tak berujungpangkal), sehingga kita bingung melihatnya, siapa sebetulnya komandan: kawan Sjamkah, kawan Untungkah, kawan Latifkah atau Pak Djojo? Mengenai hal ini perlu ada peninjauan yang lebih mendalam karena letak kegagalan kampanye di ibu kota sebagian besar karena tidak ada pembagian komandan dan kerja yang wajar.

11. Adalah hal yang remeh, tetapi hal ini perlu mendapat perhatian. Umpamanya, cara2 diskusi terutama yang banyak dilakukan oleh kawan Latif. Tidak mendahulukan soal2 yang lebih pokok untuk dipecahkan terlebih dahulu. Soal2 yang masih bisa ditunda dibicarakan kemudian. Di waktu mulut meriam diarahkan kepada kita, maka yang urgen adalah bagaimana tindakan kita untuk membungkam meriam tsb, bukan membicarakan soal2 lain yang sebetulnya bisa dibicarakan kemudian.

12. Dengan kehadirannya Bung Karno di Halim, maka persoalan telah menjadi lain. Pada waktu itu, kita harus cepat dalam silat politik. Harus cepat menentukan titik berat strategi kita. Apakah kita berjalan sendiri, apakah kita berjalan dengan Bung Karno. Kalau kita merasa mampu, segera tentukan garis jalan sendiri. Kalau kita menurut perhitungan, tidak mampu untuk memenangkan revolusi sendirian, maka harus cepat pula merangkul Bung Karno, untuk bersama2 menghancurkan kekuatan lawan. Menurut pendapat saya pada saat2 itu situasi telah berubah dengan keterangan sbb:

1) Bung Karno:

a. Memanggil kabinet dan para Menteri Angkatan.

b. Mengeluarkan surat perintah, kedua fihak agar tidak bertempur.

c. Memegang sementara pimpinan A.D. dan menunjuk seorang caretaker untuk pekerjaan intern A.D.

2) Omar Dani: Tidak mau kalau harus berhadapan dengan Bung Karno, dan sarannya supaya bersama-sama dengan Bung Karno melanjutkan revolusi.

3) Ibrahim Aji: Mengeluarkan pernyataan, bila terjadi apa2 terhadap terhadap Bung Karno, maka Siliwangi akan bergerak ke Djakarta.

4) M. Sabur: Menilpun RPKAD untuk siap sewaktu2 Bung Karno dalam bahaya.

5) NATO cs: Menolak panggilan Bung Karno untuk hadir di Halim.

6) G-30-S: Kawan Sjam tetap revolusi harus jalan sendiri tanpa Bung Karno. Keadaan Jon Djateng sudah letih dan belum selesai memecahkan soal bagaimana makan. Keadaan pimpinan dalam keadaan bimbang.

7) “Daerah”: Baru Nusatenggara yang memberikan reaksi, Bandung sepi, Djateng sepi, juga Djatim sepi. Massa di Djakarta sepi. Daerah2 di seluruh kepulauan Indonesia, pada waktu itu tidak terdengar cetusan2 imbangan.

Pertimbangan:

- Bila kita teruskan berevolusi sendiri, maka kita akan berhadapan dengan Bung Karno + Nato cs dengan Angkatan Daratnya.

- Bila kita rangkul Bung Karno, maka kontradiksi pokok akan beralih di satu fihak golongan kiri + golongan Demokratis Revolusioner dan di lain fihak hanya golongan kanan saja. Tetapi dari kita tidak ada ketentuan garis mana yang harus ditempuh. Dan sementara itu pun waktu berlalu terus, dan perkembangan semakin kongkrit. Nato menjusun kekuatannya, Bung Karno mengumpulkan anggota kabinetnya yang diperlukan. Pada saat itu sebetulnya situasipun belum terlalu terlambat. Ada celah2 di mana segara harus kita masuki dalam persoalan menunjukan siapa yang mengganti Pangad. Bung Karno minta calon dari kita. Dari fihak Bung Karno mencalonkan: 1) Ibrahim Adji dan 2) Mursid. Dari fihak kita mencalonkan Rukman, Pranoto dan Basuki Rachmat. Akhirnya disetujui Pranoto. Seharusnya kita serahkan saja kepada Bung Karno. Dengan demikian kita tidak meminta terlalu banyak. Dan Bung Karno ada kekuatan dalam menyelesaikan masalah intern A.D. dan dapat menghalang-halangi glundungnya aksi2 Nato cs.[14] Tetapi walaupun demikian, bila Pak Pranoto waktu itu cekatan dan dapat menggunakan wewenang, maka situasi tidak seburuk ini. Seharusnya dengan surat keputusan itu, ia cepat pidato di radio dan umumkan pengangkatannya. Tindakan kedua supaya kedua fi hak menanti perintah2 tidak saling bertempur. Pak Pran harus juga menjusun kekuatan brigade2 di sekitarnya dan langsung ia pimpin.[15] Dengan demikian maka langkah2 selanjutnya akan mempunyai kekuatan. Kemudian segera diisi dengan dalih2 sementara lowongan staf SUAD yang kosong. Sajang sekali kesempatan yang terakhir ini tidak dipergunakan. Pak Pranoto akhirnya setelah terlambat mulai berpidato di radio. Itu pun atas desakan saja melalui kawan Endang.[16] Tetapi isi pidatonya pun tidak karuan malah mengutuk G-30-S sebagai gerakan petualangan. Kata2 ini otomatis melumpuhkan perangsang2 revolusi di daerah2 terutama di Djateng. Idee seperti yang dilukiskan diatas, yaitu idee merangkul Bung Karno bukan semata-mata fi kiran kompromi yang negatip, tetapi sesuatu “om te redden wat er te redden valt,” membela apa yang masih dapat dibela. Andaikata kalah, harus ada pertanggung jawab, maka hanya pelaksana2 G-30-S sajalah yang tampil mempertanggung jawabkannya, sehingga keutuhan Partai tidak terganggu. Taktik tersebut diatas tidak lain bila kita mengetahui akan mendapatkan hanya kulitnya telur saja, maka lebih baik mendapatkan isinya, walaupun hanya separuh saja (beter een halve ei dan een lege dop).

13. Akhirnya Nato cs memegang inisiatip dan tidak menghiraukan apa2 dan memulai dengan tegen offensifnya. Kekuatan militer G-30-S mereka kejar dan kesempatan yang lama mereka tunggu2 tidak disiasiakan, yaitu: mengobrak-abrik PKI.

14. Sementara itu semua slagorde G-30-S berkumpul di LB. Disanasini mulai terdengar tembakan dari RPKAD yang mulai mencari kontak tembak. Kawan Sjam dan Kawan Untung cs, mulai rapat tentang menentukan sikap hadir di tempat tsb. komandan Jon Djateng dan seluruh anggota Bataljonnya. Komandan Bataljon Djatim juga hadir tanpa pasukan. Kurang lebih seribu limaratus Sukwan yang dilatih di LB. Melihat situasi yang gawat ini tidak ada pilihan lain: a) Bertempur mati2-an atau, b) cepat menghilang menyelamatkan diri. Diskusi berjalan lama tanpa keputusan. Akhirnya kami sarankan agar seluruh komando diserahkan kepada kami dan nanti bila situasi telah dapat diatasi wewenang akan diserahkan kembali kepada kawan Untung. Kawan Untung tidak setuju, karena bertempur terus pendapatnya sudah tidak ada dasar politiknya lagi. Apa yang di maksud dengan kata2nya itu, kami tidak begitu mengerti. Di lain fi hak kawan Sjam tidak memberikan reaksi atas usul kami. Kemudian saja desak lagi supaya segera mengambil keputusan, bila terlambat nanti, maka kita terjepit dalam suatu sudut di mana tidak ada pilihan lain, melawan pun hancur dan lari pun hancur. Karena posisi kita pada waktu sudah labil. Kemudian rapat memutuskan memberhentikan perlawanan dan setiap kawan diperintahkan kembali ketempat asal mereka masing2, dalam keadaan yang serba lambat ini kemudian kami ambil inisiatip untuk menyelamatkan kawan pimpinan (Kawan Sjam) dan masuk ke kota Djakarta (Senen). Kawan Untung dalam cara  membubarkan pasukannya pun melakukan kesalahan, seharusnya ia sebagai komandan langsung harus memberi petunjuk teknis bagaimana pelaksanaan menyebar dan menjusup kembali. Karena di LB banyak kawan2 Sukwan yang berasal dari luar kota Djakarta, bahkan ada yang dari Djateng. Mereka tentunya merasa asing dan tidak tahu jalan. Karena peraturannya: “pur manuk” saja atau dilepaskan sekehendak masing2 maka banyak yang tertawan dan menjadi mangsa penjiksaan pasukan2 Nato cs.

15. Pada hari ketiga dan keempat, kami menyarankan kepada pimpinan untuk tampil kemuka mendampingi Bung Karno untuk mencoba menolong apa yang perlu ditolong. Pada saat itu, situasi belum sama sekali hancur. Kabinet di mana terdapat orang2 revolusioner masih tetapi, usul kami di-tunda2 sehingga surat kami kepada Bung Karno baru diterima satu bulan kemudian. Bung Karno dalam kedudukan yang sudah terjepit, mungkin juga chawatir, bila saja dekat2 padanya.

16. Demikianlah proses aksi “G-30-S” dari sukses berubah terdesak dan semakin terdesak sehingga akhirnya tidak berdaja dan menyerahkan, segala inisiatip kepada fihak lawan.

Sebagai kesimpulan umum, maka kami berpendapat bahwa:

a. Kita telah melakukan suatu politiek strategisch verassing (serangan tiba2) [strategi politik serangan mendadak] yang dapat dipergunakan oleh propaganda lawan sehingga memberikan kepada PKI suatu kedudukan yang terpencil.

b. Rencana semula yang akan dilakukan: Revolusi bertingkat tiba2 dirobah dirubah menjadi gerakan PKI seluruhnya. Bila gerakan dilakukan bertingkat, ja’ni taraf pertama hanya terbatas gerakan di dalam tubuh AD dengan tehnisnya sbb: setelah berhasil merebut pimpinan AD maka mulai mengganti para Panglima dan para Komandan yang mempunyai fungsi potensiil dengan unsur2, atau perwira2 demokratis revolusioner.[17] Kemudian dalam taraf kedua baru revolusi yang dipimpin oleh Partai. Dimulai dengan gerakan2 massa yang dibajangi oleh militer2 yang progresip, persis seperti yang dilakukan oleh lawan terhadap Pemerintah sekarang. Bila rencana revolusi bertingkat ini ditempuh, maka keuntungannya adalah sbb: Andaikata kita dipukul, maka Partai yang tetap mempunyai legalitet dan utuh dapat melindungi kawan2 militer. Bila aksi taraf pertama berhasil, maka suatu pijakan yang baik untuk meloncat ke taraf revolusi berikutnya. Menurut hemat kami, kegagalan revolusi kita kali ini disebabkan di antaranya, dipindahkannya rencana operasi yang semula bersifat intern AD, menjadi operasi yang langsung dipimpin oleh Partai, sehingga menyebabkan terseretnya Partai dan diobrak-abriknya Partai.

c. Bidang persiapan: Gerakan 30 September dilakukan tanpa melalui proses persiapan yang teliti. Terlalu mempercajai laporan2 dari kader2 bawahan. Seharusnya dalam keadaan bagaimanapun pimpinan harus memeriksa dengan mata kepala sendiri tentang persiapannya, Komandan harus hadir menyaksikan 3 markas sektor, meskipun untuk beberapa menit saja supaya ia bahwa semua pos2 telah terisi. Begitu pula persiapan2 lainnya. Sudah menjadi kebiasaan di dalam ketentaraan dimanapun, melakukan pemeriksaan barisan sebelum ia bertugas. Misalnya ada satu regu hendak patroli, maka komandan peleton melihat regu itu, memeriksa alat2 perlengkapannya regu itu, persediaan pelurunya, menanyakan apakah perintah2-nya telah dimengerti dan baru regu itu bisa berangkat patroli. Apalagi/seharusnya G-30-S, suatu gerakan yang menentukan jutaan nasib rakyat. Gerakan yang bukan saja bernilai nasional tetapi juga menjadi harapan kaum proletar seluruh dunia. Seharusnya kita jangan bertindak dengan gegabah.

d. Dalam saat2 yang kritis, pimpinan operasi harus terjun di tengah pasukan, menyemangati anak buah supaya mereka bangkit melawan, meskipun dengan resiko hancur semua. Bila sampai terjadi, hancur tidak apa2, kawan2 yang masih hidup akan melanjutkan usaha revolusi. Dan kalau kita bertindak demikian besar kemungkinan lawanlah yang akan angkat tangan, karena pada saat2 itu Nato belum mempunyai grip [cengkeraman] terhadap TNI yang ada di kota. Suasana di mana2 belum mengutuk G-30-S. Dalam tiap2 perang revolusioner, seorang pemimpin harus sanggup membangkitkan di kalangan pengikutnya:

1. Jiwa kepahlawanan.

2. Kebulatan pikiran dan tekad.

3. Semangat berkorban.

e. Ada hal yang perlu dipelajari secara mendalam. Kawan2 yang selama ini hidup di organisasi tentara borjuis, sangat sulit dan mirip tidak sampai hati untuk mendahului teman2 seangkatannya. Hal ini terjadi juga pada bataljon yang berasal dari Djateng,[18] dan juga pada peristiwa yang kami dengar kemudian, waktu menghadapi Pangdam Surjosumpeno.[19] Mungkin letaknya pada kelemahan pandangan ideologi, kelemahan dalam pandangan kelas. Ajaran Marxisme-Leninisme bahwa “Kalau tidak mereka yang kita basmi, maka merekalah yang akan membasmi kita.”[20] Belum meresap, dan belum menjadi keyakinan kawan2 di ABRI pada umumnya. Dari pengalaman ini maka pendidikan ideologi dan kesadaran pandangan kelas perlu menjadi program Partai.

f. Strategi yang dianut dalam gerakan keseluruhan adalah semacam strategi: “Bakar Petasan.” Cukup sumbunya dibakar di Djakarta dan selanjutnya mengharap dengan sendirinya bahwa mereconnya akan meledak di daerah2. Ternyata cara ini tidak berhasil. Ada dua sebab: mungkin sumbunya kurang lama membakar atau mesiu yang ada dalam tubuh merecon itu sendiri dalam keadaan masih basah, kami hubungkan ini dengan pekerjaan2 di waktu yang lampau, cara2 menarik kesimpulan tentang kawan2 yang di ABRI dan massa adalah subjektif. Dari pengalaman ini kita harus bikin kebiasaan membesar2-kan situasi yang sebenarnya.[21] Biasanya kalau ada 10 orang saja dalam satu peleton yang sudah dapat kita hubungi, dilaporkan bahwa seluruh peletonnya sudah kita (kawan). Kalau ada seorang Dan Jon yang kita hubungi, maka ada kemungkinan bahwa seluruh Bataljon itu sudah kawan. Kekeliruan strategi G-30-S itu disebabkan juga banyak kawan2 dari ABRI maupun dari daerah2 yang melaporkan bahwa massa sudah tidak dapat ditahan lagi. Bila pimpinan tidak mengambil sikap, maka rakyat akan jalan sendiri (ber-revolusi). Mengikuti suara2 yang belum diperiksa kebenarannya berarti kita kena “agitasi” massa, sama halnya tidak menjalankan “garis mangsa secara tepat.”

g. Melihat kemampuan dan kebesaran organisasi Partai di waktu2 yang lalu maka asalkan saja kita taktis menggerakannya, kami rasa PKI tidak perlu kalah. Saja ibaratkan seorang pemasak yang mempunyai bumbu, sayur2 yang serba cukup, tetapi kalau tidak pandai menilai temperatur dari panasnya minyak, besarnya api, bilamana bumbu2 itu dicemplungkan dan mana yang didahulukan dimasak maka masakan itu pun tidak akan enak, satu contoh misalnya. Kami membawahi 18 Bataljon,[22] 3 di antaranya bisa dikerahkan untuk tugas2 revolusi, dan sudah dipersiapkan lengkap dengan pesawat angkutan Hercules berkat solidaritas dari kawan2 perwira di AD, yang mempunyai kedudukan komando, tetapi semua ini tidak dimanfaatkan, sehingga bukan kita yang menghancurkan lawan “satu demi satu”, tetapi sebaliknya kita yang di hancurkan secara “satu demi satu.”

Sekian, dan kami tutup dengan sembojan :

Sekali gagal, akan bertambah.

Maju terus pada jalan pengrevolusioneran!


Catatan

[1] Saya tidak tahu mengapa frasa ini diberi tanda petik ganda.

[2] Dari keseluruhan dokumen, cukup jelas bahwa yang dimaksud Supardjo adalah pimpinan PKI. Ada kemungkinan bahwa Supardjo menyerahkan analisis ini kepada Sudisman, pimpinan Politbiro yang tersisa, yang sedang mempersiapkan otokritik terhadap partai pada pertengahan 1966.

[3] Pada 30 September 1965 malam Presiden Sukarno menghadiri upacara penutupan Konferensi Nasional Ahli Teknikdi stadion Senayan. Letnan Kolonel Untung menjadi bagian pengamanan untuk kehadiran Sukarno di dalam acara ini.

[4] Perwira ini boleh jadi Mayor Bambang Supeno, komandan Batalyon 530 Jawa Timur. Dalam laporan interogasinya (yang ditulis oleh tim intelijen Angkatan Darat), Supardjo diduga mengatakan (ini laporan interogasi yang harus dibaca dengan skeptisisme) Sjam memberitahu dia pada 1 Oktober pagi bahwa Mayor Supeno “masih diragukan.” (Departemen Angkatan Darat Team Optis-Perpu-Intel, “Laporan Interogasi Supardjo di RTM,” 19 Januari 1967, 4; dokumen ini termaktub dalam berkas rekaman persidangan Mahmilub untuk Supardjo.) Pasukan-pasukan Mayor Supeno merupakan yang pertama mundur; mereka menyerahkan diri ke Kostrad pada sore hari 1 Oktober meski Mayor Supeno sendiri tinggal di pangkalan Halim dengan anggota komplotan yang lain sampai dini hari 2 Oktober. Mayor Supeno menjemput wakil komandan batalyon, Letnan Ngadimo, di istana pada sekitar pukul 14.00 saat pasukan-pasukannya mulai menyerah, dan membawanya ke Halim, menurut kesaksian Letnan Ngadimo di persidangan Untung. Komandan Batalyon 454, sebaliknya, berusaha mempertahankan pasukan-pasukannya di Lapangan Merdeka; ketika ia akhirnya meninggalkan posisi tersebut, ia membawa sebagian besar anak buahnya ke Halim.

[5] Istilah pung-pung tampaknya salah ketik. Seharusnya mumpung.

[6] Sasaran utama kemungkinan adalah Jenderal Nasution. Pasukan-pasukan yang dikirim untuk menculiknya dipimpin oleh seorang prajurit.

[7] Nato adalah singkatan cerdas yang dibuat Supardjo untuk Nasution dan Suharto.

[8] Istilah ini merupakan kombinasi kata Indonesia off ensi yang berasal dari kata Belanda off ensief dan kata Belanda geest yang berarti semangat.

[9] Para panglima keempat angkatan – Angkatan Udara, Angkatan Laut, Angkatan Darat, Angkatan Kepolisian – adalah menteri-menteri dalam kabinet Sukarno

[10] Suharto, bukan Nasution, yang melarang Pranoto pergi ke Halim.

[11] Pak Djojo adalah nama samaran untuk Mayor Soejono dari AURI, komandan pasukan-pasukan yang menjaga pangkalan Halim. Supardjo mungkin menggunakan nama samaran dalam dokumen ini karena ia tidak tahu nama Soejono sebenarnya. Ini kemungkinan yang nyata karena Supardjo baru bergabung dengan komplotan ini sehari sebelumnya dan mungkin diperkenalkan kepada anggota-anggota lainnya saat mereka menggunakan nama-nama sandi. Nama Pak Djojo juga disebut oleh Njono, ketua CDB (Comite Daerah Besar) PKI Jakarta, pada pengadilannya di Mahmilub. Menurut Njono, Pak Djojo adalah nama samaran seorang perwira militer yang mencari sukarelawan PKI untuk dilatih di Lubang Buaya dari Juni sampai September 1965 (G-30-S Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 53-54, 64-65, 79-82). Heru Atmodjo menegaskan dalam pembicaraan dengan saya bahwa Pak Djojo adalah nama alias Mayor Soejono.

[12] Supardjo tampaknya menerjemahkan dan menulis ulang (memparafrasakan) salah satu bagian dari Revolution and Counter-revolution in Germany (1896), kumpulan artikel-artikel koran yang aslinya diterbitkan pada 1852 dengan nama Marx tapi terutama ditulis oleh Engels: “[Posisi] defensif adalah kematian setiap pemberontakan bersenjata; pemberontakan itu kalah sebelum ia mengukur dirinya dengan musuh-musuhnya. Kejutkan musuh-musuhmu ketika kekuatan mereka masih tercerai-berai, siapkan sukses-sukses baru, betapapun kecilnya, tapi setiap hari; pertahankan peningkatan moral yang diberikan oleh keberhasilan pemberontakan pertama padamu; galang elemen-elemen yang ragu dan goyah itu ke sisimu yang selalu mengikuti letupan terkuat, dan yang selalu mencari sisi lebih aman; paksa musuh-musuhmu ke posisi mundur sebelum mereka mampu mengumpulkan kekuatan mereka untuk melawanmu.” (www.marxist.org/archive/marx/works/1852/ germany/ch17.htm) Supardjo mungkin tidak membaca teks ini; dalam kumpulan karya Marx dan Engels teks ini kurang dikenal. Supardjo mungkin membaca esai Lenin “Advice of an Onlooker” (yang ditulis pada 21 Oktober 1917), yang mengomentari bagian teks di atas. Karya-karya Lenin lebih jamak dibaca pada masa sebelum 1965 di Indonesia. Tak bisa diragukan karena karya-karya Lenin lebih mudah dipahami dan lebih relevan bagi suatu partai komunis yang begitu disibukkan dengan berstrategi politik dari hari ke hari.

[13] Kodam Siliwangi di Jawa Barat terkenal oleh anti-komunismenya; pasukan-pasukannya digunakan oleh kepemimpinan nasionalis untuk menyerang PKI di Jawa Timur pada 1948. Jenderal Nasution berasal dari Kodam Siliwangi.

[14] Pernyataan ini tampaknya merupakan kritik terhadap pengumuman radio dari G-30-S yang mendemisionerkan kabinet Sukarno

[15] Saya tidak tahu Supardjo mengacu ke brigade yang mana. Pranoto adalah asisten Yani untuk personalia dan tidak membawahi pasukan langsung.

[16] Identitas Kawan Endang tak diketahui.

[17] Penggunaan kata unsur-unsur untuk mengacu pada “perwira-perwira demokrasi revolusioner“ adalah suatu keanehan yang tidak bisa saya jelaskan.

[18] Batalyon dari Jawa Tengah harus mengacu ke Batalyon 454, yang menduduki Lapangan Merdeka pada pagi hari dan kemudian meninggalkan posisi itu di sore hari setelah menerima perintah Suharto untuk menyerah. Namun aneh bahwa Supardjo tidak menyalahkan para perwira dari Batalyon 530 dari Jawa Timur juga yang menyerah ke Kostrad. Paling tidak ketika pasukan-pasukan Batalyon 454 meninggalkan Lapangan Merdeka, mereka menghindar untuk masuk Kostrad. Mereka melarikan diri ke Halim.

[19] Surjosumpeno adalah Pangdam Diponegoro. Para perwira Gerakan 30 September mengambil alih markas kodam di Semarang pada 1 Oktober dan menahannya. Anderson dan McVey mencatat bahwa “Surjosumpeno berhasil mengecoh perwiraperwira muda yang mudah terkesan untuk meninggalkan dia sendiri cukup lama sehingga memungkinkan dia melarikan diri.” (Preliminary Analysis, 46) Supardjo mengacu ke insiden ini ketika mengkritik ketidakmampuan perwira-perwira junior untuk menentang atasan-atasan mereka.

[20] Saya belum berhasil menemukan sumber kutipan ini.

[21] Tampaknya ada kata “tidak” sebelum kata “membesar2-kan” yang tak tertulis entah oleh Supardjo sendiri atau oleh pengetik salinan dokumen ini.

[22] Terjemahan Fic atas dokumen ini menyebut jumlah batalyon adalah tigabelas. Dokumen versi saya jelas-jelas menunjukkan delapanbelas.